Cicit burung-burung sesaat mengalihkan perhatianku dari kegelisahan, memberiku kesempatan untuk merasakan belaian lembut sinar mentari pagi yang terbiaskan dedaunan pohon lengkeng. Udara terasa sejuk, dan suasana yang cukup hening menghadirkan sebuah ilusi akan suara gaib sang pagi yang berkata, “Semuanya akan baik-baik saja.”
Aku tarik nafas panjang.
Aku duduk di sebuah bangku kayu antik di teras Aula SMA Firdaus, Sekolah Menengah Atas terfavorit di sepenjuru Bandung. Aku duduk persis di samping pintu aula itu sambil membaca sebuah novel karya Franz Kafka berjudul, “The Trial”, meski sebenarnya sebagian besar perhatianku tidak tertuju pada novel itu. Lagipula, sebenarnya aku membaca novel itu hanya sekedar menebar citra; sekedar menanamkan ide pada benak siapapun yang melihat aku, kalau anak baru gede ini cukup pintar untuk membaca bacaan hebat. Memang terkesan munafik, tapi aku tidak peduli. Khusus hari itu, aku merasakan betapa pentingnya kesan pertama.
Di sana aku tidak sendirian. Ada seorang anak cowok sebaya aku yang duduk di sisi lain pintu aula. Dia duduk dengan tenang meski aku tidak tahu apa yang dikerjakannya, entah membaca buku atau semacamnya, aku tidak memerhatikannya. Tapi aku tahu siapa dia. Namanya Valian. Aku tahu karena seperti aku, dia adalah finalis sayembara beasiswa SMA terfavorit di kota Bandung.
Terus terang, pagi itu aku gelisah setengah mati. Gugup dan tegang, dengan batin bertanya-tanya, “Tes apa yang disediakan dewan juri di dalam aula itu?” tapi tentunya aku tidak akan pernah tahu sampai aku menghadapinya. Di antara ketegangan itu, sempat terbersit hasrat yang mempertanyakan kembali, “Kenapa aku melakukan semua ini?”
Kamu pun mungkin akan menanyakan pertanyaan yang sama jika kamu tahu siapa aku. Bahkan Mama sendiri juga mempertanyakan keputusanku itu.
“Mama masih mampu membiayai sekolah kamu, Ann.” Aku ingat Mama pernah berkata seperti itu, meski aku yakin Mama sebenarnya mengerti akan alasan keputusanku itu. Ya, aku tahu Mama masih sanggup membiayai sekolahku, aku tahu aku tidak perlu bersusah payah memburu beasiswa itu, tapi….
Hari itu, telah genap dua bulan Papa meninggal; terpanggang dalam pesawat yang gagal mendarat…. Dan ketika Papa melepas nyawanya, aku sedang tertawa-tawa bersama teman-teman sambil mencoret-coret kemeja seragam sekolah setelah kami baru saja lulus SMP…. Terus terang, terpanggang bukan cara yang baik untuk mati. Percayalah. Kamu nggak akan mau melihat jenazah orang yang kamu cintai tapi kamu nggak bisa mengenalinya…. Sampai sekarang pun kerap aku merasa jenazah itu bukan Papa….
Namun bagaimana pun Papa sudah tidak ada, dan aku tahu ketika itu hidupku tidak akan lagi sama. Perubahan sedang menyongsongku dan aku mesti menyambutnya, mau atau tidak. Dan aku tidak sendirian, Mama juga merasakan hal yang sama. Kami mesti berubah. Dan langkah awalnya, aku dan Mama pindah ke Bandung…, dan bagiku sendiri, langkah selanjutnya adalah beasiswa itu.
Memang meninggalnya Papa adalah alasan utamaku, tapi alasan itu mengantarku ke alasan berikutnya yang menyatakan : jika Papa bisa meninggal sebelum aku, apa yang menghalangi Mama untuk meninggal sebelum aku dan meninggalkan aku sebatang kara di dunia ini? Terus terang aku ingin menyingkirkan pikiran itu, membuangnya jauh-jauh, menguburnya dalam-dalam. Tapi, ide itu tetap ada, ya, kan? Kemungkinan itu ada, Ann! Dan horornya benar-benar menghantuiku! Karenanya, dengan beasiswa itu, aku bisa menjamin pendidikanku sendiri tiga tahun ke depan. Lebih dari itu, beasiswa itu juga akan menunjukkan parameter “kemampuan bertahan hidup”-ku, karena aku akui aku tidak pintar. Aku bukan anak yang terlahir dengan otak encer, aku bukan si jenius yang bisa berkata, “dunia ada ditanganku.” Tapi, jika aku bisa memenangkan beasiswa itu, maka itu hasil kerja kerasku, dan jika aku bisa menang, maka aku percaya, aku bisa menghadapi apapun di dunia ini dengan kerja keras!
