“Once upon a midnight dreary,
“While I ponder weak and weary.”
Kurapal sepotong bait pertama puisi “Raven” karya Edgar Allan Poe itu sambil menguap dan merentangkan kedua tanganku ke atas. Lalu aku lirik jam meja dan kulihat angka 22.22 tertera di sana. Sudah larut memang dan aku akui aku sudah lelah, tapi aku belum mau tidur. Kusingkirkan buku matematika ke dalam tas, lalu kuambil buku agenda. Kucoret beberapa poin dalam buku agenda itu, hingga tinggal satu poin lagi.
· Upgrade, Girl, Upgrade!
Aku menghela nafas panjang. Kututup kembali agenda itu. Aku lipat lenganku di atas meja, dan menelungkupkan wajahku diatasnya. Kupejamkan mata sejenak.
Apa yang sebenarnya hendak kamu buktikan, Arianna? gumam batinku. Kupalingkan wajahku hingga pipiku menekan punggung tanganku. “Fame? Fortune? Glory?” Bibirku bergerak malas hingga mengeluarkan bunyi tidak jelas, tapi kata-kata itu yang sebenarnya aku katakan. Dalam jangkauan tangan kiriku aku lihat sebingkai foto yang tertelungkup, berbayang-bayang, tak tersentuh cahaya lampu meja. Aku tidak meraihnya karena aku tahu apa yang ada di bingkai itu tak akan memberiku apa-apa selain sedih dan tangis.
Aku mendengus dan tersenyum kecut. Tangis adalah satu-satunya anesthetic untuk sakit hati, namun juga obat tidur yang mujarab.
Aku beranjak. Tapi sekarang aku tidak membutuhkannya. Aku berjalan ke tempat tidur dan melompat ke atasnya, membenamkan wajahku di bantal. Beberapa saat aku coba berkata-kata sambil tetap membenamkan wajahku ke bantal. Yang terdengar hanya dengungan tak jelas, meski aku tahu pasti apa yang sebenarnya aku katakan, “Kenapa aku tidak mati saja?!” Untuk beberapa saat aku coba menahan nafas sambil masih membenamkan wajahku ke bantal. Aku lepaskan wajahku dari bantal setelah dadaku terasa seperti terbakar. Seiring dengan itu aku format ulang pikiranku.
Modal adalah kuncinya, seru benakku. Mau di-upgarde atau tidak mading itu, sebenarnya nggak masalah. Targetnya adalah menjadikan klub ini resmi. Tentu saja sekolah nggak akan meresmikannya kalau bergantung pada dana sekolah, hanya saja, kalau klub kita bisa memperoleh dana sendiri, tentunya sekolah akan meresmikannya dengan senang hati. Selain itu, dengan dana sendiri, otomatis klub ini jadi immune, nggak akan bisa dibubarkan, seberapapun sedikitnya peminat, ya, kan?
Aku tatap langit-langit kamar sambil terus berpikir. Meng-upgrade mading jadi koran sekolah cuma satu cara untuk memutar dana…untuk profit tentunya. Tapi tentu saja kendalanya tetap modal awal yang nggak sedikit, terlebih lagi kalau berkaitan dengan masalah teknis. Bisa jadi bentuk koran itu berupa fotocopy hitam-putih, tapi kalau ada warnanya tentu akan jauh lebih baik. Ya, modal, itulah kuncinya.
So, darimana kita bisa dapat modal? Minta sama Mama? Aku mendengus dan tersenyum kecut tapi hanya sebentar. Aku balikkan badan, memeluk bantal dan terus berpikir. Sekarang sekolahku nggak perlu biaya dari Mama, kan? Dengan ini aku punya bargaining point untuk minta sama Mama, benar, kan? Ah, pasti Mama akan memberikannya, itu pasti, meski aku nggak mengutarakan alasan sekalipun. Tapi, apa itu tidak menyalahi konsep misi kita? Kita nggak bakalan bisa mandiri kalau terus minta sama Mama, ya, kan?
“Ah, this is pointless!” pekik aku seraya memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Namun, aku segera membuka mata kembali ketika kudengar ketukan di pintu.
“Ann, belum tidur?” Kudengar suara Mama dibalik pintu.
Sempat terpikir untuk tidak menjawabnya, tapi aku menjawabnya. “Belum, Ma,” Aku beranjak dan duduk di tempat tidur. “Mau masuk, Ma?” tanyaku.
Mama menjawab dengan membuka pintu dan memasuki kamarku. “Belum ngantuk?”
Aku menggeleng meski sebenarnya sudah, atau lebih tepatnya setengah mengantuk. Dari penampilanya, Mama sepertinya baru pulang dari kantor. “Lembur, Ma?” tanyaku.
“Ya,” jawab Mama seraya duduk di sisi tempat tidurku. “Mama masih agak… rusty. Perlu waktu lama buat menyesuaikan diri. Mama sudah lama nggak mengerjakan hal seperti ini. Mama terlalu menikmati jadi seorang ibu sih.”
