Dewi yang masih belum lepas dari keterkejutan, tiba-tiba saja ia sudah berada di dalam kafe dekat sekolah, duduk berhadapan dengan Ayu, bahkan telah memesan minuman masing-masing.
"Gue bakal to the point. Lo pacaran sama Yongki?"
Sesaat Dewi berdebat dengan pikirannya. Jika Dewi tetap menjaga hubungannya sebagai rahasia, maka ada kemungkinan Ayu membuat hubungan Dewi dengan Yongki menjadi retak. Jika Dewi mengungkapkan hubungannya, maka ada kemungkinan Ayu akan menyebarkannya dan ketakutan Dewi akan orang-orang yang ikut campur bisa menjadi nyata.
Tapi daripada orang-orang yang ikut campur, Dewi lebih takut kalau harus melepaskan Yongki. Apalagi dengan embel-embel demi kebahagiaan Yongki, karena Dewi belum menjadi orang yang selapang itu.
Dewi menghela napas dan mengangkat dagunya agar terlihat optimis. "Iya. Gue pacar Yongki," kata Dewi satu tarikan napas.
"Hm?" Ayu mengangkat alisnya. Ia mengecap setelah menyeruput minumannya.
"Gue mau memperingatkan lo, lebih baik lo putus."
Eung... Maksud lo apa ya?
"Kalau lo gak tau. Gue mantannya Yongki."
Gue putus, lo balika—
"He's not a gentleman."
"Huh? Pardon?"
"Gue pacaran sama dia empat bulan. Sebulan gue masih tahan. Tapi bulan ke dua, ke tiga, gue capek. He doesn't know how to treat a woman." Ayu mengungkapkannya sambil mengernyit, tanda seperti ia tak terima.
"Gak pernah mau date waktu weekend. Date cuman pas pulang sekolah, itupun jarang banget. Udah berapa lama lo pacaran sama dia?" tanya Ayu, tapi tak memberikan Dewi kesempatan untuk menjawab. "Sebulan? Dua bulan? Dia pernah ngerayain mensive? Pasti enggak."
Kemarin mensive. Besok weekend.
Dewi kembali mengingat kalimat itu, kalimat yang hari ini membuat Dewi merasa bahagia lebih dari apapun. Tapi bukan karena keduanya ada kaitannya. Mensive sudah berlalu, dan weekend tak ada hubungannya dengan mensive. Dewi memang tidak mengharapkan perayaan mensive yang berlebihan, tapi siapa yang tidak mau?
"Dia pernah ngajak lo date? Waktu hari libur!" tanya Ayu lagi yang terus mengorek Dewi, seolah ingin membuka mata Dewi pada kenyataan yang selama ini tertutupi oleh sesuatu yang ada namun terasa khayal.