Scenario

Auli Inara
Chapter #10

Chapter 10

There’s no friendship between girl and boy!

Karya Olive!!

Meski itu perkataan banyak orang, biar aku mengklaim hak ciptanya. Karena memang sebegitu tidak percayanya aku akan hal itu. Persahabatan antara pria dan wanita? Omong kosong! Meski ada, persentase kemungkinannya sangat kecil―kau pastikan tertarik padanya tidak hanya sebatas teman.

Terlebih Raina, mudah saja bagiku memfonis seorang wanita tertarik atau tidak dengan lawan bicaranya. Jika memang tidak dia akan terlihat bosan, ‘heh kau lagi kau lagi!’. Meski rindu, cara memandangnya takkan seperti itu, tampak rasa senang dan cemburu menyambar bersamaan dari bola matanya. Aku tak punya teori lebih, namun aku cukup peka soal ini. Aku tak mengerti tantang perasaan pria, namun kebiasaanku mulai memperhatikan gelagat wanita saat dekat dengan Rama dulu. Aku bahkan sudah lebih dulu tahu bila sahabatku juga menyukainya sebelum ia mengakuinya padaku―salah satu alasan mengapa aku tak terlalu mengubris Rama dulu.

Mereka berbincang santai melupakan aku yang masih di sini. Percakapan mereka disertai cukup banyak cacian dan makian, tak jauh beda denganku dan Gio―namun ini lebih ekstrim. Orang lain yang sekilas melihat akan berpikir mereka musuh dan bukannya sahabat. Tapi aku yakin sekali, bila sekarang aku merebut pisau tukang kelapa muda itu dan melukai lengannya karena berani mengabaikanku. Raina takkan berlari kencang ke warung membeli plester, dia akan merobek rompi tipisnya lalu membalut luka Gio sambil berbisik.

“Kok lu pacaran sama cewek nyeremin kayak gini sih? Putusin gih! Sebelum leher lu yang ditebang!”

“Kalau gua putusin, beneran ditebang pala gua!”

Aku menyipitkan mata, memicing pada Gio. Berani-beraninya dia membalas ucapan Raina di imajinasiku.

Entah karena otakku yang sudah terkontaminasi oleh virus-virus drama dan film-film percintaan. Tapi rasanya kehadiranku, dan hubunganku dengannya hanya sebagai batu loncatan untuk rasa mereka yang akhirnya akan terbongkar. Lalu aku akan menghilang begitu saja, sedangkan mereka akan menjalankan kisah selanjutnya, entah itu berakhir bahagia seperti Beauty and the Beast atau sedih seperti Mak Lampir dan Datuk Panglima Kumbang―meski pengandaianku tidak berhubungan sama sekali.

Cukup lama aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, kuakhiri kembali dengan memandang langit yang sudah mulai gelap, matahari tenggelam tanpa sempat kusaksikan. Skenario masih berjalan, selalu berjalan, dan akan tetap berjalan.

***

Drrrtt... drrttt....

Aku menatap masam handphone di atas meja yang terus bergetar. Ini panggilan yang ke lima kalinya dan aku mengabaikan sejak yang pertama. Aku bukannya cemburu, bagaimana mungkin cemburu bila hatiku masih untuk orang lain. Aku hanya kesal saja karena diabaikan, seperti terikat oleh status. Bila dipikir-pikir aku sudah cukup terbiasa, Gio memang akrab dengan wanita, dia manis, sebatas manisnya manggis―tetap ada asemnya.

“GIO!!” Carry memanggil dari luar kelas.

“IYA.... KENAPA SAYANG?”

Darah langsung naik ke ubun-ubun. Wajahku boleh biasa saja, tapi kepalaku panas!

“CIEE DIPANGGIL SAYANG!!” Teman-teman kelas ikut memeriahkan suasana.

Sebelum aku meledak, dengan lekas aku mengenakan headsetku. Bersikap bodo amat dan pura-pura tidak peduli.

Di lain waktu dan situasi. Hal yang sama terjadi, bahkan lebih buruk. Saat kelas terakhir selesai, aku bersama Kak Dara dan Kasih menuju kantin untuk makan siang. Dan tahu apa yang kulihat, Gio sedang berkumpul dengan cewek-cewek kelas, ditambah lagi dia terus merangkul bahu Fijea yang duduk di sampingnya. Dan sebelum Kak Dara dan Kasih ikut menyaksikan apa yang kulihat, langsung kutarik mereka menjauh dari pintu kantin. Was I okay? Aku rasa iya, hanya saja aku tak habis pikir aku menjalin hubungan dengan pria sepertinya. Atau lebih tepatnya, aku bahkan tak menyangka ada pria sepertinya dan sialnya dia pacarku.