Aku tersenyum. “Sebenarnya Mama nggak perlu bekerja, kan? Maksud Anna, investasi-investasi Papa sudah cukup, bahkan lebih, buat biaya hidup kita.”
Mama tersenyum. “Kamu juga sebenarnya nggak perlu beasiswa, kan? Tapi kamu memburunya juga. Terus terang, Mama iri sama kamu. Kamu bisa melakukan yang Mama nggak bisa, yang bahkan nggak terpikir oleh Mama.”
Aku hanya tersenyum menanggapi pujian Mama itu.
“Sejak kita pindah ke sini, kita belum pernah bicara seperti ini, ya?” kata Mama.
“Sejak Papa meninggal,” ucapku mengoreksi.
“Ya… benar,” gumam Mama lirih. “Kamu tahu, Ann? Sebulan sejak Papa meninggal, hari-hari Mama dipenuhi tangis dan ratapan. Malu juga Mama mengakui ini tapi… tapi kamu…. Mama belum pernah melihat kamu menangis sejak Papa meninggal. Kamu hanya jadi lebih pendiam. Kamu sungguh tidak apa-apa? Maksud Mama, kadang tidak sehat juga memendam perasaan.” Mama katakan itu sambil mengusap-usap lembut rambutku.
Aku tersenyum haru. “Ada nasihat dari Bung Karno tentang menangis, katanya, ‘Menangis saya lakukan kalau saya sendirian’,” jawabku, mencoba bersikap cerdas, meski aku akui ada kesan defensif dari kalimatku itu.
“Sejak kapan kamu nongkrong bareng BK?” kata Mama bercanda.
Aku cemberut. “Anna membacanya dari buku, Ma!”
“Ya, Mama tahu,” Mama tertawa, “bukunya Oei Hong Kian, dokter gigi-nya Bung Karno. Ya, Mama pernah baca…. Ann, dari sikap kamu, dan dari cara kamu bicara, seperti bukan anak remaja, deh. Mama sendiri jadi nggak tahu apa Mama mesti bangga, atau mesti kuatir?”
“Bukan cuma Mama yang bicara seperti itu. Memangnya apa yang perlu di cemaskan? Anna merasa biasa saja, kok.”
Mama tersenyum tapi hanya sebentar. Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu. “Eh iya, hampir saja lupa. Tadi siang Tante Kamila telepon, katanya besok lusa Mama mesti ke Jakarta. Kamu mau ikut?”
Tante Kamila adalah pengacaranya Papa, yang mengurus perusahaan dan investasi-investasi Papa. Atau mungkin Pengacara Keluarga istilah yang tepat, seperti halnya ada istilah Dokter Keluarga…. Entahlah. Lebih dari itu, Tante Kamila ini juga teman dekat Mama dan Papa.
“Ada masalah?” tanyaku.
Mama menggeleng. “Mama nggak tahu. Sepertinya bukan masalah, tapi dia memaksa Mama berakhir pekan bersamanya. Dia juga mengajak kamu, lho.”
Aku berpikir sejenak, tapi sepertinya keenggananku begitu kentara terlihat sehingga Mama berkata, “Atau kamu mau tinggal saja? Sendirian nggak apa-apa?”
“Anna bisa jaga diri. Lagipula, Mama juga nggak mau sekolah Anna terganggu, kan? Selain itu, Anna bisa mengajak Noah dan April menginap. Boleh, kan?”
“Ya, tentu saja,” jawab Mama sambil tersenyum lebar. “Sekarang tidurlah. Jangan sampai besok kesiangan.”
Mama dorong bahuku hingga aku terbaring. Aku tidak memberontak. Mama tarik selimut hingga ke daguku lalu mencium keningku sebelum pergi. Tindakan yang sederhana sebenarnya, tapi efeknya sangat dahsyat; membuatku bisa merasakan bagaimana perasaan Pinokio ketika Ibu Peri menyihirnya menjadi anak sungguhan. Ya, ketika Mama mengecup keningku, aku merasa menjadi anak-anak lagi, dan perasaan itu sungguh membuat dadaku sesak.
Oh, seandainya aku bisa memutar balik sang waktu… aku ingin kembali menjadi anak-anak lagi. Dan tetap menjadi anak-anak….
Setelah Mama menutup pintu kamarku, aku tarik selimut hingga menutupi kepala, lalu aku menangis dalam diam. Setidaknya, menangis adalah obat tidur yang mujarab, benar, bukan?
Tidak seperti biasanya, hari ini aku berangkat ke sekolah lebih pagi, alasannya aku ingin berangkat ke sekolah sendiri, tanpa diantar Mama. Tapi setelah bertengkar sejenak dengan Mama, aku mesti mengalah. “Jam-jam begini, preman-preman masih berkeliaran, Ann!” begitu argumen terakhir Mama yang membuatku kebingungan untuk membalas. Sempat terpikir untuk berkata, “Mama tahu dari mana? Mama pernah jadi preman?” tapi pikiran itu malah membuatku ingin tertawa; tidak bisa aku bayangkan Mama jadi preman. Akhirnya Mama mengantar aku, dan akibatnya, aku tiba di sekolah masih sangat pagi. Tapi, walau masih sangat pagi, aku lihat langit telah memendarkan cahayanya, memberiku sedikit penerangan akan langkahku menuju gerbang sekolah.
