Aku pernah membaca sebuah novel karya Natsume Soseki berjudul “I Am a Cat II”. Dalam Novel itu ada saat si tokoh kucing ini berpendapat seperti ini, “Untuk menuliskan setiap peristiwa selama dua-puluh-empat jam dan membacanya kembali, aku pikir, memakan waktu sedikitnya dua-puluh-empat jam lagi.” Mungkin ada benarnya pendapat ini tapi, aku tidak sepenuhnya setuju, karena aku rasa kamu juga mengerti kalau rangkaian huruf M, A, L, A dan M bisa memberimu kegelapan setelah sang surya tenggelam. Aku pikir, rangkaian huruf bisa merangkum rentang waktu meski seumur hidup sekalipun, kamu sependapat, bukan? Tapi, aku rasa Tuan Natsume pun sebenarnya menyadari akan hal ini. Beliau berpendapat seperti itu hanya sebagai pendahuluan untuk argumen si kucing yang berusaha menekankan kalau dia, seperti mahluk lainnya, juga perlu istirahat, dan dari sudut pandang ini aku sangat setuju.
Harus aku akui, bakat, waktu dan tenagaku sangatlah terbatas. Karenanya, aku tidak bisa memberikan detil setiap peristiwa yang terjadi, meski aku menginginkannya. Tapi, walaupun aku memiliki bakat, waktu dan tenaga yang tidak terbatas, apakah aku mesti membunuh kamu sebagai pembaca dengan kebosanan? Jujur, setelah hari pertama sekolah itu, segala detil yang terjadi memang agak membosankan.
Selain pelajaran yang kian menumpuk, Pekerjaan Rumah yang ternyata lumayan membebani, tugas-tugas yang memperpanjang daftar di agenda, persainganku dengan Valian sepertinya terus berlanjut meski tidak terekspresikan. Selain mengenai persoalan kelas, kami hampir tidak pernah berbicara satu sama lain selain urusan kelas. Hebat, bukan? Sebuah Perang Dingin setelah segala beban yang ada!
Dalam “Perang Dingin” itu, satu-satunya arsenal yang kami miliki adalah nilai. Memang nilai aku dan dia saling kejar mengejar dan praktis bisa dikatakan setara. Aku katakan ini bukan karena aku merasa kalah dari Valian, justru sebaliknya, aku lebih difavoritkan guru-guru. Valian ternyata memiliki sifat pemberontak terhadap otoritas guru, meski memang aku tidak pernah mendengar ada guru yang memarahinya, tapi sifatnya ini membuatnya setingkat dibawah aku dipandangan guru-guru. Kalau dilihat dari sisi ini, sepertinya aku lebih superior dibandingkan dia, tapi sebenarnya tidak. Aku memandang Valian lawan yang kuat bahkan lebih kuat dari aku. Aku tidak boleh lengah sedikitpun.
Sempat aku bertanya-tanya, kenapa dia bersikap resentful terhadap para guru? Memang sih sikapnya itu tidak vulgar, tapi aku melihatnya cukup jelas. Kamu bisa melihat bagaimana sikapnya terhadap Pak Firman, kan? Tapi menurutku itu absurd, maksudku, jika memang dia mengadakan semacam negosiasi terselubung dengan Pak Firman (atau pihak sekolah) sehingga dia bisa sekolah di sini tanpa biaya, atau sebut saja semacam beasiswa rahasia, bukankah dia mesti menjaga sikap supaya beasiswa itu tidak dicabut. Ataukah asumsiku salah? Ataukah sebenarnya tidak ada negosiasi terselubung antara Valian dengan Pak Firman? Ah, aku rasa ada! Negosiasi itu pasti ada! Kalau tidak, dia tidak akan terkejut sewaktu aku menanyakannya. Tapi apa isi negosiasi itu? Apakah ada hubungannya dengan dia jadi Presiden klub Pencak Silat?
Sekilas mungkin tidak ada hubungannya denganku dan mungkin tidak ada gunanya sama sekali aku mempertanyakan semua itu, tapi, seperti kata Sun Tzu, “Jika kamu mengetahui musuhmu dan mengetahui dirimu sendiri, maka kamu tidak perlu takut akan hasil dari seratus pertempuran sekalipun.” Aku merasa harus tahu apa yang kesepakatan terselubung antara Valian dan Pak Firman itu. Tapi untuk mengetahui semua itu, aku tidak bisa menyerang secara frontal. Strategy is at the essences!