Kalau mengingat ada lima ratus orang peserta sayembara beasiswa itu dan sekarang tinggal aku dan cowok bernama Valian itu, aku rasa poin argumenku dapat dipertanggung-jawabkan. Benar, bukan?
Hanya masalah waktu pintu aula itu akan terbuka, dan ketika terbuka, tampak seorang wanita dewasa berdiri di pintu itu. Wanita itu bisa dibilang sebaya dengan Mama dan sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya dipotong pendek sampai terlihat tengkuknya, pakaiannya sangat rapi dan menunjukkan karakter yang kuat, dan beliau menyandang nama yang sangat tepat; Athena. Aku tahu karena beberapa hari sebelumnya aku melakukan sedikit riset tentang siapa saja staf dan personel sekolah elit ini. Mungkin kamu merasa heran atau bahkan menertawakan aku karena aku sampai melakukan riset segala hanya untuk sebuah beasiswa, dan mungkin riset itu tidak berguna. Mungkin aku memang agak berlebihan, tapi jangan anggap remeh informasi sekecil apapun, karena tidak ada informasi yang tidak berguna. Sun Tzu pernah menulis dalam risalah “Seni Perang”-nya (sekitar abad 500 Sebelum Masehi), “Jika kamu tahu musuhmu dan tahu dirimu sendiri, maka kamu tidak perlu takut hasil dari seratus pertempuran.”
Hence the saying: If you know your enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles.
… Kalau dipikir-pikir lagi mungkin memang benar kalau aku agak berlebihan, tapi setidaknya sekarang kamu tahu kalau aku sangat serius akan beasiswa itu.
“Arianna Novianty Rasyid,” Bu Athena memanggil namaku.
“Saya,” jawabku sambil berdiri.
“Valian Setyadi,” Beliau juga memanggil nama cowok itu.
Cowok itu juga berdiri.
“Sudah saatnya,” ucap Bu Athena, “ayo, ikuti saya.”
Aku pun mulai berjalan mengikuti Bu Athena memasuki aula, juga cowok itu.
Aula itu sangat luas. Dua ring basket yang berdiri di dua sisi aula yang berseberangan menunjukkan aula itu juga berfungsi sebagai lapangan basket selain sebagai auditorium. Di tengah-tengah aula itu terdapat meja panjang dengan lima kursi. Empat kursi diantaranya sudah diduduki dan satu kursi lagi kemudian diduduki oleh Bu Athena. Di hadapan mereka terdapat dua buah kursi yang bisa aku pastikan untuk aku dan cowok itu.
Kelima figur dewasa itulah dewan juri sayembara itu. Figur yang duduk di tengah adalah laki-laki paruh baya yang tampak berwibawa dan bijaksana, namanya Pak Firman, dia adalah kepala sekolah sekaligus guru mata pelajaran Sejarah. Bu Athena duduk di samping kirinya, beliau adalah guru Bahasa Inggris. Di sisi kanan Pak Firman adalah sosok tambun berkulit kuning dan bermata sipit yang sulit dipercaya kalau dia itu guru Olahraga; namanya Pak Ajat. Yang duduk di samping Pak Ajat adalah sosok laki-laki muda, tampan, tegap dan tampak selalu ceria, namanya Pak Rony; beliau adalah guru Sains. Sedangkan figur yang duduk di ujung kiri, di samping Bu Athena adalah sosok wanita yang tampaknya sebaya dengan Bu Athena dan sama cantiknya, meski bedanya sosok wanita ini berjilbab dan sorot mata di balik kaca matanya terasa dingin dan tajam; aku tidak tahu namanya, beliau tidak ada dalam data risetku.
“Assalamu`alaikum,” ucap Pak Firman memberi salam dan kami segera menjawabnya. “Silahkan duduk,” lanjut Pak Firman.
Kami berdua duduk.