Setelah melewati gerbang, aku menyeberangi pelataran parkir. Tentu saja pelataran parkir sekolah sangat sepi. Praktis tidak ada orang di sana—Oh, tapi, ternyata aku keliru. Seiring langkahku mendekati gerbang gedung, aku mendengar sayup-sayup suara. Awalnya aku tidak terlalu memikirkannya, tapi kemudian perhatianku mendadak terebut oleh sayup-sayup suara itu yang tertangkap telingaku dan terdefinisikan oleh otakku sebagai kalimat seruan, “Ayo! Mana jurus Lo, Pak Presiden!”
Seketika rasa penasaran mencuat dalam benakku, memaksa langkahku mendekati sumber suara itu. Antara yakin dan tidak, aku berjalan menuju sudut kiri pelataran parkir. Di sana ada semacam tempat parkir khusus yang agak menjorok ke dalam gedung sekolah berujung gerbang besar yang hampir selalu tertutup; semacam gerbang tempat bongkar muat barang atau semacamnya. Aku pernah melihat tempat itu digunakan truk sampah untuk mengangkut sampah sekolah.
Semakin dekat aku ke tempat itu, suara itu makin jelas dan membangun asmusi dalam benakku kalau di sana sedang ada… perkelahian?! Ketika aku tiba di sisi gedung dan menghadap ke tempat itu, aku lihat empat cowok berdiri mengerumuni seorang cowok yang terpuruk di lantai aspal. Cowok yang terpuruk itu mencoba untuk bangkit namun tiba-tiba seorang cowok yang berdiri mengayunkan kakinya dan menendang keras perut cowok yang terpuruk itu.
Valian! pekik batinku kaget ketika aku lihat siapa cowok yang terpuruk itu.
“Payah Lo!” ucap cowok yang tadi menendang. “Gua kasih tau, Lo nggak pantas jadi Presiden Silat. Lo nggak pantas ngajarin April—”
Secara sepontan aku perhatikan keempat cowok itu dan mencetak keempat wajah cowok itu ke dalam memoriku. Aku pernah melihat mereka. Mereka anak-anak kelas tiga, anak-anak Klub Basket.
“Hey, Jimy!” pekik salah seorang cowok ketika dia melihatku. Cowok yang menendang tadi berpaling melihatku.
Sontak aku kaget dan takut, tapi ternyata, dengan melihatku mereka malah pergi.
Sejenak aku diam, menyingkirkan rasa takut yang sempat merayapi batinku. Lalu aku berpaling ke Valian, dan kulihat dia sudah berdiri dan berjalan kearahku. Dia tersenyum kepadaku, memperlihatkan gigi berikut gusinya yang tampak merah oleh darah.
“See no evil, hear no evil, speek no evil,” katanya sambil tersenyum. “Dengan begitu masalah nggak akan menjadi rumit.” Lalu dia berjalan dengan cepat menuju gerbang gedung. Sempat kulihat dia meludahkan darah ke pot tanaman akasia yang merapat ke dinding.
Aku masih terdiam dan masih mengolah segala informasi dari apa yang aku lihat dan aku dengar. The Hell! pekik batinku, memaki dan mengutuk. Lalu aku pun pergi menyusul Valian.
Valian sudah ada di kelas, sedang duduk di bangkunya sambil membaca sebuah buku catatan. Aku hampiri dia.
“Aku akan melaporkan ini!” seruku agak ketus.
“Melaporkan apa?” tanggapnya sok naïf. Dia senderkan punggungnya ke kursi dan menatapku sambil tersenyum. Kulihat sudut bibirnya mulai membengkak dan membiru. Itu pasti sakit….
“Pemukulan ini! Mereka nggak bisa dibiarkan begitu saja!” bentakku.
“Ya, tentu. Dan memberi mereka alasan lain untuk memukuli aku. Kamu tahu alasan mereka memukuli aku?”
“Mengintimidasi kamu,” jawabku hampir pasti.
“Supaya aku tidak terlalu dekat dengan April, dan April itu temanmu, kan? Dan mereka juga tahu itu. Makanya mereka langsung pergi ketika melihat kamu. Aku yakin saat ini mereka menyesal sudah memukuli aku.”
“Menyesal bagaimana?”
“Takut kamu melaporkannya ke April dan April nggak akan menyukai mereka… atau sama cowok yang dipanggil Jimy itu lebih tepatnya.” Valian tampak tersenyum lebar, dan mungkin akan tertawa kalau bibirnya tidak membengkak.
“Terus kenapa kamu nggak melawan? Demi Tuhan, kamu ini Presiden Klub Pencak Silat!” tanpa sadar aku memekik.
“Aku punya alasan sendiri untuk itu.”