Di sisi lain, secara alami dan tanpa disadari sepenuhnya, aku, April dan Noah menjadi sahabat. Entah apa alasannya, aku tidak tahu. Mungkin sebenarnya tidak perlu alasan untuk menjadi sahabat, tapi jika tidak perlu alasan, tentunya aku akan bersahabat dengan semua orang, bukan? Aku rasa memang ada alasan, tapi aku tidak bisa menunjukkan dan mengatakannya. Mungkin yang paling masuk akal adalah, setiap aku bersama mereka aku merasa nyaman, aku merasa dihargai, disayangi dan dikasihi. Bersama mereka aku merasa hidup.
Aku ingat, setelah bel pulang berbunyi pada hari pertama sekolah itu, Valian mengumumkan dibukanya pendaftaran klub “Pencak Silat” lalu dia bagikan formulir ke seluruh teman-teman, juga aku. Dan ketika pulang sekolah, April bertanya kepadaku, “Kamu mau ikutan Pencak Silat?”
“Nggak. Aku nggak tertarik,” jawabku pasti. “Kamu mau ikut?”
April mengangguk. “Ya, aku ikut.”
“Karena kamu naksir presidennya, ya, kan?” godaku.
“Nggak! Nggak!” sanggahnya dengan rona merah dipipinya. “Aku cuma… Ibuku akan senang kalau aku ikut kegiatan semacam ini. Ibuku tergila-gika sama kesenian Sunda.”
“Waktu di SMP April masuk klub Tari, malah sudah jadi Bintang se-Bandung Raya,” timpal Noah. “Aku juga mau ikut, ah. Kalau-kalau ada laki-laki iseng.”
“Emang bakal ada laki-laki yang iseng-in kamu?” candaku.
Noah cemberut seketika.
“Sori-sori, candaan kejam, ya?” kataku cepat-cepat, “tapi terus terang, Noah, seharusnya kamu menjawab ‘Amin!’. Soalnya meski cara penyampaiannya yang jahat, tapi esensinya baik. Semoga saja nggak pernah ketemu sama laki-laki iseng, ya, kan?”
Cemberut Noah tiba-tiba berubah jadi senyum dan matanya menerawang memikirkan perkataanku sambil bergumam, “Benar juga, ya? Kenapa nggak terpikir olehku?”
Tiba-tiba April merangkul bahuku dan juga bahu Noah sambil tertawa riang. “Sepertinya kita bisa jadi sahabat sejati, ya?” katanya, juga riang.
“Amin!” sahut aku dan Noah.
Hari itu kami pulang bersama-sama; saling bertukar alamat dan saling bertukar nomor ponsel.
Hari-hari berlalu….
Terus terang, sebenarnya aku ingin juga ikut klub Pencak Silat bersama April dan Noah, tapi itu sama saja dengan menyeberang garis batas musuh. Aku tidak ingin menjadi bulan-bulanan Valian di daerah kekuasaannya. Noway! Mungkin jika bukan Valian presidennya aku akan ikut, tapi tentu saja pengandaian ini sia-sia, belum secara silogisme; kalau bukan Valian presiden klub ini, maka klub ini tidak akan ada, benar, bukan? Karena, Valian-lah pendiri klub ini. Sempat juga terpikir kalau dia mungkin saja bukan tipe orang seperti itu. Bukan orang picik yang bersedia menyempatkan diri menjadikan orang lain bulan-bulanannya untuk sekedar menunjukkan superioritasnya. Ya, mungkin saja, tapi aku tidak bisa menjaminnya. Pilihan terbaik, aku tidak ikut klub itu.
Tapi, pilihan ini ada konsekuensinya. Kamu tahu? Sejak hari pertama itu, aku, April dan Noah selalu pulang bersama. Ternyata setengah dari perjalanan pulang kami memang searah dan pulang bersama pun menjadi semacam ritual sakral yang rasanya tabu untuk dilanggar. Karenanya, jika mereka ada latihan Pencak Silat, aku mesti menunggu. Sebagai sahabat tentunya aku bersedia menunggu. Aku bisa mengungsi ke perpustakaan selama mereka berlatih.
