Sebelas september.
Aku duduk santai dengan tangan menupang dagu mendengarkan sweet song favoritku yang mengalur di dalam handset yang kukenakan. Senyum terlintas lagi di setiap bait yang dinyanyikan dengan merdu. Sambil menunggu dosen masuk kelas. Yang lain pasti mengira aku sedang tidur karena mataku menutup, biarlah rasanya lebih tenang begini.
Memikirkan satu orang itu hampir setiap waktu―entah itu pagi, siang, atau pun malam. Dia mendominasi pikiranmu. Tanpa sadar hal itu yang kau lakukan hari ini, juga di hari-hari sebelumnya. Lantas khalayan bersamanya menggrogoti dengan liar. Meski khayalan itu kadang tidak realistis―ya, cinta kadang tidak realistis. Itu lah awal paradoks jatuh cinta. Tahap awal di mana kau bukan hanya tertarik untuk memperhatikannya namun juga memikirkannya.
Kemarin saat resmi bersamanya, dan hari ini aku masih bahagia. Buktinya, aku terus tertawa kecil sambil membalasi chat dari Gio―meski dia tengah berada di kelas yang sama denganku. Dosen menjelaskan materi di depan kelas, aku tidak tertarik dengan itu. Sedang kan Gio mengeluh karena bosan. Moment ini nyaman sekali digunakan untuk merebahkan kepala di balik buku dan terlelap tidur.
Namun aku tidak benar-benar tidur. Meski begitu lelah dan mengantuk aku tetap tidak bisa tidur di kelas. Kepala kurebahkan mata pun menutup. Tapi telingaku justru lebih aktif mendengarkan penjelasan dosen mengenai simple past tense. Mempelajari kembali basic english yang sudah kupahami sejak SMP tentu membosankan, aku merasa sedikit congkak karenanya, meski kutahu aku tidak boleh begitu. Tapi jujur saja, aku tahu lebih banyak dari yang dijelaskan dosen. Masalahku ada dua, masih kurang percaya diri untuk berbicara inggris dan vocabularyku masih sedikit. Banyak kata yang aku belum tahu artinya, meski aku masih dapat memahami maksudnya bila di dalam teks. Dan Gio sebaliknya, dia terus mengoceh dalam bahasa inggris tidak peduli apakan grammarnya benar atau salah. ‘Yang penting ngomong!’ Itu lah pembelaannya saat aku mengomentarinya. Bukan sengaja, dia terus memaksaku agar aktif bicara sepertinya. ‘Akan aku coba!’ Dan itu lah balasanku. Tanpa berpikir banyak, aku tahu apa yang dikatakannya benar juga.
Kepalaku sedikit pusing, namun rasanya aneh sekali―ada beban batin yang terasa semakin berat. Rasanya aku seperti sedang strees. Dan entah kenapa rasa senang karena diperhatikan oleh seseorang ini membuatku merasa semakin terbebani. Aku merasa ada yang salah. Ahh.... aku selalu merasa ada yang salah. Kupaksakan diriku untuk berpikir positif. Namun, kepalaku semakin sakit disusul oleh perut yang mual. Tentu saja, magku kambuh lagi! Aku meraih tasku di bawah meja, membuka resletingnya yang merogoh mencari obat magku. Ketemu! Aku membuka bungkus obat sebesar tutup botol itu lantas mengunyahnya.
Dosen menyuruh beberapa di antara kami untuk maju menyelesaikan soal di papan tulis. Aku merasa tertantang, ingin sekali maju rasanya. Tapi melihat yang lain juga begitu antusias, aku mengurungkan niat―kepalaku sedang pusing, sebaiknya tidak. Tekanan batin lebih besar saat ini dari pada rasa takut salah menjawab soal atau pun takut pingsan di depan kelas―seumur hidup, seburuk apapun kondisiku aku tidak pernah pingsan. Bagaimana ini? Jika hanya untuk menyapa lebih dulu anggota kelas ini begitu berat rasanya, bagaimana aku dapat bertahan sendirian di tempat ini? Aku menggengam tanganku yang mulai gemetaran, rasa takut terlintas lagi, kepalaku justru semakin pusing dan perutku rasanya ingin memuntahkan kembali obat yang belum habis kukunyah.
Aku merebahkan kembali kepalaku, mencoba untuk istirahat sebentar.
“Olive kamu sakit?” tanya Kak Dara.
“Agak pusing kak.” Aku meluruskan dudukku kembali.
“Tidur aja lagi, kelas bentar lagi selesai. Untuk kelas berikutnya, kalau masih belum baikan kamu izin sakit aja!”
“Iya kak!” Aku merebahkan kembali kepalaku. Kak Dara perhatian sekali.
Berdasarkan pengalamanku, orang lain justru cenderung lebih perhatian dengan kondisiku di banding orang tuaku sendiri. Aku bahkan terbiasa mengurus diri sendiri ketika sakit, bahkan bila sedang di rumah bersama orang tua. Mengurus makan dan minum sendiri, obat dan istirahatku. Paling kurang aku meminta pengertian orang tua bila mereka memintaku melakukan sesuatu, agar mendapat beristirahat lebih dulu. Tak masalah, karena itu aku tumbuh dengan sifat mandiri dan orang tuaku bangga akan hal itu.
Usai kelas, aku keluar kelas terakhir setelah yang lain berhambur keluar kelas. Gio menyusul di belakangku. Menahanku sebentar agak jauh dari Kak Dara dan Kasih―entah kenapa aku merasa dia hendak menyembunyikan hubungan kami, meski aku rasa sebaiknya begitu.
“Kenapa?” lirihku bertanya.
Gio balas diam memandangku, lalu mengacak rambutku gemas.
“Kamu ke mana abis ini?” tanya Gio lembut.