Gumpalan awan putih yang berbentuk seperti kapas dan ada yang membentuk guratan-guratan garis menghiasi indahnya langit Tokyo yang sudah mulai menjelang sore. Terlepas dari keramaian dan kepadatan di kawasan Shibuya, Kazuki mengajakku untuk turun sejenak di salah satu stasiun yang aku lupa namanya.
“Daerah ini memang tak banyak orang lalu lalang karena isinya hanya rumah penduduk biasa,” jelas cowok Jepang itu sambil berjalan perlahan diatas jalanan yang masih bisa dilewati dua mobil tapi tampak sangat lengang tanpa ada satu mobil dan orang pun yang lewat sembari tangan kanannya menggandeng menghangatkan tangan kiriku tapi efeknya sampai ke pusat jantung dan sekujur tubuh yang membuatku tak merasa kedinginan lagi disaat suhu udara mulai mendingin kembali.
Tak ada lagi obrolan antara aku dan cowok Jepang itu, yang ada hanya suara sepatu boot-ku yang menaiki tangga jembatan penyeberangan. Dan suara tok tok sepatu boot itu pun berhenti sampai di tengah-tengah jembatan, kami bersandar pada railing jembatan menghadap arah barat untuk menyaksikan perubahan langit sore menuju senja.
“Sebenarnya masih banyak ya tempat di Tokyo yang belum aku datangi?” tanyaku pada cowok Jepang itu yang menyandarkan tubuhnya dengan tangan terlipat di depan dada diatas railing jembatan.
“Banyak sekali hanya akunya saja yang kurang bisa membuat jadwal perjalanan yang baik untukmu, gomen,” katanya padaku dengan wajah yang sedikit kecewa pada dirinya sendiri sambil melihat ke arah lurus sana memandangi langit sore yang sudah mulai bergurat warna oranye gradasi.
“Nggak apa-apa kok, lain kali kalau aku datang lagi bawa aku ke tempat yang lainnya ya, kalau perlu sampai ke Kyoto, Osaka, Sendaii, Niigata siapa tahu disana ketemu Mami dan Shizuka,” kataku padanya. “Lagipula meski memang banyak tempat belum bisa aku datangi tapi selama bersamamu aku senang,” kataku padanya sambil tersenyum jenawa memandang matahari yang sudah mulai sedikit turun ke tempat peristirahatannya, langit sore pun sudah mulai tergantikan warna langit senja, tampak oranye seperti terbakar tapi indah sekali.
Tak ada jawaban apapun tapi aku dapat merasakan tanganku yang tiba-tiba menghangat dan kulihat ke arah bawah tempat tangan kami berdua terletak, tangannya yang sebelah kiri sedang menggenggam tangan kananku yang tampak terlalu kecil di dalam genggamannya. Sinar matahari senja membuat wajahnya yang memang putih menjadi tampak lebih bercahaya tapi entah kenapa raut wajahnya malah berubah menjadi sedih.
“Kazu, kamu kenapa?” tanyaku padanya yang sedang memandang lurus ke depan menghadap matahari yang masih menyinari kami dengan cahayanya yang lembut.
Tak ada jawaban apapun, aku pun akhirnya terdiam tak lagi menanyainya. Suasana jadi begitu sepi, area ini menjadi mirip kota mati tanpa penghuni. Yang membuatnya tampak hidup hanyalah sinar matahari dan langit senja yang berwarna oranye gradasi.
“Aku sedih Aika,” Tiba-tiba suara berat tapi kalem itu memecah keheningan di atas jembatan ini.
“Eh?” Aku hanya bisa merespon seperti itu.
“Aku sedih karena sebentar lagi kita harus berpisah,” kata Kazuki dengan nada suara yang berat dan terdengar sedih.