Tok tok tok
Itu dia.
Colli udah siap dengan semua bencana di balik pintu ini. Ia menarik napas sesaat. Tangan kiri menenteng plastik berisi kotak martabak yang tadi ia beli di pinggir jalan. Ia berdiri depan pintu yang menghubungkan kamarnya dengan rumah kepala sekolah.
Setelah melewati waktu magrib di sekolah bersama Pak Gendut. Colli akhirnya memaksakan diri untuk tetap ke sini. Ternyata bicara dengan Pak Gendut bisa bikin lebih tenang, walaupun harus mengalami hujan lokal sambal kacang.
"Bang Liel udah pulang?"
Itu suara Raga. Pemuda itu masih mengetuk pintu kamar Colli sambil memanggil. Colli sendiri berkali-kali menarik napas dan mengatakan dirinya siap tapi ia tak kunjung membuka pintu itu.
Sekali lagi Colli menarik napas. Tangannya terulur ke arah knop pintu, memutar kunci polos di sana. Ia membuka pintu dan langsung berhadapan dengan si adik sepupu yang memakai jaket dan celana levis selutut.
"Naaah, makasih udah beliin," kata Raga sambil tertawa mengambil alih kantong plastik di tangan Colli. Pemuda manis itu membuka kotak martabak, ia mengernyit. "Kok adem? Ini rasa cokelat kacang, ya? Kenapa gak yang spesial, Bang?"
Tanpa sadar Colli menghela napas. "Biar cepet," katanya singkat.
"Oh iya! Tadi Papa kasih aku uang, disuruh bagi dua sama Bang Liel!" seru Raga mengeluarkan selembar uang dari saku. "Tapi karena Bang Liel udah beliin aku martabak, jadi uangnya buat Bang Liel aja." Raga menarik tangan Colli dan meletakkan uang tersebut di telapak tangan Colli.
"Dah ya, Bang. Aku mau main dulu," pamit Raga undur diri.
Lantas Colli heran. "Raga!"
Panggilan Colli tentu membuat langkah Raga berhenti, diam-diam ia berharap si kakak sepupu itu meminta untuk tetap di rumah menemaninya.
"Lo nyuruh gue balik bukan karena ada acara? Kakek di mana?"
Raga menghela napas, tentu saja harapannya berlebihan. Raga tertawa paksa, "Kakek di rumahnya, lah!!" sahutnya mencoba asyik dan baik-baik saja.