“Ah, nggak ada gunanya ngomong sama kamu!” Aku langsung berpaling dan pergi ke bangkuku sendiri. Kuletakkan tasku diatas meja, kuambil buku catatan Bahasa Inggris, lalu pergi keluar kelas.
Aku duduk di bangku panjang di luar kelas sambil membuka buku catatanku, hanya saja konsentrasiku sudah terpecah-pecah; aku tidak bisa fokus pada buku catatanku.
Mereka takut aku melaporkannya ke April, ide itu terngiang-ngiang dalam benakku. Lalu kenapa mereka melakukannya, kalau takut konsekuensinya? Konsep yang aneh, bukan? Mengintimidasi cowok lain supaya nggak menyukai cewek yang dia sukai. Aku mendengus jijik menanggapi bersitan hati itu. Aku ingat sebuah film dokumenter tentang dua ekor rusa jantan yang berkelahi memperebutkan seekor rusa betina. Kamu bisa bayangkan bagaimana rusa jantan berkelahi? Mereka mengadu-adukan tanduk mereka yang persis seperti ranting pohon yang bercabang-cabang. Tidak mustahil ketika mereka berkelahi, tanduk mereka saling jalin menjalin dan sulit dilepas. Alih-alih berkelahi, mereka jadi sibuk saling melepaskan diri. Si betina pun pergi karena kedua jantan itu malah sibuk dengan tanduk mereka, dan jika beruntung, kedua jantan ini bisa melepaskan diri sebelum mati kehausan atau kelaparan. So much for love, right?
Mendadak aku berpaling ketika sudut mataku menangkap sosok yang mendekat.
“Tumben pagi-pagi banget.” Kulihat April menghampiri, cantik memesona seperti biasanya.
“Kamu juga—Oh, aku mengerti sekarang. Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu selalu datang lebih dulu daripada aku. Kalau melihat sekarang ini yang ada di kelas cuma Valian, jadi kamu selalu datang lebih pagi supaya bisa berduaan dengannya,” jelasku dengan suara pelan supaya nggak terdengar sampai ke dalam kelas—maksudku supaya tidak terdengar Valian. Lalu, aku akhiri penjelasanku itu dengan nada syahdu sambil memeluk buku catatanku, “even for only a brief moment….”
“Apaan sih!” seru April sambil menerjang dan mendorong bahuku. Sempat kulihat kedua pipinya memerah seperti tomat masak.
Aku terima serangannya itu sambil tertawa ngakak. “Kamu punya tisu?” tanyaku diakhir tawaku.
“Ada,” jawabnya sambil merogoh tasnya.
“Kasih ke Valian di dalam sana. Dia babak belur,” bisikku
“Babak belur?” Dari cara April mengatakan kata ulang itu sungguh membuatku merasa tidak percaya kalau kata itu diucapkan oleh cewek berambut pirang dan bermata biru cerah. Aku sering merasakannya ketika April bicara; anak kaukasoid ini nyunda banget. “Kenapa?” lanjut April lebih terkesan heran dari pada cemas.
“Dipukuli anak-anak kelas tiga,” jawabku yang dilanjutkan dengan menceritakan segalanya. Seiring aku menceritakan kejadian itu, aku bisa melihat gradasi air muka April menuju marah.
“Kita mesti melaporkannya,” gumam April geram.
“Percuma kalau dia-nya nggak mau. Malah sepertinya dia suka dipukuli. Percaya nggak percaya, ketika mereka pergi, Valian berdiri seperti nggak merasakan apa-apa, sambil tersenyum dia bilang, ‘See no evil, hear no evil, speak no evil.’”
April diam sejenak, lalu tiba-tiba berdecak kesal dan beranjak masuk ke kelas.
Mungkin perbuatanku selanjutnya ini tidak bermoral, tapi dorongannya begitu kuat; aku beranjak dan mengintip ke dalam kelas. Kulihat April menghampiri bangkunya sendiri yang persis di samping kiri bangkuku, terhalang sebaris dan tiga bangku dari bangku Valian. Dia masih membaca buku catatannya dan sepertinya tidak bergeming oleh kedatangan April. Dan April pun sepertinya tidak punya keberanian untuk menghampiri Valian. Sejenak April memerhatikan cowok itu. Aku bisa melihat jelas keraguan di wajah April. Tapi kemudian April malah duduk dan mengambil buku catatan dari dalam tasnya. Agak mengecewakan, bukan?
Cinta itu aneh, ya? …Ah, siapa aku yang bisa menjadi hakim soal cinta? Apa cinta itu karunia terindah yang Tuhan berikan untuk manusia? Tapi aku sudah tidak percaya lagi dengan Tuhan! Ataukah cinta itu hanya gejolak hormon? Sisa insting dari kebinatangan kita? Tapi, tentu saja kita tidak mau disamakan dengan binatang, bukan? Pada satu titik, aku tidak terlalu peduli apa itu cinta.
