“Just because you can’t prove it doesn’t mean it isn’t true.”
—Robert Graysmith
Tiap detik Cessa mengingat mimpi itu. Bukan mimpi menyeramkan seperti dikejar-kejar zombi atau berlari-lari dalam labirin untuk mencari jalan keluar, melainkan mimpi indah dengan beribu tanda tanya. Cessa mengambil remote televisi yang terselip di sela sofa, memencet tombol power, mencari saluran yang menayangkan tayangan menarik. Entah mengapa semuanya terlihat biasa, membuat Cessa kembali menekan tombol power, mematikan televisi.
Suara musik samar dari arah taman belakang berhenti menggaungi telinganya, tidak lama kemudian pintu yang terletak tepat di belakang Cessa duduk terbuka. Aditya muncul dari sana, menghampiri Cessa, kemudian duduk di sampingnya.
“Minggu gini nggak hang out, Cess?” Cowok dengan kuciran kecil yang menggantung di kepalanya itu memperhatikan bayangan mereka berdua yang memantul di layar televisi yang gelap. Rambut Aditya sebenarnya tidak begitu panjang, hanya mencapai telinga bagian bawah. Ujung-ujung rambutnya bercabang karena cowok itu sempat mewarnai sendiri rambutnya. Sebagian rambutnya akan terlihat berwarna cokelat terang ketika di bawah sinar matahari.
Cessa tidak menjawab, hanya memperbaiki posisi duduknya, mengambil satu bantal persegi di samping, lalu menaruhnya di pangkuan.
“Nggak main sama Ava dan Indri?” Aditya mengambil majalah otomotif di atas meja.
“Kak, aku mau nanya.” Cessa memberi senyum lebar miliknya, deretan gigi mungil dengan tambahan gingsul menjadi ciri khas Cessa.
Aditya menoleh. “Tentang cowok itu lagi? Cowok Virgo?”
“Nggak, bukan, kali ini beda. Cewek Aquarius sama cowok Scorpio nggak akan bisa nyambung, kan, ya?”
“Kata siapa?” Aditya kembali membuka-buka halaman majalah.
“Dalam garis tali hubungan antara zodiak, Aquarius sama Scorpio itu bertentangan, Kak. Masalahnya, semalam aku mimpi dan mimpinya aneh. Ada Damara, cowok Scorpio yang super pendiem di kelas. Orangnya dingin, kayak nggak ada gairah hidup.” Tawa kecil keluar dari mulut Cessa. Entah kenapa rasanya lucu ketika membayangkan ekspresi dingin cowok itu. “Tapi, di mimpiku dia beda banget. Dia nggak berhenti ngeluarin senyum ramah, genggam tangan aku erat, dan ya, kami seolah pasangan yang ngehabisin waktu bersama. Kayak pacaran gitu.”
Aditya ikut tertawa. Dia menyandarkan tubuhnya. “Itu aneh.”
Cessa mengangguk. “Makanya, bikin aku penasaran banget. Apa jangan-jangan dia itu jodoh terselubung, ya? Alias mimpi itu pertanda dari Tuhan? Kata Kak Adit, aku harus ngapain?”
Kali ini Aditya tertawa terbahak-bahak. “Astaga, kamu ini beneran kebanyakan nonton film, Cess. Gue nggak pernah denger kalau jodoh datangnya dari mimpi.”
“Tapi ... kali ini beda, Kak. Beda. Ada perasaan aneh waktu ingat soal mimpi itu.” Nada suara Cessa berapi-api. Cessa tetap menganggap mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Mimpi itu punya pertanda lain.
“Ya, kalau kamu beranggapan gitu, deketin lah, orangnya.”
Cessa berdecak, bagaimana caranya? Mendekati cowok Scorpio yang dingin dan pendiam itu menyeramkan. “Please, aku udah bilang, kan, kalau dia itu nggak kayak cowok kebanyakan? Gimana mau deketin kalau dia misterius gitu? Lagian, gengsi dong, masa cewek duluan yang mulai?”
“Setahu gue, cowok kayak dia itu jinak-jinak merpati. Kalau kamu bisa cari celah, ya kamu bisa dekat sama dia. Cowok Scorpio manusia biasa, kali, Cess. Kalau diajak ngomong, pasti jawab, kan? Kalau ditoyor pasti marah, kan? Seenggaknya dia teman sekelas kamu, ngadepin dia nggak akan sulit.”