Pukul sepuluh malam. Sudah seharian ini aku mengabaikan panggilannya. Masih keras kepala, aku tatap mengabaikannya sampai keesokan harinya. Pagi menjelang, aku merenggangkan tubuh di atas kasur, kuperiksa ponselku. Beberapa chat yang masuk tadi pagi_maksudku dini hari tadi. Dengan malas aku membalas, dengan mengatakan bahwa aku ketiduran. Kutinggalkan ponselku, menuju kamar mandi_sejenak setelahnya bunyi notifikasi masuk, aku yang di dalam kamar mandi langsung keluar dan memeriksanya. Tidak bukan dia yang membalas, hanya chat tidak penting dari grup kelas. Dengan kesal aku kembali ke kamar mandi lagi. Aku pasti masih belum sadar sepenuhnya dari tidurku, jam segini mustahil Gio sudah bangun, dia pastinya masih terlelap tidur.

Tanpa sadar aku menghentak-hentakkan sepatu dengan lantai. Sudah pukul delapan, dan Gio belum masuk kelas, beruntung karena dosen juga terlambat masuk. Lama waktu berselang, dia muncul dari balik pintu. Dengan kemeja yang agak kusut, rambut yang masih terlihat basah tanpa disisir, dan wajah yang terlihat sedikit berkeringat_meski aku tak yakin apa itu memang keringat? Dia tampak kacau, sangat kacau, aku tak sanggup melihatnya.

Dia duduk di bangku baris paling depan, sedangkan aku setia dengan bangku pojok paling belakang. Aku memperhatikannya, dia mengambil ponselnya dari saku. Aku ikut memeriksa ponselku, setelah beberapa lama dia tak kunjung membalas chatku, sedangkan aku tahu dia sedang online. Entah chat siapa yang sedang dibalasnya, lupakan, mungkin dia sedang sibuk nimbrung di grup chat gangnya_siapa tahu? Aku lelah sendiri karena terus mencurigainya.

“Ini kasih ke Gio!” Kasih yang sedang bergegas keluar kelas memberiku sebuah flashdisk.

“Loh kok?” Aku memandang penasaran pada Kasih.

“Abis print makalah kelompok, kasihin ke Gio ya.”

Aku balas menunduk sekali.

Hubunganku dan Gio sudah diketahui oleh Kasih dan Kak Dara sejak dua hari yang lalu. Tempatnya di kantin bersama dengan satu teman lainnya Susi, Gio dan satu temannya.... aku lupa namanya. Aku berhadapan dengan sepiring nasi goreng, tak jauh di depan sana Gio mengesap kopi hitamnya_seleranya seperti bapak-bapak memang. Sesekali kami saling melirik, namun tak lama, aku sedikit canggung denngan teman-teman yang lain. Dengan pelan aku menyuap satu-per satu sendok ke dalam mulut. Aku beralasan sedang tidak selera makan, namun lebih tepatnya menjaga image agar tak tampak bahwa sebenarnya aku rakus sekali. Isi piringku masih tersisa banyak, namun kuputuskan untuk menyudahinya. Kak Dara protes, yah dia selalu protes soal makanku.

“Habisin makannya mubazir tuh!” celetuk Gio sambil berlalu.

“Gak selera makan!” Balasku.

“Alah alasan!”

“Iih beneran kok!”

Karena merasa aneh, aku menoleh pada Kak Dara dan Kasih. Mereka sedang memandangku dengan raut yang sulit kujelaskan.

“Aku udah ngerasa ada sesuatu dari kemarin!” celetuk Dara.

“Aku juga!” tambah Kasih.

“Apa?” tanyaku tanpa bersuara. Memasang wajah biasa saja. Kulihat Susi, dia terlihat tidak mengerti dengan situasi ini.

“Kamu akhir-akhir ini sering senyum-senyum sendiri liat hp kulihat.” Tatapan Dara membuatku canggung.

“Biasa lah liat yang lucu-lucu!”

“Enggak gak! Senyumnya tuh beda, kayak lagi... apa?”

“Kasmaran!” celetuk Kasih.

“Iya itu, kasmaran! Dia kan?”

“Apa sih?” Aku masih berusaha menyembunyikannya.

“Gio! Kamu sama Olive jadian?” Dara langsung bertanya.

Lihat selengkapnya