Aku tinggalkan mereka berdua di dalam kelas. Aku berjalan menuju ruang Administrasi, sekedar memenuhi ritual sebagai Ketua Kelas untuk mengambil Buku Agenda Kelas. Buku Agenda Kelas ini setiap harinya diisi oleh guru-guru tiap mata pelajaran yang hadir di kelas. Biasanya para guru akan mengisi jumlah kehadiran siswa, tapi berguna juga sebagai pengingat, entah itu pengingat akan diadakannya ulangan, atau pengingat bahasan mata pelajaran yang terpotong di pertemuan sebelumnya. Ada juga kolom komentar di Buku Agenda Kelas itu, tapi biasanya selalu kosong. Mungkin hari ini mereka akan mengisi kolom komentar itu dengan, “Hari ini Valian babak belur, pertimbangkan untuk masuk Klub Pustakawan.”
Selang beberapa waktu, sekolah semakin ramai, dan sesuai dengan jadwalnya, bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama adalah Bahasa Inggris, Bu Athena. Perlu sedikit waktu bagi Bu Athena untuk menyadari kondisi Valian sebelum beliau menyuruhnya ke UKS. Ketika beliau menanyakan sebab babak belurnya, Valian memberi alasan sederhana, “Ditabrak sepeda motor.” Saat itu bisa saja aku menginterupsi dan memberikan kesaksianku, tapi aku diam saja. Bukannya aku berpikiran apa yang terjadi pada Valian bukan urusanku, justru sebaliknya. Sebagai Ketua Kelas aku juga punya tanggung jawab terhadap teman-teman sekelasku meski seorang Valian sekalipun. Selain itu, aku tidak bisa membiarkan para pelaku itu tidak dihukum. Hanya saja, aku jadi penasaran, kenapa Valian tidak melawan? Apa alasannya? Rasa penasaran ini kemudian memberiku ide untuk melihat latihan Klub Pencak Silat sepulang sekolah. Mungkin aku bisa membuat artikel dari kejadian ini. Dengan artikel itu, tindak kekerasan ini pasti akan menjadi perhatian seluruh penghuni sekolah, benar, bukan? Dan efeknya akan lebih besar dibandingkan dengan hanya bersaksi di kelas kepada Bu Athena.
Sewaktu istirahat, aku sempat bertanya kepada April dan Noah tentang bagaimana cara mereka berlatih dan siapa guru pembimbingnya.
“Pak Firman?” ucapku agak kaget ketika Noah menjawab siapa guru pembimbing Klub Pencak Silat. Saat itu kami sedang berada di kantin sekolah, duduk di bangku panjang yang tersedia di sana.
“Kenapa? Nggak nyangka?” kata April sembari menikmati roti isi sosisnya.
“Nggak. Justru itu menjelaskan banyak hal,” jawabku.
“Menjelaskan apa?” tanya Noah.
“Alasan Pak Firman memilih Valian di final sayembara beasiswa,” jawabku sambil menghabiskan sisa susu coklat kemasan dan melempar kemasannya ke keranjang sampah yang terletak agak jauh.
“Tapi kamu yang menang, kan?” tanya April.
“Memang, tapi juri waktu sayembara itu bukan cuma Pak Firman. Aku menang karena pungutan suara. Tapi berkat Pak Firman, Valian bisa sekolah di sini.”
“Eh, Valian datang,” bisik Noah tiba-tiba sambil melihat melampaui bahuku.
Aku berpaling dan melihat Valian menghampiri kami. Dia menatapku, lalu menunjuk aku sebelum berkata, “Dipanggil Pak Firman. Di Kantor Kepala Sekolah.”
“Ada apa?” tanyaku heran.
Valian malah mengangkat bahu. “Mana aku tahu?” katanya sambil terus berjalan melewati kami menuju sebuah vending machine yang menyediakan minuman dingin.
“Apa ada masalah?” ucap April dengan mata menatap punggung Valian.
“Only one way to know,” kataku sambil beranjak. “Aku duluan, ya?”
Selang satu menit aku telah berada di pintu Kantor Kepala Sekolah. Aku ketuk pintu itu.
“Masuk,” kudengar suara Pak Firman di dalam.
Aku pun masuk. Ruang kantor ini lumayan besar dan terang oleh jendela besar di sebelah kiri. Jendela itu mempersembahkan pemandangan taman, juga anak-anak cowok yang sedang bermain basket di lapangan. Di sebelah kanan, aku bisa melihat sebuah pintu bertulisan “Ruang guru / Teacher’s Lounge”, pintu itu diapit dua rak buku besar yang tampak rapi. Ketika aku masuk, yang pertama kali menarik perhatianku adalah sebuah perapian yang merapat ke dinding yang berseberangan dengan pintu masuk. Dari kondisinya yang bersih dan rapi, perapian itu pasti tidak pernah digunakan dan sempat membuatku bertanya-tanya, untuk apa memasang perapian kalau nggak akan digunakan? Tapi aku akui kalau perapian itu memberi kelas tersendiri pada ruang kantor ini. Di atas perapian itu terdapat sebuah foto hitam-putih berukuran besar dan berbingkai antik menempel ke dinding. Foto itu menunjukkan tampak depan gedung sekolah ini Di sekelilingnya terdapat foto-foto kepala sekolah terdahulu. Tapi, tentu saja yang paling mendominasi ruangan ini adalah meja kerja berukuran besar yang terletak di tengah-tengah ruangan, dan Pak Firman duduk di balik meja itu.
