Adolescent Crash

DMRamdhan
Chapter #5

5. Exchange Blows

Dux femina facti.

Kukutip kata-kata Virgil itu dalam hati, seiring langkahku meninggalkan mushola bersama teman-teman, juga Bu Athena. Pemimpin itu perempuan, begitu kira-kira artinya. A woman led…. Relevan atau tidak, aku tersenyum menanggapi bersitan hati itu.

Alih-alih membahas mading, kami memutuskan untuk pulang lebih awal. Aku rasa berita akan resminya Klub Mading, berikut terpilihnya aku sebagai Presiden, telah merebut perhatian kami dari menyusun mading, memberi kami perasaan bahwa pencapaian pada hari ini sudah cukup dan kami layak mendapatkan istirahat, dengan harapan, besok kami akan lebih fokus untuk menyusun mading kami. Yah, aku rasa cukup adil. Aku bisa pulang cepat-cepat, membabat sebanyak mungkin daftar di buku agenda, lalu memformat ulang jiwa ragaku dengan waktu tidur yang lebih panjang. Tapi, aku keliru soal itu; ternyata kami tidak jadi pulang lebih awal.

Kami berjalan sambil bercanda dengan niat mencapai gerbang gedung sekolah, namun untuk itu kami mesti melewati teras aula. Sebenarnya bisa juga kami menyeberangi lapangan basket supaya lebih cepat, tapi terik sang surya memberi kami alasan untuk memilih lewat teras aula saja. Akibatnya, tidak bisa tidak, kami mesti melihat beberapa orang siswa berkerumun di pintu aula, sedang mengintip ke dalam aula.

 “Ada apa ini?” kata Bu Athena dengan nada tegas.

Mereka tampak kaget mendengar suara Bu Athena dan langsung berpaling ke Bu Athena. Beberapa dari mereka aku kenali sebagai anggota Klub Pustakawan, yang tempo hari membawa kotak kardus berisi buku-buku sumbangan dari Yayasan bersama Bu Hasya.

“B-Bu Hasya… dan Valian,” kata salah seorang dari mereka gugup sambil menunjuk ke celah pintu aula. Siswa ini berbadan tinggi besar, berkulit hitam dengan potongan rambut pendek ala tentara, mengingatkan aku pada mahluk Orc dalam cerita “Lord of The Ring”.

Mendengar nama Bu Hasya dan Valian disebut, terlebih dengan gugup seperti itu, tentu saja membangun pikiran yang bukan-bukan dalam benak kami. Bahkan, sempat aku terkejut dan saling melempar pandangan dengan April. Tapi tentu saja pikiran yang bukan-bukan itu tidak benar. Coba kamu pikir lagi, apa ada indikasi Bu Hasya memiliki kemampuan untuk menyukai? Terlebih pada berandalan aneh macam Valian? Yang lebih masuk akal adalah, Sang Naga dan Sang Ksatria ini akan saling bunuh. Si Orc ini gugup bukan karena ketahuan mengintip sesuatu yang tidak bermoral, tapi karena bawaan psikiologis; si Orc ini ternyata gagap. Masuk akal aku rasa, karena perawakannya dan kesulitannya berkomunikasi, cenderung memancing bulan-bulanan orang disekitarnya dan tidak jarang resolve pada perkelahian. Memberi dirinya sendiri alasan untuk menjadi anggota Pustakawan. Dari label namanya, si Orc ini bernama Agung, kitapun sebaiknya berhenti menamainya yang bukan-bukan kalau tidak mau bonyok oleh tinjunya.

Anyway, Bu Athena mendekati pintu itu dan membukanya lebar-lebar, membiarkan cahaya terik sang surya berhamburan ke dalam aula.

“Hey, silau!” bentak seseorang dari dalam Aula yang terdengar bukan dari Valian, juga bukan dari Bu Hasya.

“Oh, Maaf, Pak Ajat,” kata Bu Athena. Lalu dengan gesture-nya, Bu Athena menyuruh kami semua masuk ke dalam aula dan menutup pintu.

“Ada apa ini?” tanya Pak Ajat sambil melangkah menghampiri kami.

