Hampir pukul sembilan malam, kami pun tiba di kampus. Aku keluar dari bus, diikuti oleh Kasih dan kating pun berteriak lagi menyuruh kami berkumpul untuk absen. Aku sontak menoleh ke samping saat sedang berjalan mendekati barisan. Aku melihat seseorang berbaju putih dengan rok batik yang tampak seperti Dara lewat, dan aku mengejarnya.
“Dara! Dara! Daraa!” Aku berteriak memanggilnya. Namun kerumunan menghalangi pandanganku. Aku berhenti ketika sudah tidak melihatnya lagi, Dara menghilang lagi.
Frustasi, aku berbalik arah kembali ke tempat tadi. Namun baru selangkah usai berbalik seseorang meneriakiku.
“AWAS DEK!”
“Aaaa....” Aku sontak mendekap kepalaku dengan tangan.
Tidak ada yang terjadi... Ku buka mataku, kulihat wajah yang ku kenal di celah dekapan tanganku. Sadar itu, ku turunkan tanganku. wajah itu menyengirkan senyum, dia agak menunduk sejajarkan wajahku dan wajahnya. Aku menegak ludah. Aku malu....
“Kaget ya?” tanya nya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “kenapa bang?”
“Kamu nginjek kertas abang!”
Alisku terangkat, saat menunduk benar saja aku menginjak selembar kertas.
“Maaf bang maaf!” Langsung kuambil kertas itu. “Yah kotor!” langsung kuusap-usap kertas itu.
“Iya gak apa-apa! Kelepasan tadi, diterpa angin jatoh.” Diambilnya kertas ini dariku.
Aku balas nyengir.
Dia tersenyum semakin lebar. Tanpa babibu dia langsung pergi.
Kupukul kepalaku. Mengapa aku selalu mempermalukan diriku di depan cowok ganteng. Itu tadi Si IQBAL KW! Kating ganteng yang populer dikalangan mahasiswi baru fakultasku, yang banyak diburu untuk foto bareng. Menwa ganteng yang kutaksir saat PBAK, dengan pesona humoris dan kepala yang selalu dijaga kebotakannya. Satu-satunya orang yang namanya begitu melekat di ingatanku. Dia Bang Raihan!
Aku kembali ke barisan, bukan hanya Dara, aku sekarang juga kehilangan Kasih. Kutanya teman di sebelahku, benar saja Kasih pergi bersama teman-teman yang lain ke toilet. Dia memang sudah sejak tadi kebelet pipis.
Usai absen, kami dibolehkan untuk pulang. Aku melihat Dara lagi, langsung kuhampiri dia takkan kubiarkan dia menghilang lagi. Kuberikan sepatunya dan kusuruh dia mengenakannya, sedari di pantai dia nyeker. Tapi saat hendak mengenakan sepatu dia sadar kakinya terluka. Yang benar saja? Kami pun melapor pada kating dan dia mengajak kami ke KSR.
Tempatnya sama seperti UKS di sekolah, tempat yang sangat kuhindari, tempat yang sedikit pun tak ingin kukunjungi lagi. Namun karena rasa kemanusiaanku untuk membantu membopong Dara ke KSR memaksaku untuk masuk. Aku tahu, meski bukan tempat yang sama, aroma khasnya tetap sama. Aku melihat sekeliling ruangan. Ada terbesit sebuah rasa yang tak kutahu apa itu. Aku tidak takut, tidak marah, tidak pula sedih. Seperti.... Rasaku sudah hilang untuk tempat ini. Rasanya hatiku jadi sedingin es, dan membeku.
***
Aku dan Dara mencari Kasih, mengajaknya untuk makan malam di rumah makan depan kampus. Aku lost contact dengan Gio, aku juga tak melihatnya lagi setelah naik bus. Sudah lah, aku tak ingin menghubunginya. Aku mengeluarkan permen-permen yang kudapat dari kalung Gio tadi.
“Mau gak? Bagi-bagi deh! Aku gak suka permen.”
Diluar dugaan, mereka masing-masing hanya mengambil satu.
“Ambil lagi, banyak loh ini!”
“Udah disimpan aja, buat besok-besok.” Kasih membuka bungkus permen lalu memasukkannya ke mulurku.
“Iya, tadi kubela-belain ngambil dari Gio. Buat kamu aja!” Dara menambahkan.
Aku mendengus sebal dengan mereka. Aku benar-benar tidak suka permen—kecuali lolipop. Pesanan kami dihidangkan, permen yang belum habis ku emut, ku masukkan kembali ke bungkusnya dan kubuang. Dara dan Kasih melihatku dengan aneh.
“Aku mau makan.... Masa iya makan soto ayam campur permen apa rasanya?”
“Enak dong, ada manis-manisnya!” jawab Kasih.
“Eh iya juga ya!”
Aku tertawa bersama Kasih.
“Aduh pusing aku sama kalian berdua ini....” Dara mengeluh.
“Kita juga pusing nyariin kamu tadi! Mana hp di kita lagi,” timpalku.
“Itu tadi kakaknya udah masuk ke busku, aku udah bilang aku Dara, Dara bukan Rara! Malah dikira Rara. Pusing aku, ya udah lah yang penting udah masuk bus.”
“Iya, tapi kitanya yang khawatir. Ntar gak tahunya diculik setan lagi, senja-senja ilang!”
“Uh astagfirullahaladzim.... jauhkan bala ya Allah....” Dara merinding.
Aku tertawa lagi dengan Kasih.
“Oli nanti pulangnya ku anterin ya!” celetuk Dara.
“Loh gak perlu kok, lagiankan kost ku lebih jauh dari kost kamu.”
“Ku anterin aja, bahaya cewek jalan malam-malam sendirian.”
“Gak perlu aku udah biasa kok!”
“Ini udah diatas jam sembilan, ku anterin aja sampe kost.”
“Terus Kasih gimana?”
“Kostku dekat sini kok!” jawab Kasih.
“Ya udah kita anterin Kasih dulu, terus kita pulang bareng sampai kost kamu, dan aku pulang ke kostku.” Aku menyarankan.
“Loh kalau gitu kamu pulang sendirian dong.” Dara tak terima.
“Ya enggak dong, kan bareng kalian. Lagian dari kost kamu ke kostku juga dekat. Kalau kamu anterin aku, malah kamu jalannya sendiri, jadi bolak-balik lagi.”
“Gini aja, kamu telfon Gio minta dia jemput anterin pulang!” saran Kasih.
Aku terdiam mendengar saran itu keluar dari mulut Kasih. Sebelumnya aku sempat berpikir bila dia memutuskan pacarnya karena dia naksir pada Gio, di hari yang sama dia bercerita tentang hubungannya yang putus, di hari itu pula dia tahu aku jadian dengan Gio.
“Iya coba telfon Gio sekarang!” titah Dara.