“Arianna, silahkan duduk,” kata Pak Firman seraya membereskan dan mengesampingkan beberapa berkas-berkas.
“Apa ada masalah, Pak?” tanyaku seraya duduk di kursi yang tersedia di depan meja.
“Tidak ada masalah apa-apa. Bapak baru saja selesai membaca Laporan Mid-Semester dari Bu Athena, dan Bapak lihat kamu tidak terdaftar di klub ekstrakurikuler manapun. Memang tidak ada paksaan untuk bergabung, tapi Bapak sedikit penasaran, apa kamu tidak tertarik bergabung dengan salah satu klub yang ada?”
Aku berpikir sejenak. “Sebenarnya saya tertarik dengan Klub Pustakawan, Pak, tapi….” Aku tidak bisa meneruskan kalimatku.
Pak Firman tersenyum. “Ya, Bapak mengerti. Klub itu agak istimewa. Bu Hasya memang memiliki bakat spesial untuk menghadapi siswa bermasalah. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa ikut bergabung, kan?”
“Tapi sepertinya konsekuensinya bisa fatal, Pak.”
Pak Firman tertawa pelan, “Ya. Sebagai gadis satu-satunya memang agak riskan.”
“Seperti perawan di sarang penyamun,” tambahku.
Pak Firman tertawa lagi. “Ya, benar. Tapi mungkin kamu bisa mengajak teman, bukan? Dengan begitu kamu tidak sendirian.”
Aku berpikir sejenak, memangnya ada yang mau?
“Tapi, itupun kalau ada yang bersedia, Pak,” sanggahku. “Saya rasa selain Bu Hasya, yang bersedia bergabung dengan senang hati adalah Lara Croft,” komentarku, menyebutkan nama tokoh dalam video game klasik “Tomb Raider” keluaran Eidos.
Pak Firman tertawa lagi dan kali ini lebih keras. “Bisa saja kamu, Arianna.”
“Tapi, sekarang ini saya memiliki ketertarikan yang lain. Saya sudah bergabung dengan Klub Mading,” ucapku.
Sejenak Pak Firman menarik nafas panjang. “Tapi itu bukan klub ekstrakurikuler.”
“Benar, dan saya harap Bapak bisa mengijinkan klub ini menjadi klub ekstrakurikuler,” ucapku penuh harap.
“Tapi masalahnya, dana sekolah untuk ekstrakurikuler sangat terbatas. Bapak harap kamu bisa memakluminya.”
“Saya mengerti, Pak. Tapi bagaimana kalau kami bisa menggalang dana sendiri? Tanpa bergantung pada dana sekolah? Bisakah Bapak meresmikan klub ini jadi klub ekstrakurikuler?”
Tanpa aku sangka Pak Firman menggebrak meja. Aku kaget dan segera merunduk. Aku melakukan kesalahan! Tapi ketika aku dengar tawa Pak Firman aku menjadi heran, karena Pak Firman malah terlihat gembira. Bahkan gebrakan mejanya tadi sebenarnya tidak terlalu keras, aku saja yang agak perasa.
“Ah, nyaris sempurna!” seru Pak Firman. “Kamu sebenarnya bisa jadi negosiator ulung, Arianna.”
“Eh, maksud Bapak?”
“Sewaktu kamu masuk, Bapak lihat mata kamu dengan sangat cepat melihat ke seluruh ruangan ini, memindai medan. Lalu dengan wajar dan alami, kita memulai pembicaraan, dan sekonyong-konyong kamu berhasil mengarahkan pembicaraan hingga membuat Bapak tertawa dan senang hati, setelah itu kamu alihkan topik ke pembicaraan yang kamu inginkan, dan terus terang, kamu hampir berhasil mendapatkan yang kamu inginkan, hanya saja….” Pak Firman tampak sengaja tidak meneruskan kalimatnya, memancing aku untuk meneruskannya, tapi terus terang aku tidak tahu bagaimana. Aku tidak tahu maksud Pak Firman sebenarnya.
“Hanya apa, Pak?” tanyaku heran.
“Kamu bilang, ‘Bagaimana kalau kami bisa menggalang dana sendiri, tanpa bergantung pada dana sekolah?’ Kalimat inilah yang kamu gunakan sebagai striking point, spear point, ujung tombak kamu dari negosiasi ini. Tapi, tidakkah kamu pertimbangkan kalau kalimat kamu itu malah akan memancing pertanyaan, ‘Bagaimana caranya kamu memperoleh dana sendiri?’ benar, bukan?”
Aku tercenung sesaat, sedikit mulai menangkap maksud perkataan Pak Firman. Secara analogi, “ujung tombak” yang kulemparkan, dapat ditepis oleh Pak Firman.
Kulihat Pak Firman tersenyum dan meneruskan, “If you’re going to hit, hit hard! Shoot to kill! Burn the bridge behind you, leave no retreat!”