Aku pernah mendeskripsikan aula ini sebagi lapangan basket indoor, kan? Ya, dan ternyata di sini sedang ada latihan Klub Basket. Lalu dimana Ian dan Bu Hasya?

Di aula ini tidak hanya terdapat lapangan basket. Di tiap sisi panjang lapangan terdapat tribun penonton yang tersusun seperti tangga, sedangkan di salah satu sisi pendek lapangan basket ini, persis di balik ring basket, terdapat area yang cukup luas. Dari garis-garis putih yang terdapat di lantai, masing-masing area ini cukup untuk satu lapangan Bulu tangkis. Pada acara-acara tertentu seperti pentas Teater atau konser Paduan Suara atau konser Band indie siswa-siswa di sini, area ini dapat diubah menjadi panggung. Di area inilah aku melihat Bu Hasya dan Ian, dan ternyata Pak Firman juga ada di sana.

“Kami hanya ingin melihat-lihat,” jawab Bu Athena seraya tersenyum ramah pada Pak Ajat. “Tidak keberatan, kan? Atau kami mengganggu?”

Pak Ajat tampak agak ragu-ragu. Tapi, sebelum beliau merespon pertanyaan Bu Athena, Bu Athena langsung memotong.

“Tapi, tiap pertandingan pasti ada penontonnya, kan? Anggap saja keberadaan kami sebagai penonton. Ini juga termasuk latihan, bukan?”

Dari air muka Pak Ajat yang berubah, perkataan Bu Athena tenggelam dalam benak Pak Ajat dan menerbitkan sebuah persetujuan, “Benar juga. Kalau begitu, silahkan saja, dan boleh juga menyoraki mereka.” Lalu beliau kembali ke anak-anak didiknya sambil meniup peluitnya. “Ayo, sekarang kita tanding. Jimy, Rudi, Niko, Ryan, Gatot—tim Merah.”

Sempat kulihat seluruh anggota Klub Basket terpaku melihat—yah siapa lagi kalau bukan ke The Stunning Miss April? Kulihat karakter Jimy yang dipanggil Pak Ajat adalah Jimy yang sama yang tadi pagi memukuli Valian. Dia sempat memaku tatapannya pada April sebelum merespon pada peluit Pak Ajat. Dengan agak berlebihan dia membuka T-shirtnya, memperlihatkan badannya yang atletis, lalu menggantinya dengan kaus warna merah. “Alright, Guys! Niko kamu Play Maker!” teriak Jimy keras sambil membenahi pita hitam di sisi lengan kiri kausnya yang menunjukkan kalau dia itu kapten tim inti Klub Bakset. Sempat aku melirik ke April, tapi April tidak bergeming dari Valian.

Aku tersenyum geli. Futile effort, Jim!

Kami semua, berikut teman-temanku di Klub Mading dan juga anak-anak Klub Pustakawan, menaiki tribun penonton dan duduk. Sebagian dari kami ada yang memerhatikan pertandingan latihan Basket sedangkan aku, April dan Noah pasti memerhatikan Valian, Pak Firman dan Bu Hasya. Alasanku karena penasaran dengan apa yang sedang mereka kerjakan; April dan Noah tentu saja dalam kapastias mereka sebagai anggota Klub Pencak Silat. Yani dan teman-teman mungkin tidak benar-benar memiliki alasan untuk tetap berada di sini, hanya saja aku yakin setahun mereka di Klub Mading merupakan waktu yang cukup untuk menempa intuisi mereka kalau di sini dan sekarang ini akan ada kejadian yang menarik. Sedangkan anak-anak Pustakawan, aku tidak tahu alasan mereka, tapi adanya Bu Hasya memberiku sedikit petunjuk.

Kulihat Bu Hasya dan Pak Firman duduk di bangku panjang, memerhatikan Valian yang sedang memeragakan gerakan-gerakan Pencak Silat. Di samping Pak Firman terdapat sebuah Audio Player yang menyuarakan hingar bingar musik tradisional khas Pencak Silat, musik itu mengiringi tiap gerakannya. Tapi anehnya, Valian tidak mengenakan seragam Pencak Silat-nya, dia masih mengenakan seragam sekolah meski tanpa jas dan dasinya. Seperti kata Noah dan April, tidak ada latihan Pencak Silat hari ini, jadi apa yang sebenarnya mereka kerjakan?