“Tentunya masing-masing kalian sudah tahu hasil tes yang kalian jalani beberapa pekan silam dari surat kabar atau dari surat yang kami kirim, dan memang benar kalian berdua memiliki nilai yang seimbang. Kalian sama-sama kuat. Tapi, pemenang mesti hanya seorang. Di sinilah pemenang sayembara ini akan ditentukan.
“Sebenarnya kalian di sini tidak akan menjalani tes apa-apa. Kami hanya ingin mendengar motivasi masing-masing kalian mengikuti sayembara beasiswa ini. Dari motivasi yang kalian presentasikan, kami bisa menilai, baik dari sikap, isi motivasi itu sendiri, keuntungan dari motivasi kalian untuk sekolah ini, atau dari cara penyampaian…. Kasarnya…, coba rayu kami! Beri kami alasan mengapa masing-masing kalian layak mendapatkan beasiswa ini! Kalian mengerti? Ada pertanyaan?”
Aku diam tanda mengerti, juga cowok itu.
“Baiklah. Siapa yang akan memulai?” lanjut Pak Firman.
Aku langsung mengangkat tangan. “Saya harap saya mendapat giliran pertama jika Saudara Valian tidak keberatan,” kataku sambil berpaling ke arah cowok itu. Itulah pertama kalinya aku menatapnya. Dia memiliki wajah yang biasa-biasa saja, aku rasa, mungkin boleh juga disebut “cenderung” tampan. Dia memiliki dagu yang tampak tegas, dan matanya agak tersembunyi tulang alis yang menonjol, memberinya tatapan mata yang terkesan tajam.
Sebenarnya aku gugup dan takut untuk mendapat giliran pertama, tapi aku juga tahu kalau aku mengajukan giliran pertama, maka aku mendapat poin attitude sebagai orang yang percaya diri dan pemberani, dan sedikitnya menunjukkan motivasi yang kuat. Tapi, terus terang aku juga berharap cowok itu keberatan sehingga aku bisa mendapat poin sebagai orang yang bisa mengalah, tapi… tentu saja cowok itu tidak akan keberatan; dia mengangkat tangannya sambil berkata, “Silahkan. Saya tidak keberatan.”
Akupun berdiri.
“Assalamu`alaikum warohmatullahi wabarokatu,” ucap salamku yang segera menerima jawaban. “Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Illahi karena bagaimanapun atas karunia-Nya saya bisa berdiri di sini, dan saya ucapkan terima kasih telah diberi kesempatan berada di hadapan Ibu dan Bapak sekalian.
“Terus terang, tidak pernah terpikir sebelumnya saya bisa berada di sini, dihadapan Ibu dan Bapak sekalian, memperebutkan beasiswa dengan Saudara Valian, namun saya juga tidak bisa mengatakan saya berada di sini karena terseret-seret nasib. Saya berada di sini karena saya memilih dan memperjuangkan pilihan saya.
“Saya sering mendengar ungkapan kalau masa remaja adalah masa mencari jati diri, mungkin inilah yang sedang saya lakukan; mencari jati diri. Harus saya akui kalau saya bukan anak yang pintar; nilai-nilai akademis saya di sekolah sebelumnya bisa membuktikannya. Namun¸ ketika saya menghadapi tes sayembara beasiswa ini, saya berusaha keras, dan setelah menghadapi lima ratus pesaing dan kini tinggal Saudara Valian satu-satunya pesaing saya, saya menjadi bertanya-tanya, kemana lagi kerja keras saya akan mengantar saya? Saya sadar saya tidak bisa bekerja keras secara… sporadis; bagaimanapun saya membutuhkan bimbingan, dan sekolah ini memiliki segala hal yang terbaik untuk membimbing saya. Dengan bimbingan Ibu dan Bapak sekalian, beserta seluruh staf pengajar sekolah ini, saya yakin seluruh potensi terbaik dalam diri saya akan mengemuka… dan saya yakin akan manfaatnya bagi sekolah ini. Jadi, saya berharap bisa mendapatkan kesempatan ini. Terima kasih.” Aku akhiri sesiku dan kembali duduk sambil menarik nafas panjang. Terus terang, seharusnya aku merasa lega, tapi… tidak. Sambil duduk aku merasakan tubuhku gemetar. Aku merasa apa yang aku presentasikan kurang maksimal…. Apa aku telah melakukan kesalahan…?