Shoot to kill?
“Kamu tahu?” kata Pak Firman sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, “Akan jauh lebih baik hasilnya kalau kalimay tadi kamu itu diganti dengan kalimat seperti ini, ‘Saya mengerti mengenai dana sekolah yang terbatas, hanya saja, melihat senior-senior saya yang setiap minggunya berusaha menerbitkan majalah dinding yang berkualitas dan, alhamdulillah, bertahan sampai sekarang meski dengan dana sendiri—saya tekankan, dengan dana sendiri—saya merasa sangat menyayangkan kalau usaha mereka tidak terperhatikan dan tidak terekam menjadi nilai akademis.’”
Aku tercenung. Benar juga. “Jadi sepertinya saya gagal, ya, Pak?”
Pak Firman tertawa. “Ah, tidak juga. Dengan senang hati Bapak meresmikan klub Mading menjadi klub ekstrakurikuler.”
“Benar, Pak?” seruku senang.
“Tapi ada satu masalah yang kamu lewatkan.”
Rasa senangku sesaat terpasung. “Apa, Pak?”
“Guru Pembimbing. Kamu sudah memikirkan itu? Bagaimanapun, klub ekstrakurikuler itu ada karena ada Guru Pembimbing yang menerjemahkan karya dan prestasi kalian di klub menjadi nilai akademis.”
Kembali aku tercenung dan kali ini rasa senangku benar-benar pudar. Ternyata banyak celah yang tidak aku pikirkan!
“Bagaimana kalau kamu bicarakan hal ini dengan Walikelas kamu, Bu Athena?” usul Pak Firman. “Atau mungkin Bu Marni, Guru Bahasa Indonesia kamu? Tapi kamu juga mesti mahfum satu masalah lagi soal Guru Pembimbing ini. Karena klub ini tidak dibiayai sekolah, Guru Pembimbing ini juga tidak akan dibayar oleh pihak sekolah. Kamu mengerti?”
Aku tercenung sesaat.
“Tapi jangan berkecil hati. Tentu saja ada guru-guru yang tidak mementingkan masalah uang,” lanjut Pak Firman.
Aku masih tercenung sampai tiba-tiba aku dengar bel berbunyi, tanda waktu istrirahat telah berakhir.
“Begini saja,” lanjut Pak Firman, “kamu bicarakan dulu dengan Bu Athena, kamu cari Guru Pembimbing untuk klub kamu, setelah itu beri tahu Bapak. Usahakan besok sudah ada, karena lusa akan ada rapat. Bapak bisa menyelipkan isu ini di agenda rapat. Lalu minggu depan, insya Allah, Klub Mading kamu itu sudah resmi jadi klub ekstrakurikuler.”
Aku berpikir sejenak dengan cepat sebelum berkata, “Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu saya permisi untuk kembali ke kelas. Assalamu`alaikum.” Sempat terpikir untuk meminta ijin tentang menjadikan mading ini menjadi koran sekolah, tapi sepertinya itu bisa lain kali. Berita bakal resminya Klub Mading ini kurasa sudah cukup untuk membuat Yani dan teman-teman senang.
“Wa`alaikumsalam,” balas Pak Firman.
Aku pun beranjak dari dudukku dan berjalan ke pintu.
“Oh, Arianna, satu hal lagi,” ucap Pak Firman tiba-tiba, membuatku berpaling ke arah beliau saat tanganku telah berada digagang pintu. “Coba kamu asah lagi kemampuanmu bernegosiasi seperti tadi. Hal seperti ini tidak diajarkan di kelas, jadi setiap ada kesempatan, jangan pernah takut bernegosiasi.”
“Let us never negotiate out of fear. But let us never fear to negotiate,” ucapku mengutip kata-kata—
“JFK,” ucap Pak Firman menyebutkan inisial John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35. Kulihat Beliau tersenyum bangga kepadaku. “Sepertinya Bapak tidak keliru mengambil keputusan waktu memilih kamu.”
“Memilih saya?” tanyaku heran.
“Waktu final sayembara. Kamu menang karena pemungutan suara.”
“Bapak memilih saya?”
“Ya.”
Seketika aku termenung. Tapi itu absurd! Bukankah Pak Firman bernegosiasi dengan Valian? Bukankah Bapak adalah Guru Pembimbing Klub Pencak Silat? …Bukankah akan lebih masuk akal kalau Bapak memilih Valian?
“Eh, Arianna? Kenapa kamu malah melamun di situ?” Pak Firman membuyarkan lamunanku.
“Oh—Ti-tidak apa-apa. Permisi. Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikumsalam.”
Aku kembali ke kelas, dan seiring langkahku, aku format ulang pikiranku, membangun kembali konsentrasi untuk menerima pelajaran di kelas. Fokus, Ann, Fokus! Ada lain waktu buat memikirkan yang lain-lain!
