Adolescent Crash

DMRamdhan
Chapter #2

2. Friend or Foe

Pagi baru telah menjelang dan aku turun dari mobil.

"Nanti Mama jemput, ya?” kata Mama.

“Nggak usah, Ma. Anna bisa pulang sendiri. Assalamu`alaikum,” kataku sambil menutup pintu. 

Sempat kulihat wajah Mama tersenyum dari balik jendela mobil sebelum mobil itu kembali melaju.

Aku tarik nafas panjang ketika kutemui diriku berdiri di depan gerbang kampus SMA Firdaus. Sudah lima belas hari sejak pertama kali aku berada di sini, dan seperti saat itu juga aku lihat semburat cahaya jingga dari mentari yang baru terbit, menghiasi langit cerah yang biru membentang bak kubah raksasa yang melingkupi Bandung Raya. Hanya saja, suasana kali ini yang semula sepi, terakumulasi menuju ramai, menyiratkan nafas hidup yang penuh akan harapan, memberiku sensasi yang mengatakan, “Apa yang akan membuat semuanya tidak akan baik-baik saja?” Yah, memang aku tidak bisa menjamin hari itu tidak akan berubah menjadi mimpi buruk, hanya saja, setidaknya dengan melihat pagi yang cerah, harapku terapal menjadi… sugesti sehingga sore nanti aku bisa temukan diriku sehat walafiat dan bahagia….

“Ya, kenapa tidak?” gumamku sambil tersenyum, lalu aku melangkah memasuki gerbang itu.

Omong-omong, namaku Arianna. Oh, aku yakin kamu sudah tahu itu, tapi aku yakin kamu nggak tahu bagaimana rupaku, dan mungkin kamu nggak akan pernah mengenali rupaku meski aku mendeskripsikannya dengan kata-kata secara detil. Tapi, aku yakin kamu bisa mendapatkan gambaran tersendiri tentang diriku walau cuma dengan kata sederhana seperti, cantik. Ya, aku cantik, dan kamu saat ini bisa saja berkata, “Pédé amat nih anak!” Tapi, cobalah mengerti dilema yang aku hadapi ini: jika aku katakan aku jelek atau biasa-biasa saja, maka aku akan menyangkal sebuah fakta bahwa aku mirip Mama, dan karena menurut orang-orang di sekitarku, Mama itu orangnya cantik; rasanya nggak hormat jika aku katakan, aku biasa-biasa saja, padahal aku mirip Mama dan Mama orangnya cantik. Logika seperti ini nggak bisa dibantah, kan? Meski aku juga tahu, aku nggak bisa menyangkal logika lain yang mengatakan, “Cantik itu relatif,” yang dalam hal ini justru menguntungkan aku sebagai penulis dan juga kamu sebagai pembaca, karena aku bisa menghemat kata-kata, dan kamu bisa dengan bebas membayangkan seorang gadis cantik dan memberinya label Arianna. Dengan begini, aku akan tetap cantik bagi siapa pun, ya, kan? (Wow, ternyata menulis itu menyenangkan, ya?)

Pagi itu, aku memakai seragam berupa kemeja putih lengan panjang dan rok panjang semata kaki berwarna coklat muda, berikut vest yang juga coklat muda yang menyembunyikan sebagian dasi coklat tua; di dada kiri vestku terdapat lambang SMA Firdaus. Aku kenakan sepatu coklat dari bahan kulit dengan kaus kaki putih dan tas selendang hitam yang saat itu aku jinjing. Rambutku tergerai melebihi bahu, meski sebenarnya aku lebih suka mengikatnya bak ekor kuda, tapi pagi itu aku tidak sempat. Aku rasa penampilanku biasa saja.

Langkahku telah melewati gerbang depan sekolah, lalu menapaki lantai aspal pelataran parkir. Kulihat beberapa siswa senior memarkirkan sepeda motornya. Langkahku masih berlanjut menuju gedung bertingkat tiga dengan sebuah gerbang besar dalam keadaan terbuka persis di depanku. Praktis ketika aku melihat gedung itu seolah-olah kulihat seraut wajah raksasa dengan pintu itu sebagai mulut yang siap menelanku. Ya, kamu mungkin sudah tahu kalau imajinasiku kadang sedikit liar.

Pintu besar itu adalah awal dari sebuah koridor. Seiring langkahku menyusuri koridor, aku melihat sebuah kantor satpam. Sempat pula aku tersenyum kepada seorang pria setengah baya berseragam satpam yang berdiri di pintu. (Dari label namanya satpam itu bernama Sukirna.) Yang berseberangan dengan ruang satpam adalah ruang Unit Kesehatan Siswa, pintunya tertutup. Lalu kulihat ruangan Administrasi di kedua sisi koridor, lalu kulihat perpustakaan di ujung koridor, yang berseberangan dengan Ruang Guru dan Kantor Kepala Sekolah. 

Ketika aku berada persis di depan pintu kantor Kepala Sekolah, kulihat Pak Firman keluar dari pintu itu.

“Oh, Arianna,” sapa Pak Firman. “Hari pertama belajar, ya? Bagaimana? Sudah dapat banyak teman waktu MOS (Masa Orientasi Sekolah) kemarin?”

Aku tersenyum. “Alhamdulillah. Tapi saat ini masih pada tahap mengantisipasi hostility, Pak,” jawabku sekedar mencoba mengemukakan komentar cerdas.

Pak Firman tertawa. “Ya, memang baik bersikap waspada, tapi menutup diri tidak baik juga, benar, bukan?”