“Sedang apa mereka?” tanyaku.

“Gerakan seperti itu kami menyebutnya Ibing, atau Ngibing, artinya tarian,” jawab Noah meski bukan jawaban yang aku kehendaki sebenarnya.

 “Jurus apa itu?” tanyaku lagi pada Noah.

April yang menjawab, “Paleredan-tepak tilu. Tapi sepertinya modifikasi.”

Setelah Valian selesai dengan ibing­-nya, ia memberi salam pada Bu Hasya dan Pak Firman. Lalu aku lihat Bu Hasya berbicara pada Pak Firman saat Pak Firman mematikan Audio Player-nya. Bu Hasya mendapat anggukan Pak Firman sebelum Bu Hasya berdiri dan berjalan sambil memandang ke arah kami.

“Agung!” sahut Bu Hasya memanggil si Orc—maksudku Agung.

Agung berdiri.

“Kalian panggil anak-anak kelas satu!” perintah Bu Hasya.

Agung menurut bak prajurit mematuhi jendralnya. Di bawah komando Agung, anak-anak Pustakawan bergerak cepat menuruni tribun lalu berlari keluar aula.

Lalu aku melihat Bu Hasya menghampiri Valian dan berbicara dengannya. Akibat dari pembicaraan itu, Valian kemudian melangkah ke arah kami, menaiki tribun dan menghampiri kami.

“April, Noah,” kata Valian pada kedua sahabatku. “Tolong ambilkan dua pelindung badan di Ruang Inventaris.”

“Ada apa sebenarnya ini, Val?” tanyaku.

Dia tersenyum. “Lihat saja,” katanya sambil berjalan menuruni tribun, setelah melihat April dan Noah menuruti permintaannya.

Aku merengut; kesal dan juga penasaran.

Tak lama kemudian April dan Noah telah kembali dengan membawa dua baju pelindung yang biasa aku lihat pada pertandingan bela diri. Hanya selang beberapa detik mereka diikuti oleh Agung dan anak-anak Pustakawan yang lainnya. April dan Noah menyerahkan dua baju pelindung itu ke Valian, dan Valian menyerahkan salah satunya ke Bu Hasya.

Sementara itu kulihat Pak Firman menyuruh Agung dan seluruh anak-anak Pustakawan duduk bersila mengelilingi lapangan Bulu tangkis. Lalu Pak Firman berjalan ke arah Pak Ajat dan melakukan pembicaraan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi pembicaraan itu membuat Pak Ajat meniup peluitnya dan menghentikan latihan anak-anak didiknya. Tapi, Pak Ajat tidak menyuruh mereka pulang; malah menyuruh mereka ikut duduk bersila mengelilingi lapangan Bulu tangkis.

“Bu Athena,” kulihat Bu Hasya sudah berada di depan tribun penonton, berbicara pada Bu Athena, “bisa tolong saya sebentar?”

Meski terlihat ragu, Bu Athena beranjak dan menghampiri rekan kerjanya itu.

Sementara itu, aku lihat April dan Noah telah kembali ke tribun penonton , tapi tidak untuk duduk bersama kami.

“Kata Valian, kita juga sebaiknya ikut bergabung bersama meraka,” kata April.

“Ada apa sebenarnya?’ tanya Yani mendahuluiku.

“Entahlah,” jawab April.

“Tapi, sepertinya Bu Hasya akan bertanding dengan Valian,” timpal Noah.

Apa?! Masa, sih? Tentu saja aku kaget dan tidak percaya. Tapi, ketika aku lihat Bu Athena membantu Bu Hasya mengenakan baju pelindung, dan Ian juga mengenakan baju pelindungnya, dibantu Pak Firman, mau tidak mau, aku mesti percaya. Hanya saja aku tidak tahu apa alasan mereka bertanding.

Aku bersama teman-teman Klub Mading turun dari tribun, mengikuti April dan Noah. Lalu kamipun duduk bersama mereka yang telah duduk, menyempurnakan lingkaran itu.

