Hari ke-8 datang begitu cepatnya artinya waktuku bersamanya tinggal satu hari ini saja. Apa yang bisa kulakukan selain menahan air mata yang rasanya ingin terus mengalir membasahi hati yang tak bisa berbohong akan perasaan ini.
Dengan mata yang sama-sama membengkak dan wajah yang muram, kami berdua duduk berhadapan di kursi ruang makan bersama dengan okaasan yang duduk di sebelahku, Hideaki yang duduk di samping Kazuki, otousan di bagian tengah, dan Riku berbaring di kaki Kazuki. Memakan dengan menu yang hampir mirip setiap harinya, yaitu omelet buatanku yang bentuknya semakin bagus saja, potongan buah apel yang sudah lebih terlihat itu adalah apel, strawberry Jepang yang rasanya manis, jamur rebus, roti tawar, selai kacang, dan nori.
“Nande?” tanya Hideaki pada kakaknya dengan logat Jepangnya yang amat sangat kental dan suaranya yang berat serta besar.
Aku tak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka berempat setelah Hideaki menanyakan kenapa aku dan Kazuki bermuram durja. Menurut pendengaranku yang sudah akrab dengan bahasa mereka membuatku sedikit mengerti apa yang mereka maksud. Aku rasa mereka sedang menghujani omelan pada Hideaki yang sepertinya bertanya pada situasi yang tak tepat.
“Gomen,” kataku sambil menunduk dan memegang garpuku, suara yang memecah kegaduhan itu akhirnya membuat mereka berhenti bersuara dan melihat ke arahku.