Kalian tahu gendre film kesukaanku? PEMBUNUHAN!!
Aku tahu, untuk seorang gadis usia tujuh belas tahun seleraku begitu menakutkan. Ibuku bahkan memarahiku karena asik menonton video prosesi anjing melahirkan. Tahu kah kalian? Bahwa induk anjing memakan sendiri tali pusar anaknya seketika sesudah berhasil melahirkan! Hanya untuk tambahan pengetahuan bagi kalian yang tidak tahu.
Aku penasaran, apakah induk kucing juga melakukan hal yang sama? Karena itu aku bertanya pada ibu. Dan setelah itu tahu lah ibu, bagaimana sebenarnya kelakuan anak sulungnya selama ini.
Aku berniat bergadang menonton, selagi masih malam minggu. Tapi Gio kembali menghubungiku dan mengatakan bahwa dia sudah merindukanku lagi. Aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa bersikap kekanakan dan genit lagi setelah sebelumnya dia terlihat dewasa saat membahas tentang diriku.
Tentu saja aku senang, saat dia berucap bahwa aku membuatnya merasa nyaman saat bersamanya. Untunglah aku tak bekerja di belakang layar, menyaksikannya bersatu dengan wanita lain. Karena aku lah pemeran utama wanitanya, orang yang akhirnya akan mendapatkan cintanya. Semoga saja.
Terlepas dari semua itu, otakku mulai memproses semuanya. Tibanya aku di tempat ini, pertemuan dengannya, masa laluku, masa lalunya dan kejadian malam ini. Dia orangnya! Dia orangnya! Dia orang yang kucari selama ini! Mungkinkah? Aku akan menemukannya hingga sepuluh tahun ke depan, mungkinkah sekarang aku telah bertemu dengannya? Tuhan sungguh mendengarkan permintaanku dulu? Tapi rasanya bukan aku yang mencarinya, dia lah yang datang padaku. Aku tersenyum perlahan menyadari itu, air mataku menetes lagi―aku sungguh terharu. Aku membalas ucapan Gio yang terus mengoceh di seberang sana. Sambil menahan perasaanku agar tidak meluap begitu saja, aku berusaha membuat Gio kesal padaku. Dan berhasil!
***
Musim kemarau tahun ini kembali berhasil membawa bencana lama yang terulang lagi tahun ini. Hutan dan kebun-kebun di kampungku mengalami kebakaran hebat yang menimbulkan kabut asap yang menutupi langit indah kampungku.
Ingatan beberapa tahun yang lalu kembali menghampiriku, saat itu seluruh tempat tertutupi kabut tebal. Selama berbulan-bulan lamanya takkan tampak bagimu matahari yang bersinar terang. Selama itu tentu kau akan merindukan matahari, rindu langit cerah―karena saat ini, sejauh mata memandang hanya kabut kekuningan tebal yang menyelimutimu. Bagaikan kau dikurung di sebuah ruang sempit berlangit-langitkan warna kekuningan, namun ruang itu beracun kau dapat sakit kapan pun karenanya, bahkan meninggal dunia. Air bersih pun akan sulit sekali didapat. Mengingat orang-orang kampungku yang masih menggunakan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti menyuci bahkan untuk minum. Namun saat kondisi seperti ini, kau hanya dapat bergantung pada persedian air yang dikumpulkan di dalam tangki air selama musim hujan. Namun bagi yang persedian airnya terbatas atau bahkan telah habis, terpaksa meminta kepada tetangga. Beruntung bila pemilik air bor bersedia memberikan air mentahnya, walau tak dapat diminum tapi cukuplah untuk menyuci dan untuk mandi kami masih dapat memanfaatkan air sungai yang tentunya mulai keruh.
Namun banyak petani yang rugi karena lahannya terbakar. Salah satunya ayahku, pemilik kebun kelapa pasti lahannya pernah kebakaran. Entah itu karena kesalahan para pekerjanya yang entah sengaja atau tidak membakar lahan saat musim kemarau. Itu tentu akan merugikan semua orang. Kecelakaan pun akan rawan terjadi, meski banyak orang lebih memilih diam di dalam rumah.
Saat bencana kabut asap lima tahun yang lalu lah, untuk pertama kali aku mendapatkan masker gratis setelah dibagi-bagikan oleh pemerintah. Saat itu aku masih SMP, sekolah pun diliburkan beberapa hari. Dan itu adalah saat-saat di mana aku mulai merindukannya. Rasanya ingin sekali berjumpa dengannya di tengah bencana yang sedang melanda. Mungkin di saat itu lah aku sadar bahwa aku menyukainya. Apalagi ketika Rama jatuh sakit bergitu lama, aku sering kali mendoakan kesembuhannya. Meski pernah menyukai cowok sebelumnya, baru kali itu aku merasakan yang rasa yang begitu dalam pada seseorang. Dia adalah cinta pertamaku―meski aku tak mengakui itu pada Gio. Dan juga wanita yang aku lupa namanya itu, ternyata dia adalah cinta pertamanya Gio. Mungkin memang begitu sulitnya melupakan cinta pertama.
Dan di tempat ini, kondisi langit masih cerah. Masih dapat kulihat matahari bersinar terang dan masih terasa menyengat meski jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku berdiri menunggu di tempat yang sama dengan kemarin malam ketika Gio datang menjemputku. Kantuk menyerangku, aku menutup mulutku dengan tangan ketika menguap lebar. Mata berair sedangkan hidung mengesap hingus yang mulai basah. Jorok memang, tapi akan lebih jorok bila kubiarkan keluar sendiri. Dua malam sejak malam minggu itu aku kurang tidur. Rasa sakit di masa lalu itu menyerangku, kenangan menyakitkan pun merapuhkanku, tubuhku semakin letih karena harus melalui hari-hariku yang hambar, senyum pun begitu berat berukir di bibirku.
Gio tiba di depanku, menyapa dengan senyum menjengkelkannya. Bibirku ringan terangkat mengukir senyum saat dia tiba. Tidak berlebihan bila ku katakan bahwa dia memberiku kebahagian. Rasa ceria tiba saat melihat tingkahnya yang berusaha melucu. Aku menaiki motornya. Dia menertawakanku karena kesulitan menaiki motornya dengan kakiku yang pendek. Aku mendengus sebal karenanya. Baru saja bertemu sudah dibuat kesal.
Gio terus bertanya di mana kami akan singgah kali ini. Aku terus saja menjawab ‘terserah!’ dan itu membuatnya jengkel. Mudah saja membalas perbuatannya padaku sebelumnya. Kami singgah di sebuah bar jus. Aku memesan naga sedangkan Gio memesan onta, untuk korban―tentu tidak, dia memesan alpukat. Seperti sebelumnya kami bicara tentang banyak hal―namun tetap terfokus pada diriku, hanya saja waktunya lebih singkat kali ini. Gio sudah mengajakku pulang, dan aku menurut saja. Aku sudah hendak berdiri membayar.
“Oh ya, ada yang mau aku ungkapin!”
“Apa?” Aku tak jadi berdiri.
“Aku sayang sama kamu!”
Aku diam.