Aku bergegas melepas sepatuku.
“Olive buruan!” panggil Kasih.
“Iya bentar-bentar, aku amanin hp dulu!” Aku balas berteriak, dan meletakkan handphone ke dalam tas.
Aku berlari mendekat, sedikit kesulitan berlari di atas pasir kering dengan kaki telanjang. Mendekat pada Kasih dan Dara yang sudah mulai berlari-lari menghindari ombak yang datang. Tiba lah aku, aku mendorong Kasih hingga dia terduduk di atas pasir basah yang kemudian dibasuh ombak.
Aku terbahak-bahak melihatnya. Namun, tubuhku tiba-tiba diangkat oleh seseorang. Aku panik karena dibawa mendekat ke air. Alea, yang bertubuh tinggi besar lah yang mengangkatku dibantu oleh Dara dan Kasih yang ingin balas dendam. Mereka lalu menghempaskan tubuhku ke air. Langsung saja seluruh tubuhku basah, aku meludah-ludah karena air asin yang sedikitnya tertelan. Gantian mereka lah yang tertawa sekarang.
Aku memasang senyum penuh dendam. Aku berdiri berjalan mendekati mereka, dengan langkah yang semakin cepat lalu berlari ke arah mereka. Mereka yang sadar aku mengejar, langsung berlari menjauhiku.
Dara yang bertubuh agak tambun dapat dengan mudah kukejar. Dengan kesulitan aku menarik tangannya untuk masuk ke air, rasanya sudahku kerahkan seluruh tenagaku namun dia hanya bergeser sedikit. Datang lah Alea lagi, yang kemudian membantuku dengan ikut mendorong Dara masuk ke air, hingga basah semua tubuhnya. Dan hanya tinggal Alea yang belum basah sama sekali. Dia langsung melarikan diri ke kerumunan lain, dan mengacau di sana dengan mencemplungkan orang lain ke air. Aku, Dara dan Kasih hanya tertawa melihatnya.
Setelah sebelum sudah mengambil banyak foto dan sudah puas bermain, kami bertiga berjemur mengeringkan tubuh pada matahari sore yang dalam dua jam lagi akan tenggelam.
“Makan es krim yuk!” ajak Dara.
Tak jauh dari tempat kami sekarang, memang ada abang-abang tukang es krim mangkang.
“Yuk! Biar aku yang traktir!” ujarku.
“Mau mau!” sambar Kasih.
Kami langsung berdiri dan mendekati abang-abang tukang es itu. Lalu memesan.
“Serius kamu mau traktirin kita Ol?” tanya Dara.
“Iya, sekalian yang kemarin itu lo Kak!”
“Apa?”
“Iih itu loh, yang kemarin itu di kantin!”
“Iya dia janji mau traktir kemarin!” sambung Kasih.
“Oh itu... pajak jadian? Aseek, beneran ditraktir dong!”
“Itu si Gio juga janji mau traktir kita, tapi gak ada dia traktir. Kapan dia mau traktir kita?” Kasih seolah hendak memeras Gio karena pajak jadian itu.
“Gak bakalan! Dia mah pelit orangnya,” ucapku ketus.
Dara dan Kasih hanya menanggapi dengan tertawa.
Selagi kami berjemur dan menikmati es krim, permainan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi tim yang lebih besar, dan langsung turun bermain tarik tambang. Putaran pertama regu kami menang, meski putaran keduanya kalah. Regu kami tersungkur bersamaan setelah berusaha mempertahankan posisi agar tak tertarik oleh regu lawan, alhasil pakaianku yang belum sepenuhnya kering jadi kotor dengan pasir kering karena jatuh.
Saat regu lain sedang berupaya keras memenangkan pertandingan, dan yang menonton bersorak-sorai memberi dukungan—aku sadar, sedari tadi aku tak melihat Gio atau pun teman-temannya ikut bermain bahkan mereka tidak terlihat menonton pertandingan. Aku keluar dari kerumunan, dan berjalan menjauh darinya. Mataku menyusuri seluruh bibir pantai, dari kejauhan tampak beberapa cowok yang sedang duduk-duduk di atas breakwater. Langsung dapat kukenali, salah satu dari mereka adalah Gio.
Malas sekali melihat mereka, jelas sekali mereka tampak sedang tenang merokok di sana. Pantas saja dia perokok, pergaulannya saja begitu. Gio tahu, aku benci sekali asap rokok. Apa bila ada seseorang yang merokok di dekatku, aku akan langsung menjauhinya. Namun karena dia Gio, dan aku tak bisa menjauh darinya, terpaksa kutahan-tahan saja bila dia merokok di dekatku. Dan anehnya aku nyaman-nyaman saja dengan hal itu, berbeda dengan orang lain, aku sama sekali tak risih dengannya.
“SEMUANYA, AYO KUMPUL! KUMPUL! WAKTUNYA KITA TUKAR KADO!” teriak Bang Gilang.
Semuanya langsung riuh mendekat dan berkumpul di tempat sebelumnya. Kado yang sebelumnya sudah dikumpul di dalam kotak besar, diambil berebut oleh para MABA. Jangankan memilih kado yang besar, aku bahkan tak mendapat ruang untuk sekedar melihat kado itu. Beruntung Kasih mengambil beberapa kado, dan membagikannya kepada yang belum dapat, termasuk aku. Aku membuka kado kecil yang kudapat, sebuah gelang pantai dari batu berwarna jingga, tanpa pikir panjang langsung saja kupakai gelang itu—dan untungnya pas, aku sempat khawatir gelang ini akan kebesaran di tanganku yang kurus.