Beberapa jam kemudian bel pulang berbunyi. Setelah Pak Komar, Guru Matematika kami keluar ruangan, aku bereskan buku-bukuku dan kumasukkan ke dalam tas. Lalu tiba-tiba Noah menepuk pundakku hingga membuatku kaget.
“Hey, kenapa melamun?” kata Noah setelah beranjak dari bangkunya. “Aku manggil kamu berkali-kali, lho.”
“Nggak melamun, kok,” sanggahku. Saat itu kulihat Valian berjalan melewati bangkuku dan terus berjalan keluar kelas. Tampak sehelai plester melintang di sudut kiri bibirnya yang agak membengkak. Cih, apa aku terlalu berlebihan berusaha mengetahui perjanjian rahasia apa antara Pak Firman dengan Valian? Apa aku terlalu paranoid? Apa aku terlalu ikut campur urusan orang lain? Ketiga pertanyaan itu sekaligus menerpa benakku, tanpa aku tahu jawabannya.
“Kamu nggak apa-apa. Ann?” tanya April. “Kamu jadi agak pendiam sejak waktu istirahat.”
“Apa ada masalah waktu Pak Firman memanggil kamu ke kantornya?” tanya Noah.
“Bukan. Bukan masalah,” jawabku seraya memaksakan seulas senyum. “Malah sebaliknya. Pak Firman akan meresmikan Klub Mading.”
“Benarkah?” seru April dan Noah hampir bersamaan.
Aku mengangguk. Lalu aku bangkit dan berjalan bersama mereka keluar kelas, seraya sesekali menyapa taman-teman yang lain yang masih duduk-duduk di kelas. Sebelum keluar kelas, aku sempatkan menyambar Buku Agenda Kelas di meja guru untuk dikembalikan ke ruang Administrasi. Staf Administrasi akan menganalisa buku tersebut, dan jika ada sesuatu yang perlu perhatian seperti siswa yang tidak masuk selama seminggu tanpa ada berita atau ada guru yang kewalahan dengan tingkah seorang siswa di kelas, buku agenda itu akan mampir ke Kantor Kepala Sekolah untuk ditindak lanjuti. Begitulah kira-kira salah satu fungsi Buku Agenda Kelas itu.
“Besok ibuku pergi ke Jakarta sekitar dua-harian,” kataku ketika kami berada diluar kelas. “Aku bakal sendirian di rumah. Kalian mau menginap di rumahku?”
“Tentu!” seru April senang.
“Why not?” ucap Noah juga setuju.
“Kalian sekarang akan latihan?” tanyaku.
Noah menggelengkan kepala. “Nggak. Kata Pak Firman sebaiknya kami memperlambat tempo latihan.”
“Kamu mau ke mushola?” tanya April.
“Mau ke ruang guru dulu, cari Bu Athena,” jawabku.
“Ada apa?” tanya April lagi.
“Melaporkan kamu kalau kamu naksir Valian,” candaku sambil mengantisipasi pukulan manja April di bahuku dan tertawa setelah mendapatkannya.
“Mau menemani aku?” ajakku.
“Ya, kenapa tidak?” tanggap Noah mengikuti anggukan April.
Sebelum ke Ruang Guru, kami mampir sejenak ke ruang Administrasi untuk mengembalikan Buku Agenda Kelas.
“Assalamu`alaikum,” ucap salamku ketika memasuki pintu Ruang Guru. Ruangan itu sangat luas dengan meja kerja yang jumlahnya berpuluh-puluh. Tiap meja itu terpisah oleh semacam partisi sehingga memberi ruang privasi yang cukup untuk para guru bekerja.
Ternyata ruang guru itu tampak sepi. Tidak ada siapa-siapa kecuali—Bu Hasya! Kulihat beliau berada di salah satu cubicle dan tampak sedang menulis sesuatu.
“Wa`alaikumsalam.” Bu Hasya membalas salamku datar sambil menutup bukunya dan berpaling kepadaku. “Ada apa?”
“Maaf mengganggu, Bu Hasya. Saya mencari Bu Athena. Ibu tahu di mana saya bisa menemukan beliau?” kataku sesopan mungkin.
“Kafetaria,” jawabnya singkat.
“Oh, terima kasih, Bu,” tanggapku seraya berpaling. Terus terang, aku sudah merasa tidak nyaman untuk berlama-lama di Ruang Guru itu, tapi dorongan rasa penasaran membuatku berpaling lagi kepada Bu Hasya dan bertanya, “Oh, iya. Maaf, Bu. Saya agak penasaran. Sewaktu final sayembara beasiswa, saya tahu saya menang karena pemungutan suara, dan saya menang tipis. Saya merasa Ibu memberikan suara Ibu kepada Valian, benarkah?”
“Ya.”
“Ada alasan khusus? Maaf , kalau saya terlalu lancang.”
Bu Hasya tampak berpikir sebentar. “Valian terlihat sangat lapar,” jawab Bu Hasya singkat dan datar seperti biasanya.
Aku terdiam. Heran dan tidak nyaman mendominasi batinku.
“Ada lagi?”
“Oh—Eh—tidak ada, Bu. Terima kasih. Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikumsalam.”