“Menarik,” ucap Pak Firman, “sangat menarik. Sekarang bagaimana dengan kamu, Valian? Atau sebaiknya Bapak panggil Ian saja? Bapak dengar itu panggilanmu.”
“Benar, Pak, itu panggilan saya,” ucap cowok itu sambil berdiri. “Terima kasih, Pak. Terima kasih, Saudari Arianna,” ia berpaling sesaat ke arahku. “Saudari Arianna telah mengemukakan poin yang sangat fundamental; kerja keras. Saya tidak tahu cara lain untuk bisa berada di sini selain kerja keras.” Aku tatap cowok itu. Awalnya aku merasa dia memuji aku, tapi kemudian dia meneruskan, “Saya yakin lima ratus kontestan yang lainnya pun merasakan hal yang sama ketika mengisi formulir pendaftaran sayembara ini; siap dan bersedia untuk bekerja keras, dan sanggup menerima apapun konsekuensinya.”
Dia… dia tidak sedang memuji, tapi dia sedang meredam efek dari presentasi-ku! Seolah dia berkata, “Tentu saja kita ke sini dengan kerja keras, memangnya kita main-main apa?” Seolah dia menertawakan aku dan berkata, “Usaha yang bagus, Non, tapi sia-sia.” Atau lebih parah lagi, khayalku terbangun dengan mengubah sosok figurnya menjadi iblis yang berkata kepadaku dengan suara berat, serak dan terkesan brutal, “Puny human, a worthy effort, but futile, HA HA HA!”
“Saya pribadi tidak terlalu percaya dengan bakat lahir,” lanjut Valian, “kecerdasan turunan, atau semacamnya. Saya yakin, dimana ada kemauan maka di sana pasti ada jalan. Yang diperlukan hanyalah determinasi, bukan begitu, Saudari Arianna?”
Aku merunduk. Kucoba tidak memperlihatkan kegalauan batinku.
“Jadi saya kira keberadaan kami dihadapan Ibu dan Bapak sekarang ini, tanpa perlu lagi dipertanyakan kemauan kuat kami dan niat kami bekerja keras.”
Kulihat dia menarik nafas panjang. “Sungguh saya ingin menjadi bagian dari sekolah ini, karena saya tahu, secara akademis, sekolah ini memiliki prestasi yang luar biasa. Saya rasa, dari hasil tes-tes yang saya jalani, Ibu dan Bapak bisa mempertimbangkan kalau saya sanggup untuk memperjuangkan atau setidaknya mempertahankan prestasi sekolah ini. Selain itu saya merasa memiliki potensi lain, yang jika diijinkan, saya akan memperlihatkannya. Bolehkah?”
Pak Firman sesaat melirik ke kiri dan kanannya, melihat reaksi dari kolega-koleganya, dan kemudian barulah beliau berkata, “Silahkan.”
Kemudian Valian maju beberapa langkah menjauhi kursi, lalu dia rapatkan kedua telapak tangannya di dada, dan membungkuk memberi hormat. Kemudian dia melebarkan kedua kakinya, memasang kuda-kuda, sambil mengulurkan telapak tangan kanannya ke depan sedang tangan kirinya terkepal di sisi pinggang kiri. Seketika aku tahu kalau dia akan memperagakan sebuah ilmu bela diri.
Kemudian dia mulai bergerak. Dia melangkah menyamping dengan cepat ke kanan dan berhenti dengan memutar badannya, mengibaskan kaki kiri di lantai, dan kemudian dilanjutkan dengan melompat dan menendangkan kaki kanannya ke atas hingga ujung kakinya menyentuh telapak tangan kiri yang sebelumnya telah direntangkan. Lalu ketika dia mendarat dia jatuhkan badannya ke lantai, yang aku pikir dia hendak merentangkan badannya di lantai, tapi aku salah, dia tumpukan tangan kanannya ke lantai dan memutar badannya, memberi momentum pada kaki kanannya hingga tumit kakinya menghantam lantai. Dia lakukan semua itu dengan gerakan yang lugas, namun tegas. Tapi, tidak hanya itu yang dia lakukan. Seiring gerakannya dia pun berdeklamasi.
“Hamba berjalan di kaki langit,
Menuju batas yang tak tampak,
Kadang merunut jejak yang ada,
Di punggung bungkuk kenangan yang tersisa…”