Kulihat Bu Hasya dan Valian telah berdiri saling berhadapan. Dari dekat sini, aku bisa melihat wajah Bu Hasya terhimpit pelindung kepala dan tampak lebih cantik tanpa kacamata.

“Siap, Bu Hasya?” kata Valian sambil tersenyum. “Saya harap Ibu tahu kalau saya tidak akan segan-segan. Maaf kalau nanti Ibu memar-memar.”

“Kata-kata yang berani untuk orang yang tidak akan menemukan apa-apa selain kekalahan,” respon Bu Hasya dengan senyum sedingin es. Bisa kurasakan bulu kudukku berdiri hanya dengan mendengar perkataan Bu Hasya itu.

Kemudian Bu Hasya merapatkan kedua telapak tangannya dan membungkuk, memberi hormat pada Valian. Valian pun melakukan hal yang sama. Dan persis setelah Valian bangkit dari membungkuk, Bu Hasya langsung menerjang, menyerang Valian!

Sempat aku lihat Valian tampak terkejut ketika datang kepalan tangan kanan Bu Hasya, mengayun ke arah kepalanya, tapi dia segera dapat menguasai diri. Valian memiringkan badannya sedikit ke kanan dan menangkis serangan Bu Hasya dengan tangan kiri. Saat itu tinju kanan Valian telah siap dan segera meluncur ke dagu Bu Hasya. Bu Hasya menepisnya dengan telapak tangan kiri sambil bergerak ke samping kiri. Bisa kulihat jilbab Bu Hasya tersingkap sedikit akibat hembusan angin tinju Valian. Bersamaan dengan gerakan Bu Hasya ke samping kiri itu, beliau menekuk lutut kanannya dan mengarahkannya ke perut Valian bagian kiri, tapi sia-sia karena Valian telah mundur sedikit sambil memutar badannya dan melancarkan serangan berikutnya. Sambil menghindar dan memutar badannya, Valian memberi momentum pada kaki kanannya untuk mengayun ke belakang dan terus memutar dan berharap tumit kanannya bisa menghantam bagian tubuh manapun dari Bu Hasya. Tapi, tumit Valian tidak menghantam apa-apa selain udara, karena Bu Hasya telah melompat mundur dan segera membenahi kuda-kudanya.

Valian juga membenahi kuda-kudanya sambil mengatur nafas. Saat itulah aku baru sadar kalau aku ikut menahan nafas selama mereka saling melempar serangan. Suasana terasa hening, dan kulihat semua orang di sini terkesima melihat pertarungan Bu Hasya dan Ian ini.

Naga dan Ksatria ini benar-benar berusaha saling bunuh! pekik batinku. Tapi, apa alasannya?

Secara bersamaan, kembali mereka saling menyerang, dan rasanya makin intens dan cepat. Valian menendangkan kaki kanannya dan Bu Hasya menghindar ke kiri dengan tangan kanan siap diluncurkan ke dada Valian, hanya saja dapat dihadang telak oleh tangan kanan Valian, dan Valian lancarkan serangan berikutnya dengan memutar badan sambil mengayunkan sikut kiri dan nyaris mengenai pelipis Bu Hasya andai Bu Hasya tidak mundur sedikit. Saat Bu Hasya bergerak mundur itu, beliau juga memutar tubuhnya dan seiring dengan itu beliau merunduk dengan merentangkan kaki kanannya, menyapu lantai, menyerang pijakan kaki Valian, dan aku pikir Bu Hasya berhasil, karena Valian terjungkal, tapi tidak! Saat Valian terjungkal, ia tumpukan tangan kanannya ke lantai dan dengan gaya gravitasi yang didapatnya saat terjungkal, ia manfaatkan momen itu dengan mengayun kaki kiri, mengarahkan pungung kakinya ke Bu Hasya. Bu Hasya menghadang telak punggung kaki Ian dengan lengan kanan membuat kaki kiri Valian memantul cepat dan kembali memberinya momentum untuk menyerang dengan kaki kanan seiring ia tumpukan tangan kirinya ke lantai untuk memberi bantuan tangan kanannya menangani beban tubuhnya. Tapi kaki kanan Valian tidak menghantam apa-apa karena Bu Hasya telah melompat berjungkir ke belakang. Kulihat Bu Hasya berhenti sejenak untuk membenahi kuda-kudanya dan mengatur nafas. Sungguh sulit dipercaya kalau badan Valian bisa segesit itu!