Koleksi buku perpustakaan ini memang luar biasa sehingga bisa membunuh rasa bosan selama aku menunggu. Tapi, sempat juga aku berpikiran untuk ikut salah satu klub ekskul (ekstrakurikuler) yang ada di sekolah ini. Memang pihak sekolah tidak menuntut aku untuk ikut salah satunya, tapi sebagai pemenang sayembara beasiswa, aku merasa memiliki kewajiban untuk berprestasi di ekskul juga.
Mungkin kamu sudah bisa menduganya, kalau buku telah memiliki tempat yang istimewa di hatiku. Jadi, rasanya menyenangkan juga kalau aku ikut klub Pustakawan. Tapi aku urungkan niatku ketika aku tahu guru pembimbing klub ini adalah salah satu mantan dewan juri sayembara beasiswa bernama Hasya. Bukannya aku membenci ibu guru berjilbab ini, atau menaruh dendam, atau apapun, tapi… entahlah… sulit juga untuk menggambarkannya lewat kata-kata.
Bu Hasya adalah juga salah satu guru yang mengajar di kelasku. Beliau mengajar pelajaran Bahasa Sunda dan setiap kali beliau mengajar, aku merasakan kesan yang sangat kuat darinya; kesan yang memberiku rasa takut yang sangat. Rasanya agak aneh juga beliau mengajar Bahasa Sunda, karena yang aku tahu Bahasa Sunda adalah bahasa yang ramah, tapi aku tidak merasakan keramahan itu saat beliau mengajar. Bukannya dia mengajar dengan ketus atau galak atau kejam. Tidak, tidak sama sakali. Cara beliau mengajar biasa saja, bahkan tanpa tendensi apa-apa, nyaris tanpa emosi. Beliau sampaikan materi yang perlu disampaikan, beliau terangkan yang perlu diterangkan, beliau ajukan pertanyaan yang seketika mendapat jawaban (lepas dari jawabannya benar beliau tidak memuji, dan salah pun beliau tidak marah). Entah itu dari gaya bicara beliau, atau sorot matanya, atau gesture-nya, atau apaupun itu, entiti diri beliau adalah rasa takut, seolah-olah setiap aku melihat dirinya, beliau berkata, “Jangan macam-macam denganku!” Dan aku tidak sendirian, teman-teman yang lain pun berpendapat sama.
Kamu mungkin sempat memandang absurd karakter Bu Hasya ini terutama kapasitasnya sebagai guru pembimbing klub Pustakawan. Jika beliau benar merupakan entiti dari rasa takut dan juga guru pembimbing klub Pustakawan, bukankah tidak akan ada yang bersedia menjadi Pustakawan? Kamu memang benar, dan ini adalah salah satu alasanku urung menjadi anggota klub itu, karena ternyata yang menjadi anggotanya adalah siswa-siswa bermasalah, siswa-siswa garang yang kedapatan suka berkelahi dan tawuran. Rasanya miris juga mendapati perpustakaan menjadi semacam kelas detensi. Tapi, harus aku akui, aku juga melihat sisi baiknya. Coba saja tidak mengembalikan buku selama sebulan, kalau beruntung mungkin hanya pintu rumah saja yang digedor para pustakawan itu. Mungkin inilah alasannya koleksi buku di perpustakaan itu begitu luar biasa terjaga. Sempat juga terpikir, kenapa siswa-siswa bermasalah itu tidak ditempatkan di klub Pencak Silat? Tapi itu sih sama seperti memberi belati kepada pembunuh, bukan? Ya, aku bisa melihat keunikan posisi Bu Hasya sebagai guru pembimbing klub Pustakawan. Selain menghukum siswa-siswa bermasalah itu, mereka pun mendapat sedikit keberadaban. Meski efek sampingnya, aku tidak bisa ikut klub itu. Aku mesti memilih klub yang lain.
Sebagian banyak siswa di sekolah ini lebih memilih klub Teater dan klub Paduan Suara, tapi aku tidak tertarik. Tapi, terus terang, sejak aku temukan klub Pustakawan terlarang bagiku, seleraku untuk masuk klub ekstrakuriluer jadi hilang. Sampai kemudian seseorang mendatangiku.
“Kamu Arianna, kan?” tanya seorang siswa berjilbab dan berkacamata.
Aku mengangguk seraya menutup sebuah novel tentang abad pertengahan, kalau ingatanku tidak salah judulnya, “The Crown and The Ring”.