Aku mengangguk. Saat itu sempat terpikir untuk menanyakan tentang Valian, tapi… sepertinya itu bukan urusanku.

“Kamu di kelas satu-A, bukan? Bapak di pelajaran pertama di sana. Sampai nanti, ya? Assalamu`alaikum,” lanjut Pak Firman dan kemudian beliau pergi setelah aku menjawab salamnya.

“Kamu kenal sama Pak Firman?” Tiba-tiba kudengar seseorang berbicara kepadaku.

Seketika aku berpaling untuk melihat siapa yang berkata itu. Aku lihat seorang anak cewek berseragam sama seperti seragamku. Cewek ini cantik, atau bisa dibilang terlalu cantik. Matanya biru bak langit cerah, rambutnya keemasan, kulitnya putih bersih; seketika aku tahu kalau cewek ini kaukasoid alias bule. Dia tidak sendirian.

“Tentu saja dia kenal,” sahut temannya itu yang juga anak cewek, tapi cewek itu berjilbab dan lumayan cantik, atau imut lebih tepatnya. “Dia kan pemenang beasiswa sekolah ini.”

 “Benarkah?!” pekik cewek bule itu terkejut—sangat terkejut.

“Hey, kenapa mesti terkejut seperti itu?” ucapku sambil memicingkan mataku.

“Sori, bukan maksudku… tapi… kamu sepertinya bukan tipe cewek yang….” Cewek bule itu tampak kesulitan melanjutkan kalimatnya.

“Pintar,” sambung temannya, terdengar naïf.

Aku pun tertawa. “Apa orang cantik nggak boleh pintar?” candaku seramah mungkin. Kalau aku menanggapi mereka dengan ketus tentunya dengan cepat dua anak cewek itu menjadi musuhku. Bukan langkah yang bijak, bukan?

Dua anak cewek itu tertawa menyambut candaku.

“Namaku Arianna,” ucapku seraya menjulurkan tanganku.

“Ya, aku tahu,” sahut cewek berjilbab sambil tersenyum ramah dan menjabat hangat tanganku, “Aku Noah.”

“Aku April,” kata si cewek bule, juga ramah.

“Kamu tahu banyak tentang aku?” tanyaku pada Noah.

“Dia ikut-an sayembara beasiswa juga,” jawab April, “dia lumayan ambisius.”

“Ya, aku mengikuti tiap tahapan,” sambung Noah, “kecuali final—eh, waktu final, tesnya seperti apa?”

“Cuma wawanca—“ Kata-kataku mendadak terhenti ketika pandanganku melewati bahu mereka dan melihat Valian. Dia berjalan cepat ke arah kami, dan terus berjalan melewati kami. Kulihat dia berjalan sambil sesekali melirik sebuah buku di tangan kanannya, entah buku apa, sampulnya hitam dan tidak ada tulisan apa-apa. Valian mengenakan setelan jas dan celana panjang warna coklat muda sebagaimana seragamku, begitu pula dengan dasi dan sepatunya. Tas ransel warna biru tua menggelayut di bahu kanannya, berayun seiring langkahnya.

Terus terang, waktu aku tulis ini, khayalku menghambat jalan cepat Valian menjadi semacam gerak lambat yang menghadirkan Valian sebagai tokoh protagonis dalam semacam film action dengan segala karisma dan jiwa ksatrianya. Tapi, kalau aku pikir lagi, khayal itu agak konyol juga karena akulah tokoh protagonisnya! Aku yang menulis ini, bukan? Aku bukan Arthur Hastings yang menceritakan sepak terjang Hercule Poirot, aku bukan Dr. Watson yang memaparkan aksi Sherlock Holmes! Aku yang melakukan aksi terhadap setiap pilihan yang hadir di hadapanku! Aku yang bereaksi terhadap setiap aksi yang menghadangku! Meski…. Sepertinya aku terkesan angkuh, ya? Agh, just write, Okay!

“Siapa dia?” tanya April.

“Valian,” jawabku, juga jawab Noah bersamaan. “Dia lawanku waktu di final,” sambung aku.

“Keren, ya?”ucap April sambil terus menatap punggung Valian yang terus menjauh.

Aku langsung menatap April, “Jadi seperti itu tipe cowok kamu?”

“Eh—aku mengatakannya keras-keras, ya?” April tersipu malu.

Aku dan Noah seketika saling menatap sebelum akhirnya tertawa.

“Aku dengar kamu di kelas satu-A?” ucap Noah, “Aku juga. April juga.”

“Kalian teman satu SMP?” tanyaku.

“Ya,” jawab April. “Lebih dari setengah siswa angkatan baru di sini lulusan SMP Firdaus.”

“Tapi, waktu SMP kami nggak terlalu akrab. Cute girl and smart girl don’t really mix, you know?” tambah Noah setengah bercanda.

Hey! What is that suppose to mean?” tukas April sambil memukul bahu Noah. Noah menerima pukulan itu sambil tertawa.

Aku juga ikut tertawa sambil kemudian menimpali, “Kalau pernyataan Noah benar, berarti akulah yang mematahkan paradigma itu.”

“Eh, apa maksudnya?” ucap April heran.

Well said, Arianna,” kata Noah seraya menepuk pundakku dan tertawa.

“Hey, apa maksudnya?” tanya April lagi.

“Sudahlah. Ayo kita ke kelas,” usulku seraya berbalik dan mulai melangkah.

Lihat selengkapnya