Bingkai roda motor itu berputar, menggilas jalanan aspal yang disiram matahari pagi. Pengemudinya berusaha untuk memacu motornya lebih cepat. Menyalip Metro Mini, menyusul Angkutan Umum, menglaksoni motor lain yang menghalangi lajunya. Sudah seperti balapan liar yang ingin mencapai finish lebih dulu. Tapi sayangnya, motor bebek keluaran tahun ‘70 itu tidak memiliki kecepatan bak motor Valentino Rossi. Sekalipun gasnya di putar penuh, kecepatannya tetap saja seperti kura-kura.
Gio yang berada di jok belakang sedari tadi sudah resah. Sesekali melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Pukul 06.30. cowok itu bisa memastikan kalau akan terlambat sampai sekolah hari ini.
“Jae!! Per-Quick bawa motornya, lelet banget!” Gio berseru.
“Eh, lo pikir ini motor 250cc? Udah di gaspol aja jalannya kayak ngomognya si Santoso, mode slow-mo!” teriak Jaenudin, cowok yang mengemudikan motor.
Pak Santoso adalah guru bidang kesiswaan di SMA Kencana, dimana mereka sekolah. Pak Santoso itu kalau ngomong lambat bin pelan-pelan. Siswa yang mendengarkan ocehannya akan dibuat ngantuk pasti.
Gio berdecak, “alamat di semprot sama pak Santoso, Ja.”
“Gara-gara si Otoy nih, semalem pakai motor nggak di isi bensinnya. Malah kita yang jadi korban,” kesal Jae. Mengingat mereka terpaksa mendorong motornya ketika baru berangkat dari rumah. Dan itulah alasan yang paling masuk akal sehingga mereka terlambat.
Otoy? Otoy itu nama Bapaknya Jaenudin. Ia kerap memanggil bapaknya itu dengan sebutan nama. Sahabat Gio ini memang agak gila.
Lima belas menit kemudian, mereka sampai di parkiran sekolah. Gio turun, menaruh helm di atas kaca spion, di susul Jae yang terus mengumpat gara-gara kesal dengan Bapaknya itu.
Belum jauh melangkah, Pak Santoso sudah mencegat mereka berdua dengan tatapan tidak suka. Matanya memicing, berkacak pinggang. Gio dan Jae mendesah pasrah. Hari senin ini, sudah di pastikan mereka akan mendapatkan hukuman.
“Telat lima belas menit. Kalian tau upacara jam berapa?”
“Jam 06.45, pak,” Jae menjawab lantang. Gio memilih diam, dari pada akan terjadi hal-hal yang lebih buruk nantinya. Ia malas berurusan dengan masalah seperti ini.
“Sudah tau kenapa telat?”
“Mac ...”
“Syuuuuttt,” Pak santoso berdesis, menaruh telunjuknya di depan bibir, “saya tidak menerima alasan. Selesai upacara, kalian bersihkan ruang guru. Sapu, pel, sampai bersih, mengerti?” Titah Pak Santoso, dengan gaya slow-mo nya.
Gio dan Jae menganga. Bukannya guru berkumis lebat dengan tubuh gemuk itu barusan bertanya?
“Masa bersihin ru ...”
“Syyyuuuutttt!!” Lagi-lagi Pak Santoso berdesis, memotong. Ia tidak menerima intrupsi. Jae kontan mengatup mulutnya.
“Dan untuk kamu Gio, saya harap ini keterlambatan kamu yang pertama dan terakhir kalinya. Percuma pintar kalau tidak disiplin!” Gio patah-patah mengangguk. Jae menguap. Pak Santoso membuat ngantuk.
Gio pintar? Tentu saja. Ia selalu menjadi juara pertama di kelas. Bahkan pernah menjadi juara pertama di seluruh angkatannya. Dan itu membuat Gio di kagumi banyak gadis di SMA Kencana. Ganteng, pintar, dan kalem, tapi galak juga. Dan di kelas 12 ini, Gio sudah punya target bahwa ia harus mendapatkan nilai UN yang terbaik.
“Cepat masuk barisan!”
Setengah berlari, Gio dan Jae segera merapat di barisan kelas mereka, ikut upacara.
Matahari mulai terasa menyengat jika berada di tengah lapangan. Saat ini Gio dan Jae berada di barisan paling belakang. Bosan mendengarkan amanat Pembina Upacara.
“Murka gue sama si Otoy! Tega bikin anaknya yang paling ganteng ini ngebabu di sekolah,” Lirih Jae kesal. Gio melirik dengan ekor matanya.
“Lo ngomong sama siapa?” Gio bertanya datar. Sedikit berbisik agar suaranya tidak terdengar oleh Pak Santoso yang sedang berkeliling di sela-sela barisan, mengamati semua siswa.
“Lo nggak ngerasa gue ajak ngomong?”
“Enggak, lah.”
“Terus gue ngomong sama siapa, dong?”
“Sama saya!” jawab seseorang dari arah belakang Jaenudin.
Sial, itu Pak Santoso. Bulu kuduk jae seketika berdiri. Matanya melebar sempurna. Aura negatif mengambang di dekatnya. Gio mengatup mulutnya.
Pak Santoso bergerak mendekat, berbisik pada Jaenudin, “Kamu itu sudah terlambat, terus banyak tingkah juga. Kalau ada orang sedang berbicara di depan, harus?”
“Harus?” Jae mengulang pertanyaan Pak Santoso.
“Harus di kasih minum! Ya, harus mendengarkan!”
Gio mengulum senyumnya. Ia tahu bahwa tubuh Jae sedang menegang saat ini.
“Bocah, kok, sulit kalau di kasih tau!” Pak Santoso berlalu.
“Ngelawak dia,” cibir Jae lirih. Memutar bola matanya.
***
“Apes banget, mau sekolah malah jadi babu. Padahal kita bayar, Yo!” Jae mengeluh sambil menyapu lantai ruang guru. Untung lah ruangan guru ini sedang kosong, karena tahu akan di bersihkan, maka para guru menunggu di ruangan lain terlebih dahulu. Jadi Jae bisa bebas mengumpat.