“Namaku Hanifah. Aku dari kelas dua-C,” kata siswa itu memperkenalkan diri, “boleh aku duduk di sini?” katanya lagi seraya menunjuk kursi di sampingku.
“Ya, silahkan,” jawabku.
“Kamu suka cerita fantasi, ya?”
“Aku sih suka segala macam cerita. Kak Hanifah suka cerita seperti ini?”
“Panggil aku Hani. Ya, aku suka, seperti ‘Lord of the Ring’-nya Tolkien. Kamu pernah baca?”
“Belum. Karya Tolkien yang pernah aku baca baru ‘The Hobbit’,” jawabku.
Hani tersenyum lebar. “Jangan pernah tertawa—”
“Di depan naga yang masih hidup,” kataku mengiringi perkataan Kak Hani, mengutip sebuah kalimat di buku “The Hobbit” karya J. R. R. Tolkien.
Kami menahan tawa bersama-sama. Mungkin kami akan tertawa lepas jika tidak sedang berada diperpustakaan.
“Kamu tahu?” Kak Hani tiba-tiba berbisik, “Kalimat itu rasanya cocok diatributkan ke Bu Hasya.”
Aku mendengus dan segera menahan mulutku dengan telapak tangan supaya tidak tertawa. “Kakak juga merasakannya?”
“Siapa yang tidak? Dan jangan panggil aku Kakak, Hani saja sudah cukup,” jawab Hani setengah berbisik. “Tapi bukannya aku nggak hormat sama Bu Hasya, ya? Justru sebaliknya.”
“Ya, aku mengerti. Setiap kali beliau mengajar di kelas, yang pertama kali terasa adalah rasa takut.”
“Ya. Tapi bukan takut yang membuat kita merasa harus menjauhinya. Bukan seperti takut menghadapi ular atau semacamnya, tapi takut yang… aneh.”
“Takut yang menuntut rasa hormat,” timpalku lirih.
“Tepat!” sahut Hani.
“Aku belum pernah bertemu guru semacam Bu Hasya sebelumnya,” ucapku menerawang.
“Aku rasa ada hubungannya dengan nama beliau,” kata Hani membuka diskusi baru.
“Maksudnya?” tanyaku heran.
“Yah, mungkin Shakespeare bisa mengatakan ‘Apa arti sebuah nama?’ sebagai pertanyaan retorika, tapi dalam Islam pertanyaan Shakespeare itu ada jawabannya, kamu tahu jawabannya?”
“Nama adalah doa?” ucapku mencoba menjawab.
“Benar. Aku pernah melihat buku makna tentang nama-nama, dan aku tahu kalau Hasya artinya ‘kesempurnaan, tapi aku juga temukan bunyi yang mirip dengan Hasya di Al-Quran; khosya, rangkaian huruh Hizaiyyah kho ( ﺨ ) dan sya ( ﺸ ), yang artinya takut. Memang aku bukan ahli bahasa Arab, tapi lewat Al Quran sendiri aku bisa menganalisanya. Kamu tahu? khosya ini bukan takut sembarang takut. Aku tidak menemukan rangkaian huruf ini di ayat yang menceritakan ketakutan akan kelaparan, kemiskinan dan kematian. Tapi, aku temukan rangkaian huruf ini selalu mengiringi rasa takut akan Allah, atau rasa takut akan azab Allah, atau semacamnya. Masuk akal, bukan?” jelas Hani.
“Kalau begitu doanya terkabul,” ucapku mencoba berkelakar.
“Tapi Ibu lebih memilih ‘kesempurnaan’ daripada ‘takut’.”
Nafasku tiba-tiba tercekat! Dan seakan seluruh darahku turun ke kaki karena tiba-tiba kami mendengar suara Bu Hasya di belakang kami!
“Akan ada baiknya kalau diskusi kalian diteruskan di teras,” ucap Bu Hasya dingin, tanpa emosi sama sekali.
Kami berdiri dari kursi kami. Aku mulai rasakan bulir-bulir keringat dingin bermunculan di keningku.
“Maaf, Bu,” ucap Hani seraya menghadap Bu Hasya, “Permisi.”
“Silahkan,” ucap Bu Hasya lagi dan juga dingin.
Kamu bisa rasakan horor yang aku rasakan, bukan?
