Scenario

Auli Inara
Chapter #12

Chapter 12

Tibalah hari ospek jurusan, aku datang terlalu pagi hanya ada beberapa mahasiswa baru satu jurusan yang tak kuingat namanya, dan dari wajah-wajah mereka sepertinya dari kelasku dan beberapa tidak. Aku duduk di kursi besi, sok sibuk dengan ponselku mengechat Kak Dara dan Kasih. Hanya sekedar menghindari bersosial dengan yang lain, karena situasi ini sedikit membuatku tertekan. Kita semua kompak memakai baju warna merah seperti intruksi dari senior, dengan berbagai modelnya yang masih tetap sopan meski akan bersenang-senang di pantai, kerena ini acara jurusan.

Kesanku biasa saja, tapi Gio sepertinya berbeda.

“Aku mau jadi king, kamu queennya ya!” ucapnya tadi malam.

Malas sekali harus menganggapinya.

“Beb kamu jangan cemburu ya, si Alea mau jadi queen aku.”

Bukannya tertantang aku langsung marah mendengarnya.

“Dia mau narik perhatian Farel. Tuh anak udah naksir Farel sejak PBAK hahaa....”

Farel siapaaa lagi? Ini si Alea aja aku lupa orangnya yang mana.

“Oh ya udah....” lirihku.

“Kamu gak mau jadi queen?”

No.... I just wanna enjoy the moment.”

I hope you enjoy it too! Oh ya, soal even tukeran kado. Aku udah siapin kado khusus buat kamu, spesial!”

“Serius?”

“Iya.... Besok aku bawain.”

Tanpa sadar aku jadi bergairah atas acara ini, sehingga datang lebih awal dari yang lain dan menjadi cukup bersemangat justru karena kado itu. Aku jadi tak sabar bertemu Gio, padahal aku tahu dia pasti datang telat.

Aku memeriksa tasku. Hanya diisi oleh alat-alat wajibku, dompet, headset, powerbank, minyak kayu putih―karena aku mudah masuk angin, lipbalm, sebuah buku kecil dan pena. Aku bahkan lupa membawa air putih dan lupa untuk sarapan lebih dulu. Beruntung Kak Dara membawa bekal sarapannya. Tiba bus datang, kami bertiga dengan Kasih langsung naik ke bus yang pertama, sedangkan Gio naik ke bus selanjutnya.

Di dalam bus yang berjalan, Kak Dara membuka kotak bekalnya. Nasi putih dengan gulai pucuk ubi dan telur ceplok terpampang di dalam bekal, dengan satu sendok yang digunakan berganti-gantian―aku, Kasih dan Kak Dara menyantap menu sedernaha itu namun cukup mewah untuk ukuran anak kost. Sesekali mereka menyuapiku, memperlakukan seperti anak kecil, tapi aku nikmati saja. Dan meski akhirnya makanan itu terbuang percuma dari perutku, tak lama setelah makan aku justru memuntahkan semua makanan yang sudah masuk tadi. Kondisiku kacau sekali, aku lemas sehabis muntah. Padahal ini hanya perjalanan satu jam.

“Are you okay Ol?” tanya Dara.

Aku menggeleng.

“Udah tidur aja, perjalanan masih lama. Kalau udah nyampe aku bangunin,” ujar Kasih.

Aku balas mengengguk dan menutup mata. Namun aku tak dapat tidur, musik dibunyikan kencang-kencang di dalam bus, teman-teman yang lain berserta senior bernyanyi bersama sambil berdiri dan menari dengan heboh, saat tiba kejadian lucu terjadi kami tertawa terbahak-bahak, cukup membuatku sedikit lebih baik. Usai heboh menari, dari lagu-lagu dj sampai dangdut, sampailah ketika lagu-lagu melow yang sendu serta galau bergaung di dalam bus, semua duduk hikmat tetap sambil menyanyi tapi dari hati sekali, aku dapat merasakan betapa pedih dan sedihnya mereka karena pernah dipatahkan—tak luput aku pun ikut merasakannya. Namun karena moment ini aku dapat tidur.

Usai berebut untuk keluar bus lebih dulu, tiba lah aku menginjak pasir coklat di bawahku sepatuku. Rasanya senang sekali melihat laut yang biru di ujung sana, aku terpaku sebentar. Sebelum akhirnya aku ditarik oleh Kak Dara dan Kasih mendekati laut.

“Eeh mau ke mana? Semuanya kumpul di sini, berbaris!” teriak senior.

“Yaah....” keluh sebagian besar orang, termasuk kami bertiga.

Dengan malas kami mengikuti perintah senior, memasuki barisan yang... kacau—orang-orang berbaris di mana dia mau. Dan yap, ini memancing kemarahan senior.

“Handphonenya tolong dikumpul yang adek-adek! Demi kekhidmatan acara kita hari ini,” ujar seorang kakak senior sedang menggiring sebuah kotak air mineral untuk mengumpulkan handphone.

“YAAAHHH....” rengek kami lagi.

“Kak, nanti kita mau foto-foto gimana?” tanya seseorang yang berambut pirang.

“Nanti dulu itu, kalian pikir kakak juga gak mau foto-foto? Nanti kita foto bareng-bareng, handphone kalian juga bakal dikembalikan jadi jangan sedih, jangan khawatir, jangan gundah gulana. Sekali-kali kalian itu lepas dari handphone.

“Matiin dulu hpnya dek!” ujar kakak ini pada Kasih yang lupa mematikan handphone.

Dengan lapang dada aku juga menyerahkan handphoneku, padahal sedang asik chattingan sama Gio. Gio berbaris di barisan paling ujung sebelah sana, dan aku di barisan ujung satunya lagi. Agak menyebalkan juga, padahal ini moment yang pas buat ngebucin.

Acara formal dimulai, senior menyebutnya upacara pembukaan—hanya formalitas menurutku, karena inti dari acara ini adalah main. Kami duduk bersila di atas pasir, sesekali aku melirik pada Gio di ujung sana, mengguliat di tempat mencari posisi untuk dapat melihatnya tanpa terhalang oleh orang-orang ini, sedikit mengangkat dagu. Tampak lah Gio yang sedang jenuh mendengarkan pidato di sana. Aku tersenyum kecut, si culun itu tampak lebih culun hari ini. Dengan celana training kebesaran dan kaos merah kekecilannya, masih setia dengan kepala botaknya yang sedikitnya sudah ditumbuhi rambut. Dia menguap lebar tanpa menutup mulutnya.

“Pft....” tawaku hampir kelepasan, aku langsung menutup mulut.

“Ol....” lirik Kak Dara.

Aku menoleh ke belakang, dia mengisyaratkan agar aku memperhatikan senior. Tentu saja, Kak Dara sadar akan tingkahku tadi. Benar, tidak ada salahnya juga memperhatikan abang-abang di depan sana yang juga tak kalah gantengnya.

Satu per satu acara dilewati, mulai dari kata sambutan, perkenalan, ceramah jurusan, sampai stand up komedi yang dibawakan seorang senior abadi.

“Nah sebelum kita lanjut acara selanjutnya, apa dari kalian ada yang ingin maju? Apa saja, kalian boleh nyanyi, pantun, atau mau stand up kayak abang yang tadi. Ada?” tanya kakak senior yang sedari tadi membawakan acara.

Sejenak sepi.

Lihat selengkapnya