Karena kaki kanan Valian gagal mengenai sasaran, Valian terus mengayunkan kakinya ke belakang hingga menyentuh lantai, lalu ia tolakkan kakinya, membuat badannya meluncur dengan cepat ke arah Bu Hasya. Sepertinya Valian tidak mau memberi Bu Hasya kesempatan untuk mengatur nafas. Lalu Valian lancarkan tinju yang bertubi-tubi, dan memaksa Bu Hasya melangkah mundur seiring beliau menangkis serangannya.

Bisa aku lihat wajah Bu Hasya tampak serius, tapi masih terkesan dingin dan tenang meski diserang seperti itu, meski dipaksa melangkah mundur setiap beliau menangkis tinju-tinju Valian. Aku tidak tahu apa-apa soal bela diri, tapi aku yakin Bu Hasya sedang menelaah pola-pola serangan Valian, dan berusaha mencari celah untuk menyerang. Ketika hampir dua langkah lagi dari Pak Firman yang duduk bersila persis di belakang Bu Hasya, Bu Hasya tiba-tiba mengubah pola gerakannya.

Tumbreng,” kudengar April menggumam lirih.

“Apa?” tanyaku heran dan teralihkan sejenak dari pertarungan.

“Bu Hasya memperpendek jarak bertahan sekaligus jarak menyerangnya,” jelas April tanpa berpaling dari pertarungan.

Ketika aku berpaling kembali ke pertarungan, kulihat Bu Hasya menepis tinju Valian ketika tinju itu hanya sejengkal lagi dari wajah Bu Hasya. Pada saat yang bersamaan, Bu Hasya mengayunkan sikut kiri ke dada Valian, dan dihadang oleh telapak tangan kiri Ian. Ian kembali menyerang dengan sikut kanan yang di arahkan ke telinga Bu Hasya, sedang Bu Hasya segera mengangkat telapak tangan kiri untuk menghadang sikut itu. Pada saat itulah Bu Hasya berhasil memaksa Valian mundur untuk menghindar cakaran jemari kanan Bu Hasya yang mengarah ke leher Valian.

“Dan itu namanya Tumbreng?” bisikku pada April.

“Aku nggak tahu pasti,” jawab April juga berbisik, “sepertinya itu yang aku lihat.”

“April lebih suka pada seninya daripada bela dirinya,” Noah menimpali. “Tapi ini pertarungan sebenarnya. Aku rasa nama jurus nggak relevan lagi di sini. Lagipula, aku sangsi kalau dasar ilmu bela diri Bu Hasya itu Pencak Silat; bagiku terlihat seperti Karate.”

Benar juga, pikirku. Tapi itu tidak penting bagiku! Yang aku ingin tahu adalah alasan mereka bertarung. Aku tidak tahu sama sekali, meski hanya menduga-duga sekalipun! And it’s killing me!

Pertarungan itu kini berbalik arah, Bu Hasya berhasil mendesak Valian hingga ke tengah lingkaran. Beliau lancarkan serangan-serangan jarak pendek yang sepertinya membuat Valian kewalahan, atau lebih tepatnya kesal. Lalu ada suatu saat ketika Bu Hasya mengayunkan sikut kanannya, Valian pun ikut mengayunkan sikut kanannya untuk menghantam sikut kanan Bu Hasya. Bu Hasya terpental dua langkah, tapi begitu pula dengan Valian. Tapi mereka berdua tidak mau berhenti. Kini mereka saling melepas serangan dan tangkisan di tempat, tanpa mengambil langkah, merasa tidak sudi untuk terdesak lagi.

