“Aika, keluar yuk!” kata Kazuki padaku yang sedang berdiri di balik pintu kamar tidurnya.
“Kamu yakin keluar dengan cuaca seperti ini?” tanyaku padanya sambil bangkit berdiri mencoba membenarkan sweater yang kedodoran.
Dia mengangguk sebentar lalu berkata, “Nggak apa-apa kok lagipula cuma di garasi saja,” jawabnya sambil berjalan masuk ke dalam kamar.
“Kawaii,” katanya sambil tersenyum bak anak kecil begitu melihatku mengenakan sweater hitam kedodoran miliknya yang aku pakai bak daster yang tangan pun sudah tak nampak.
“Setidaknya membuatmu lebih nyaman bergerak dan hangat dibanding memakai jaketmu yang aku rasa bakal membuatmu susah bermain air dibawah,” katanya padaku dengan senyum nakal seolah punya rencana busuk untukku dan sedikit memicingkan mata sambil memandangiku yang sudah bagai liliput dapat baju dari tukang jahit yang tak bisa jahit.
Aku menghampirinya lalu mencubiti pipinya bermaksud menginterogasinya dari senyum nakalnya yang penuh alibi dan rencana aneh itu.
“Aku curiga dengan cara tersenyummu,” kataku sambil memicingkan mataku tanda kecurigaan dan mencubiti pipinya lalu menampar-nampar pelan kedua pipinya dan memijat-memijatnya sampai bibirnya menjadi monyong seperti ikan kembung. Wajahnya yang innocent dan biasanya melankolis menjadi tampak lucu dengan wajah bloon seperti itu, jarang sekali aku melihatnya dagelan seperti itu, dan aku rasa dia tampak lebih ganteng kalau hidupnya juga dipenuhi dengan komedi seperti ini. Terkadang aku suka sedih kalau melihat dia duduk diam merenungi nasib dengan wajah melankolisnya yang terlukis seakan hidup ini terlalu berat untuk ditopang. Kazuki memang cowok yang sangat baik, kalem, dan lembut tapi terkadang kekalemannya itu kelewatan sampai menjadi sangat melankolis bahkan lebih melankolis daripada aku yang juga sama-sama punya sifat itu.
Pada akhirnya aku dan cowok Jepang itu bukannya turun ke bawah malah cubit-cubitan, gulat, gebuk-gebukan, cekik-cekikan, kitik-kitikan yang sudah pasti bisa dilihat pemenangnya adalah aku yang memang doyan pecicilan dan smack down. Sudah lama rasanya tak tertawa selebar ini dan bertingkah seperti anak kecil, dan tak pernah aku melihat cowok Jepang itu tertawa terbahak-bahak sampai terguling-guling seperti ini saat di Beijing.
“Sudah sudah stop!” kata cowok Jepang itu yang sudah tepar diatas karpet penghangat.
“Masa sama cewek kalah,” tantangku yang terduduk selonjor sama-sama diatas karpet penghangat itu lalu bersiul-siul meledeknya.
“WAAAA!!!”