Kami berdua berjalan agak kaku, keluar perpustakaan lalu duduk di bangku teras perpustakaan. Kami diam cukup lama, belum bisa bernafas lega.
“A-aku tidak mendengar langkah kakinya,” gumamku lirih dan agak bergetar.
“Aku juga. Maaf ya? Ini semua gara-gara aku,” ucap Hani.
“Tidak apa-apa. Aku tidak menyalahkan kamu,” kataku meski, terus terang, dalam batinku aku ingin memaki-makinya. Tapi, memaki-maki tidak akan memperbaiki keadaan, bukan? “Tapi, sebaiknya kita minta maaf sama beliau.”
“Apa?! A-aku… entahlah. Sepertinya aku tidak bisa menghadapinya lagi…. Mungkin tidak akan jadi masalah,” sahut Hani gugup.
Aku berpikir sejenak. “Aku tidak bisa menjaminnya. Aku akan minta maaf sekarang.” Aku langsung berdiri lagi dan berjalan masuk ke perpustakaan.
“Eh, Arianna, tunggu!” Hani pun mengikuti langkahku.
Terus terang, bukannya aku sok berani sehingga aku kembali menemui Bu Hasya untuk minta maaf, justru sebaliknya, aku takut—sangat takut. Tapi, aku lebih takut lagi akan masalah yang timbul jika aku tidak minta maaf.
Namun, syukurlah tanpa disangka-sangka ternyata beliau tidak marah, tapi sepertinya juga tidak mentolelir perbuatan kami. Ketika kami temui dan meminta maaf, beliau menanggapi seperti ini, “Ibu tidak bisa melarang kalian berdiskusi apalagi tentang Al Quran, tapi akan sangat Ibu hargai jika kalian tidak melakukannya di dalam perpustakaan. Kalian mengerti?”
“Kami mengerti, Bu. Kami akan mengingatnya. Sekali lagi kami minta maaf. Permisi, Bu. Assalamu`alaikum,” ucapku.
“Wa`alaikum salam,” jawab Bu Hasya.
Lalu kamipun kembali keluar perpustakaan.
“Kamu punya syaraf baja, Arianna,” puji Hani di teras perpustakaan.
Aku hanya tersenyum kecut.
“Sebenarnya, kalau tadi tidak ada Bu Hasya, aku akan mewawancarai kamu buat artikel Mading,” sambung Hani.
“Wawancara?”
“Ya, kamu kan pemenang Sayembara Beasiswa tahun ini.”
“Di sini ada klub Jurnalis?” tanyaku lagi.
“Bukan klub sih. Kami sulit mengajukan proposal untuk menjadikan klub Mading resmi sebagai klub ekskul. Katanya buget sekolah terbatas; nggak ada dana.” Ada kekesalan dalam kalimat terakhirnya itu. “Kami melakukan ini karena kami senang aja.”
“Sepertinya menarik,” ucapku, “boleh aku ikutan?”
“Tentu!” seru Hani, “Kami akan sangat senang sekali! Tapi, kami tidak memaksa, ya? Kita lakukan ini just for fun.”
“Ada berapa orang di klub ini?” tanyaku lagi.
“Lima orang. Tiga cewek, dua cowok. Semuanya kelas dua. Terus terang, aku berharap bisa merekrut anak-anak kelas satu, tapi mereka lebih tertarik sama Paduan Suara dan Teater,” jelas Hani.
“Jadi itu alasannya kamu baru sempat mewawancaraiku sekarang?” ucapku setengah bercanda.
Hani tertawa. “Ketahuan, ya? Memang kami berlima terlalu sibuk berusaha merekrut sebanyak mungkin anak-anak kelas satu, tapi hasilnya,” Hani lingkarkan jarinya membentuk nol besar, “zero. Kalau saja klub ini punya banyak anggota, mungkin Kepala Sekolah bisa mempertimbangkan lagi status klub ini.”
“Mungkin keberadaanku di klub ini bisa membalikkan keadaan,” ucapku meski terkesan angkuh.
“Ya, aku juga berpikiran seperti itu. Semoga saja. Mau aku kenalkan sama yang lain? Sekarang mereka sedang kumpul di Mushola.”
“Sure, lets go!” seruku setuju. Kemudian kami pun beranjak dan aku mengikuti langkah Hani.