Serangan demi serangan, tangkisan demi tangkisan, mereka lancarkan dengan kecepatan tinggi, berusaha melampaui satu sama lain. Tegas, kuat dan cepat; menunjukkan kepada kami apa yang mereka lakukan tidak dibuat-buat apalagi direncanakan. Lalu ketika kurasakan mereka telah berada pada puncak kelelahan, mereka saling melempar tinju dan masing-masing tinju mendarat di lengan kiri masing-masing lawan, dan mereka terdiam di sana, tidak terpental, tidak terdorong, tidak lagi saling menyerang. Mereka diam, dengan kepalan tangan masih menempel di lengan masing-masing lawan, dengan mata yang hanya berjarak dua jengkal saling menatap tajam, dengan desah nafas yang menderu dan memburu. Seolah-olah mereka memberi epilog dramatis pada epik yang aku tidak tahu kenapa epik ini mesti ada. Suasana mendadak hening, sehening suasana setelah berlalunya badai.

Keheningan itu kemudian terpecah oleh tepuk tangan Pak Firman, yang kemudian diikuti tepuk tangan semua orang yang duduk melingkar, termasuk aku. Mendengar tepuk tangan kami, barulah Valian dan Bu Hasya melepas kepalan tangan mereka sebelum mereka saling memberi hormat. 

Tepuk tangan kami hanya sebentar karena kemudian Bu Hasya mengangkat tangan kanannya, menyuruh kami diam.

“Sekarang, ada yang berani melawan Ibu?” kata Bu Hasya dingin dan datar. “Ada diantara kalian yang berani melawan Ibu?” ulang Bu Hasya, namun kini intonasi suaranya meninggi menuju marah.

Tentu saja pertanyaan Bu Hasya itu dijawab dengan hening. Aku tidak tahu dengan Bu Athena, Pak Ajat dan Pak Firman, tapi aku yakin yang lainnya merasa ngeri mendengar Bu Hasya berbicara seperti itu. Tapi tentunya juga kecuali Valian; dia baru saja melawan Bu Hasya, bukan? Dengan itu, Valian terlepas dari dampak isi pertanyaan Bu Hasya. Lebih dari itu, cukup jelas Valian tidak bisa disebut kalah dari Bu Hasya. Kulihat dia hanya berdiri dan melihat Bu Hasya berbicara. Dia telah melampaui rasa takut terhadap Bu Hasya.

“Atau ada yang berani melawan Saudara Valian?” lanjut Bu Hasya yang seketika membuat jantungku berdebar dan langsung melempar pandangan ke sosok karakter di Klub Basket.

Jimy ini tampak terkejut, yang diiringi wajah takut, malu dan marah. Tapi aku rasa, malu dan takut yang lebih mendominasi, karena aku lihat dia kemudian merunduk.

Pasti ada hubungannya dengan pemukulan yang terjadi tadi pagi, ucap batinku, Apa ini alasan Bu Hasya bertanding dengan Valian? Apa untuk mencari tahu siapa yang memukuli Valian? Apa hanya karena itu? Ataukah Bu Hasya berasumsi yang terjadi bukan pemukulan, melainkan perkelahian? Dan ini cara beliau menghukum Valian? Tidak. Pasti tidak hanya itu. Pasti ada alasan lain!

“Ibu tahu,” lanjut Bu Hasya sambil memindai seluruh wajah yang duduk mengelilinginya, “diantara kalian ada yang menjadi anggota geng motor, diantara kalian ada yang merasa diri benar dan mengeroyok siswa sekolah lain, diantara kalian ada yang merasa senior yang hanya berani memukuli junior yang tidak bisa melawan. Diantara kalian ada pengecut yang tidak tahu apa-apa soal kehormatan!”

Kulihat ada banyak wajah yang merunduk. Terutama wajah anak-anak Pustakawan.

“Jika kalian merasa diri benar atas perbuatan kalian, silahkan konfrontasi Ibu! Beri Ibu alasan untuk membenarkan perbuatan kalian! Beri Ibu argumen! Beri Ibu tantangan duel! Kalian sudah menyaksikan sendiri, Ibu bersedia dikonfrontasi pada tingkat paling ekstrim sekali pun!” Wajah Bu Hasya tampak memerah seiring melontarkan kemurkaannya, seakan setiap saat bisa saja beliau menyemburkan api.

