Kasur lipat, bantal, dan selimut serba putih yang ikut-ikutan menjadi hangat karena efek karpet penghangat telah kulipat dan kumasukkan ke dalam lemari. Pagi keduaku tak akan kubuat diriku terlena lagi di kasur lalu terlambat bangun seperti kemarin, gosh... malu banget.
Pukul 7 pagi aku sudah siap bahkan sudah mandi pula lalu siap-siap turun dan membantu wanita cantik hampir paruh baya itu menyiapkan makan pagi, tak enak hati rasanya kalau aku hanya leha-leha dan ongkang-ongkang kaki saja.
“Ohayou,” kataku sambil tersenyum malu-malu saat menampakkan sosokku di ruang tengah yang isinya dari kiri ke kanan tempatku sekarang berdiri ada dapur, ruang makan, dan ruang TV yang langsung di dalam satu ruangan tanpa sekat yang juga tak besar ukurannya.
“Sel-la-mat pagi,” katanya membalas membuatku kembali terkejut dengan bahasa yang sudah familiar oleh telingaku sejak aku lahir di bumi Indonesia.
“Indonesia,” kataku dan kulihat tak ada satu orang pun disini kecuali aku dan wanita yang selalu tersenyum itu.
Wanita itu tertawa pelan lalu berjalan mendekatiku yang sedang berdiri mematung di tengah-tengah ruang antara ruang makan dan ruang TV. Lalu wanita itu mengambil sebuah buku dan diperlihatkannya padaku.
Buku warna merah muda yang bertuliskan “Belajar Bahasa Indonesia” karangan entah siapa lupa aku pokoknya menggunakan nama orang Jepang. Aku langsung menengok wanita itu sambil menunjuk buku itu, lalu dia mengangguk sambil tersenyum kalem. Aku jadi tahu darimana senyum lembut yang selalu disunggingkan anak laki-lakinya padaku itu tercipta.
“In book store,” katanya menjelaskan padaku sambil menunjuk-nunjuk buku itu. Walau tak menggunakan kalimat lengkap tapi aku mengerti maksudnya. “Only one in Tokyo,” lanjutnya kembali sambil tersenyum dan berjalan menuju dapur yang juga kuikuti langkahnya. “Too difficult to find this book,” katanya kembali dengan Bahasa Inggris yang amat sangat terbata-bata tapi terdengar sangat berusaha mengajakku ngobrol. Betapa terharunya hati ini, hiks...
Tak ada Kazuki sebagai penerjemah dengan terpaksa bahasa tubuh pun beraksi kembali. Kami berdua benar-benar seperti pertunjukan topeng monyet.
Pertama-tama tentu saja aku grogi setengah mati berdiri di dapur hanya berdua dengan wanita murah senyum itu, rasanya seperti hendak mau dites masak oleh calon mertua, duhhh…
Wanita baik tetaplah wanita baik, betapa sungkannya dia saat aku menyatakan hendak membantunya menyiapkan makan pagi. Disuruhnya aku duduk saja di ruang makan atau ruang TV sambil menonton TV.
“I want to help you preparing for the breakfast,” kataku padanya masih tetap bertahan di dapur yang cukup sempit tapi masih bisa untuk pergerakan dua orang kesana kemari.
Walau Wanita ramah itu mengerti apa yang kubicarakan tapi dia tak bisa merespon apa-apa saat aku mengatakan kalimat itu, dia kembali menggunakan bahasa tubuhnya yang aku tahu dia tetap menyuruhku duduk saja sampai mendorong-dorong badanku agar keluar dari dapur, benar-benar terlihat sangat sungkan.
“I really want to prepare the breakfast together with you, onegaisimasu,” kataku sedikit mendesak sambil menunduk-nunduk dengan bahasa yang akhirnya tercampur juga.