Scenario

Nur Aisyah Z
Chapter #4

Part 3

Sudah hampir satu jam berlalu pelajaran sejarah berlangsung, sekitar 15 menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah. Aura bergegas menyusun semua buku-bukunya ke dalam tas mini bergambar bendera Amerika miliknya.

“Tugas kalian di rumah, mencari tahu lebih lanjut tentang pemberlakuan orde baru dan orde lama. Minggu depan Ibu harap, kalian bisa menjelasakan secara lisan.” Bu Lia, guru sejarah berujar menjelaskan tugas untuk anak-anak kelas XI-IPA-2. “sampai di sini dulu pertemuan kita, sampai jumpa minggu depan. Selamat siang!” Bu Lia berlalu meninggalkan kelas yang kemudian di susul dengan suara bel yang berbunyi.

“Yeeeeeeeeeh, pulang!”

Suasana kelas seketika ricuh dengan suara teriakan-terikan absurd teman-teman mereka. Keributan saat pulang sekolah, seperti saat ini sudah menjadi kebiasaan mereka. Kata mereka, itu adalah salah satu ungkapan terimakasih mereka terhadap guru piket yang bertugas membunyikan bel. Aneh memang, tapi itulah adanya.

“Ra, bareng siapa pulang?” tanya Alva, setelah mereka keluar dari kelas.

“Seperti biasa, sih. Naik angkot,” jawab Aura.

“Yaudah, kita bareng ke depan ya. Gue juga naik angkot.”

“Tumben gak dijemput bokap lo?” tanya Aura yang heran, karena biasanya Alva selalu di jemput Ayah tercintanya.

“Lagi ada kerja tambahan.”

Aura mengangguk mengerti. “Tapi, nunggu Giska dulu ya? Dia juga mau barengan ke depan, abangnya nunggu di sana.”

“Ok.”

Aura dan Alva menunggu Giska di kursi tunggu yang berada di ujung koridor menuju lapangan utama dan parkiran yang sejajar dengan pintu gerbang sekolah. Suasana sekolah masih cukup ramai, banyak juga yang sedang menunggu jemputan. Aura dan Alva sedang asik melihat-lihat branda akun instagram yang menampilkan wajah-wajah selebgram.

“Ini sih, manis imut gitu wajahnya Ra. Tapi, dianya udah punya doi. Nih liat deh ceweknya.” Alva memperlihatkan wajah manis seorang perempuan tengah tersenyum manis menghadap kamera.

“Iya, mereka sama-sama imut. Cocok banget mereka, iri gue,” ujar Aura sambil terkekeh.

Alva tertawa. “Nasib jomblo gini amat yak? Prihatin gue sama keadaan para jomblo,” ujar Alva sambil terkekeh miris.

“Tolong dong … itu wajah dikondisikan dengan baik. gak imut sama sekali, sumpah.” Aura menatap sinis ke arah Alva yang lebay tingkat dewa. “lagian kalo udah jodoh, gak bakalan ke mana kok.”

“Yakin lo? Ntar malah gak datang-datang lagi?”

Aura tampak berpikir sejenak. “Ya … mungkin aja kan?” ujar Aura sedikit tidak yakin.

“Lagian, ada yang mau deketin lo, keburu takut sama bokap dan abang-abang lo,” sahut Alva.

Aura tersenyum miris. Begitulah nasib anak perempuan satu-satunya, selalu di manja dan di jaga ketat. Belum lagi Papa Aura adalah seorang jendral TNI AU, selain tegas, dia juga sangat menjaga ketat dengan penuh kedisplinan anak-anaknya. Kalau kata Auliya biasanya, “bokapnya Aura itu, penakluk dan penjaga yang paling setia. Giamana gak setia, langit aja bisa dia taklukkan, pesawat tempur bisa dia jaga dengan baik. Apalgi anak dan istrinya, seluruh dunia pasti mengakui”. Terkesan lebay? Tapi itu adanya.

“Lagian gue juga gak ada niatan deket sama siapa juga sih. Gue mau fokus belajar biar bisa jadi dosen matematika,” ujar Aura sambil menerawang ke masa depan.

“Gue amini. Aamiin.”

Aura dan Hana terkejud melihat kemunculan Abriyan dengan ketiga curut—Beno, Putra dan Fikri, yang setia mengikutinya. “Kenapa? Kok gitu banget liatin gue? Gue terlalu ganteng ya?”

“B aja tuh,” jawab Aura santai.

Iih, gemesin deh kalo liat wajah Ara,” ujar Abriyan sambil tersenyum manis.

“Ho’oh, Alva juga. Manisnya, semanis pop ice rasa alpokat,” sahut Beno sambil mengedipkan sebelah matanya pada Alva.

“Paan sih gendut. Sok ngerayu lo … Sana jauh lo, ngalangi pemandangan aja,” ucap Alva ketus.

Aura dan Abriyan tertawa melihat tingkah Alva dan Beno yang memang sering sekali adu mulut, meski hanya sekedar bercanda, tapi terkadang mulut polos yang di miliki Alva cukup transparan saat berucap, kuat-kuat lah intinya.

“Jangan body shaming dong. Gue lapor ke HAM, nyaho lo ntar.” Tiba-tiba Putra menyahuti sambil merangkul Beno. “Sabar dut, gue selalu jadi sahabat sejati lo kok.”

Lihat selengkapnya