“Sekolah adalah institusi untuk membentuk manusia unggulan! Ini adalah postulat yang tidak bisa kalian tawar lagi! Dan kalian ada di sekolah ini…. Itu sudah cukup bagi Ibu sebagai guru untuk menempa kalian menjadi manusia unggulan! Akan Ibu didik kalian, bagaimanapun caranya! Kalian mengerti?”

Hening sesaat.

“Kalian mengerti?” pekik Bu Hasya membentak.

“Siap!” kudengar seluruh anak-anak Pustakawan memekik keras dan tegas.

“Kembali ke Perpustakaan dan teruskan tugas kalian!” perintah Bu Hasya.

Seluruh anggota Klub Pustakawan beranjak meninggalkan lingkaran.

Kini aku merunduk dan mendengus kesal. Ini tidak ada hubungannya dengan pemukulan Valian! Tidak ada sama sekali! Ini hanya upacara inisiasi anak-anak kelas satu di Klub Pustakawan! Bu Hasya hanya memanfaatkan Valian sebatas anggota (atau Presiden) Klub Pencak Silat!

Kamu mengerti kenapa aku kesal, kan? Jimy dan teman-temannya tidak akan terhukum atas pemukulan mereka terhadap Valian. Aku hanya bisa puas dengan horor yang mereka rasakan yang dipancarkan Bu Hasya ketika Bu Hasya berkata “Ada yang berani melawan Saudara Valian?”

Tiba-tiba saja rasa kesalku hilang, terhapus oleh penasaran yang meluap-luap. Eh—Kalau ini hanya sekedar upacara inisiasi, untuk apa Bu Hasya mengatakan itu? Untuk apa Bu Hasya menantang yang lainnya untuk melawan Valian? Atau semua ini ide Valian untuk menunjukkan sama Jimy dan teman-teman kalau dia sebenarnya tangguh? Tapi itu, absurd! Jika memang ini motifnya, bukankah dia akan melawan sewaktu dipukuli? Lagi pula apa alasan membiarkan dirinya dipukuli?

Mendapati pertanyaan-pertanyaan itu secara tiba-tiba menjejali benakku, kepalaku mendadak terasa pening.

“Saya ucapkan terima kasih kepada saudara-saudara sekalian,” kata Bu Hasya setelah seluruh anggota Klub Pustakawan meninggalkan aula. “Terima kasih kepada Pak Firman, Pak Ajat, Bu Athena. Terima kasih juga kepada Saudara Valian, beserta siswa-siswa yang lainnya. Terima kasih atas partisipasinya dalam acara ini, dan semoga tercatat sebagai amal kebaikan. Saya mohon maaf jika ada perasaan terpaksa untuk berada di sini. Saya mohon maaf jika ada ketidak-nyamanan dihati saudara-saudara. Sekali lagi terima kasih. Assalamu`alaikum.”

“Wa`alaikumsalam,” jawab kami bersama.

Lingkaran manusia ini kini bubar seluruhnya. Aku pun beranjak sambil melihat Bu Hasya berjalan ke arah Bu Athena.

“Bu Athena, bisa tolong saya,” kata Bu Hasya seraya menunjuk baju pelindungnya, minta dibantu untuk melepaskannya.

Sempat kulirik wajah Bu Athena, dan wajah itu menunjukkan kekesalan. Tapi, beliau menurut dan segera menghampiri Bu Hasya.

“Saya masih tidak setuju dengan metode Anda, Bu Hasya,” kata Bu Athena dingin seraya melepaskan tali-temali di punggung baju pelindung Bu Hasya.

“Anda lakukan apa yang bisa Anda lakukan,” jawab Bu Hasya, “saya lakukan yang bisa saya lakukan. Saya rasa itu cukup adil. Terima kasih, Bu Athena. Sekarang saya bisa melepaskannya sendiri.” Kulihat Bu Hasya meninggalkan Bu Athena sambil melepas sendiri baju pelindungnya dan menyerahkannya ke Valian.

“Bu Athena tidak suka sama Bu Hasya?” tanyaku setelah menghampiri Bu Athena.

Lihat selengkapnya