Scorpio

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dua

“Life always begins with one step outside of your comfort zone.” —Shannon L. Alder

Damara mengelilingi rak-rak buku perpustakaan yang tidak begitu ramai. Untuk menyelesaikan tugas Fisika dari Ibu Dina, murid-murid harus bisa mengumpulkan referensi sebanyak mungkin. Menurutnya dibandingkan dengan mencari lewat internet yang belum tentu lengkap dan benar, dia lebih memilih mencari lewat buku. Ada banyak hal yang bisa didapatkan dari internet, tapi lebih banyak lagi dari buku.

Sesekali Damara mencari sosok Cessa yang sejak tadi juga berada di tempat yang sama. Ia mengintip dari sela-sela deretan buku yang tidak berjajar teratur sembari mengambil satu demi satu buku. Cowok itu membaca beberapa halaman untuk mendapatkan buku referensi yang tepat. Mereka berdua berencana meminjam beberapa buku dari perpustakaan hari ini.

“Masih punya waktu cari buku fiksi buat dibaca?” Damara menghampiri, berdiri di belakang Cessa.

Cessa membalikkan tubuhnya, memperhatikan ekspresi cowok itu untuk kali kesekiannya. Dia kalau marah kayak apa, ya? Kalau sedih? Kalau senang? Cessa menahan tawa dalam hati. Dalam jarak yang seperti ini, dia menyadari bahwa Damara memiliki tubuh yang cukup tinggi.

“Sori, tadi aku agak bosen muter-muter di sana. Nyasar ke sini jadinya.” Cessa mengembalikan satu novel yang baru saja dia ambil itu ke rak. Tadinya dia berniat meminjam novel itu untuk dibaca.

Bola mata Damara mengikuti gerakan tangan Cessa. “Aku punya novel itu. Mamaku penggemar Nicholas Sparks.”

“Oh, ya?” Cessa memajukan wajahnya, penasaran.

Damara mengangguk, lalu berjalan ke rak buku lain, rak tinggi berisi penuh ensiklopedia. Sementara itu, Cessa memutuskan untuk mengikuti cowok itu dari belakang.

“Ah, kayaknya kita harus ngerjain ini barengan, deh. Maksudnya harus kerja kelompok di satu tempat yang sama.” Inilah saatnya dia harus bisa memanfaatkan situasi. Cessa memutar otak. “Gimana kalau kerjain di rumah kamu? Pulang sekolah nanti.”

Damara tidak memberi respons, dia memutar-mutari rak tidak peduli. Matanya sibuk membaca deretan judul-judul ensiklopedia.

Sial, aku dikacangin! Cessa menggaruk-garuk kepala, menghela napas panjang, kemudian mempercepat langkahnya, berpindah posisi untuk mendahului langkah kecil Damara.

“Soalnya kalau ngerjain di rumahku, ada studio musik punya kakak. Berisik. Jadi, bisa ganggu konsentrasi.”

Ada ekspresi berbeda ketika Cessa menyebutkan “studio musik” di wajah Damara. Namun, sedetik kemudian ekspresi itu lenyap.

“Kenapa nggak ngerjain di Toast Butter? Kamu sama temen-temen kamu sering, kan, nongkrong di situ?”

Toast Butter adalah kedai kecil yang berada tidak jauh dari sekolah. Kedai itu mungil, hanya berukuran 4 x 4 meter dengan enam meja makan mungil di dalamnya. Menu-menu andalannya adalah roti bakar bermentega dengan berbagai topping dan susu murni beraneka rasa. Cessa memang sering menghabiskan waktu di sana bersama Ava dan Indri setelah pulang sekolah.

Apa Damara juga suka menghabiskan waktu di sana? Cessa penasaran. Mungkin saja selama ini cowok itu juga sering berada di Toast Butter sebelum mimpi itu datang sehingga Cessa tidak begitu memperhatikan kehadirannya.

“Di sana itu nggak bisa buat ngerjain tugas. Ya, kalau kamu suka ke sana, kamu pasti tahu kalau Willy suka banget muter musik kenceng-kenceng.” Cessa berdalih. Willy, cowok keturunan Amerika yang merupakan pemilik sekaligus koki Toast Butter.

Pokoknya, Cessa harus bisa mendatangi rumah Damara, mencari informasi tentang cowok itu. Rumah adalah tempat yang tepat untuk mencari hal-hal jujur dari seseorang yang tidak pernah bisa ditemukan di tempat lain.

Damara mengambil salah satu ensiklopedia dengan gambar gedung pabrik di bagian kovernya. “Aku udah nemu satu. Kamu mau terus ngoceh tanpa dapat hasil?”

Cessa menelan ludah. “Ah ... sori.” Dia meraba deretan buku di hadapannya. Berusaha menemukan buku serupa yang bisa dia ambil sekarang juga. “Ini bagus kay—”

Lihat selengkapnya