"Eh?"
Cila mengangkat alis, melirik pemuda yang duduk di depannya. Kenapa lagi anak ini? Tiba-tiba kaget sendiri.
"Mending lo bantuin gue."
Setelah menetralkan diri Colli kembali memakan roti bakar kemudian berdeham malas. "Bantuin apaan?" tanya Colli setelah roti bakarnya habis.
Cila mendengus. Ia melempar sebuah proposal ke Colli, yang untungnya refleks Colli lagi bagus. "Besok kasih ke kepsek," kata Cila.
Colli membuka dokumen itu, gaya-gayaan aja biar keliatan berwibawa padahal mah dalam kepala, "Ini apa, anyiiing?"
"Ini udah semua?" tanya Colli mendongak. Cila pun melirik Colli dari balik laptopnya, membuat mata mereka bertemu. Colli buru-buru mengalihkan pandangannya. "Ehem!" Lagaknya serak, padahal dalam hati mengumpat karena panik.
"Tinggal tanda tangan lo sama kepsek."
"Oh o—" Colli menghentikan perkataannya. Ia menengadah melihat langit sambil membuka telapak tangan. "Gerimis?"
Dan setelah Colli mengeluarkan suara, rintik air mulai terasa. Dengan sigap Colli mengambil laptop Cila dan mengajak gadis itu masuk kafe untuk menghindari hujan. Namun begitu di dalam kafe, Colli sibuk mengutuk langit.
Colli melepas hoodie dan memberikannya pada Cila. Lantas gadis itu heran. "Bukannya lo gak kuat dingin?"
"Mana bisa gue biarin cewek pakai cardigan setipis itu," sahut Colli sambil memeluk dirinya sendiri. Risiko tinggal di negara panas; gak ada yang namanya pemanas ruangan, jadi kalau tiba-tiba udara sedingin ini tak ada opsi selain menaikkan suhu AC.
Colli melirik Cila yang masih menatapnya bingung sambil memegang hoodie. Ia berdeham malas karena merasa diremehkan. "Gini-gini gue cowok, lo cewek. Gue harus tetep jagain lo."
Pupil Cila mengecil. Kalau diingat, tadi saat hujan turun Colli buru-buru menyampirkan tas Cila dan membawa laptop Cila. Bahkan Cila hanya membawa mouse wireless di tangannya. Tadi Colli membawa laptop dengan satu tangan, karena tangan lainnya memegang puncak kepala Cila untuk menghalau air.