Jika mengingat nama Ken, darah yang mengalir dalam tubuh Topan serasa mendidih. Ken Rinan, cowok yang usianya di atas Topan empat tahun. Penyebab segala permasalahan di keluarganya. Cowok itu yang menyebabkan Papanya meninggal satu tahun yang lalu.
Ken adalah kakaknya Topan. Cowok brengsek, yang hidupnya hanya mementingkan kesenangannya sendiri. Mana peduli ia dengan nasib keluarganya.
“Mau ngapain dia kesini, Ma?”
“Dia perlu uang katanya, Pan.”
“Terus Mama kasih?” Nilla mengangguk.
Topan menarik nafasnya dalam-dalam. Ia tidak percaya kalau Nilla memberikan apa yang kakaknya mau. Cowok nggak tahu diri. Dia lupa sepertinya sudah menghancurkan keluarga ini.
Topan langsung teringat pada kejadian satu tahun yang lalu. Malam itu Ken pulang dalam keadaan mabuk, tersungkur setelah membuka pintu utama sambil bersenandung tak jelas. Dari dalam, Izman, Papanya berjalan cepat ke arah Ken dengan wajah penuh amarah.
“ANAK SIALAN!!! BANGUN KAMU, KEN!”
Mendengar Izman yang berteriak, Nilla dan Topan segera keluar kamar demi melihat apa yang terjadi. Nilla seketika menutup mulutnya yang terbuka melihat Suaminya yang sedang mencengkram kerah jaket putranya. Tidak, Nilla tidak bisa membela anak sulungnya itu. Kelakuannya sudah melampaui batas.
“MAU KAMU ITU APA, KEN?”
“BISANYA CUMA BIKIN MALU KELUARGA! APA TIDAK CUKUP KAMU MEMBUAT KAMI SUSAH DENGAN ULAHMU?”
Ken yang dalam keadaan sadar dan tidak sadar menghentakkan kedua tangan Izman, lalu mendorong tubuh Papanya dengan sisa tenaga. Ken melotot ke arah Izman dengan mata merahnya. Izman seketika memegangi dada kirinya yang terasa sakit bukan main. Nafasnya tersendat.
“ABANG!! YANG SOPAN SAMA PAPA!” Pekik Topan yang memegangi bahu Izman. Sementara Nilla bungkam, menangis.
“Oh, tuan Putri marah!”
“Urus orang tua lo yang nggak berguna ini!”
“Punya orang tua tapi nggak berguna! Cuih!” sarkas Ken, penuh penekanan.
Dengan sempoyongan, Ken segera berlalu dari Rumah.
Izman ambruk, Topan dan Nilla segera merengkuhnya.
“PAPA!” Air mata Topan meleleh. Sementara Nilla yang sedari tadi sudah menangis segera menelepon rumah sakit untuk mengirim ambulan. Tapi sayangnya, nyawa Izman tak terselamatkan. Ia terkena serangan jantung.
Kejadian itu membekas dalam ingatan Topan. Gadis itu tidak akan pernah melupakannya.
Topan bangkit, beranjak ke kamarnya.
“Topan,” lirih Nilla. Ia tahu bahwa putrinya belum bisa memaafkan Ken.
Sesampainya di kamar, Topan meraih bingkai foto yang berada di atas nakas. Memandang foto Izman yang tengah tersenyum disana. Dada Topan terasa sesak. Air bening mulai menumpuk di pelupuk matanya. Topan mengerjapkan matanya. Air bening itu sukses jatuh menyusuri pipinya.
“Topan kangen sama Papa,” lirih Topan, hampir tidak terdengar.
***
Gio duduk di kursi reot tepat di depan kamar Jae. Berhubung kamar jae tidak di dalam bangunan utama, jadi itu lebih leluasa untuk mereka keluar masuk karena memiliki aksesnya sendiri.
Gio menatap anak cowok seusianya yang berjalan sambil berbincang dengan ayahnya. Terlihat menyenangkan. Sesekali mereka tertawa, akrab. Gio iri. Kenapa mereka bisa tapi dirinya tidak bisa?
Dari kecil Gio sudah di campakkan oleh kedua orang tuanya. Sepertinya, kehadiran Gio tidak diinginkan oleh mereka. Lihat saja, Ketika kakaknya diberi pakaian baru, Gio menerima pakaian bekas kakaknya. Ketika adiknya di berikan sepatu baru, Gio hanya gigit jari. Tapi ada sesuatu yang sering Gio dapatkan dari Papa atau Mamanya, yaitu makian atau pukulan. Entahlah, Gio tidak mengerti kenapa orang tuanya bersikap tidak adil.
Setelah masuk SMA, Gio memutuskan untuk keluar dari rumah. Dan Jae, sahabatnya sejak SD, membuka pintu rumahnya untuk Gio. Meskipun sederhana, tapi Gio sangat nyaman tinggal di rumah ini.
“Yuk cabut!” Seru Jae yang sudah berada di sampingnya.
Gio mengangguk. Meraih gitar yang bertengger di sampingnya lantas beranjak dari duduknya. Mereka segera berjalan menuju tenda-tenda penjual pecel-lele.
Mengamen adalah rutinitas kedua cowok itu. Jae hidup sederhana, sementara Gio harus tetap bertahan hidup karena tidak mendapatkan sepeserpun dari orang tuanya. Tidak masalah, Gio ikhlas menjalaniya.
“Yo, kalau hari ini kita dapat banyak kayak kemaren, besok kita libur. Ngafe kita Yo,” Jae menggebu-gebu.
“kalau banyak, kalau enggak?”
“Yakin gue, kan ada elo Yo,” Jae menyeringai bodoh.
Gio menoleh, mengerutkan dahinya, “apa hubungannya sama gue? Yang ngasih duit kan orang lain.”
“Yaelah Yo, elo mah baru mangap aja udah dapet duit. Apa lagi kalau banyak cewek-ceweknya, menang duit banyak kita.” Jae panjang lebar.