“Eh gimana ngomongnya sama mereka?!” kataku panik sendiri sambil keluar dari kamar dan turun dari tangga.
“Kan tadi sudah aku ajarin. Bilang aja nggak apa-apa kok,” jawabnya nyantai.
“Kamu aja deh yang kasih barang-barang ini ke papa mamamu,” kataku pada Kazuki yang sedikit meramaikan suasana daerah tangga dan tambah diramaikan lagi oleh suara gonggongan Riku, si Chihuahua berbulu tebal dibawah anak tangga sana.
“Lho kok aku? Kamu dong yang kasih, kan ini oleh-olehmu buat mereka,” katanya padaku dengan nada yang tetap kalem.
“Hajimemashite douzo youroshiku onegashimasu,” Dengan cepat-cepatan dan sedikit kamisosolan karena grogi aku langsung mengatakan kalimat itu sambil menunduk dan menyerahkan sebungkus minuman hangat rasa buah cermai khas Beijing, dan sekotak teh Guan Yin yang kubeli di salah satu pusat teh di Beijing.
...
Tak ada jawaban dan respon apapun, semuanya diam, dan aku merasa ada sesuatu yang aneh lalu aku menengadah dan melihat apa yang terjadi.
Tawa Hideaki yang paling keras diantara mereka berempat, bahkan suara tawanya mengalahkan gonggongan si bulu tebal itu. Memang kurang asem anak satu itu.
“Eh aku salah ngomong ya?” tanyaku pada Kazuki dengan raut wajah yang tak enak hati sendiri.
“Kalimat itu seharusnya kamu ucapkan waktu tadi perkenalan, artinya senang bertemu denganmu.” katanya sambil tersenyum-senyum melihatku. “Coba bilang ‘kore’ ,” katanya padaku.
“Eh..., anu..., kore,” kataku dengan grogi sambil menunduk dan menyerahkan kembali. Saking groginya sampai suaraku terdengar keriting.
“Hontouni arigatou,” kata wanita bersuara lembut dan pria hampir separuh baya itu sambil tersenyum-senyum sendiri melihat aku yang salah tingkah lalu mereka ngobrol dengan bahasa mereka yang sungguh panjang dan cepatnya bukan main tapi sungguh enak didengar. Aku berasa beneran lagi nonton drama Jepang!