Untuk terakhir kalinya dalam rangkaian perjalanan ini, aku berfoto dengan cowok Jepang pemilik wajah melankolis itu di depan pintu boarding room. Senyum terakhir yang entah kapan lagi bisa benar-benar kulihat setelah aku masuk ke dalam boarding room.
Di sela-sela kekosongan hati ini, aku merasakan ada sesuatu yang mengganggu daya kerja jantungku, rasanya air mata ini hampir menetes kembali.
Pukul 11 kurang 5 menit, banyak orang sudah mulai masuk ke dalam boarding room, begitu pun juga aku yang harus segera masuk ke dalam ruangan meninggalkan ruang tunggu ini dan yang pasti meninggalkan sosok lelaki berwajah sendu yang telah mengubah kehidupanku.
“Kazu...,” Aku memanggilnya tapi tak melanjutkan kata-kataku, rasanya ada yang mencekat di tenggorokan ini.
Cowok Jepang itu juga sama sekali tak berbicara, dia hanya memandang orang-orang yang masuk ke dalam boarding room lalu kembali memandangku yang berdiri tampak lebih kecil di hadapannya.
“Kazu, jaga dirimu baik-baik,” kataku berusaha tegar tanpa setetes air mata pun dan tanpa pikiran apapun lagi.
“Kamu juga harus jaga dirimu baik-baik di Indonesia,” katanya dengan wajah melankolisnya yang terlihat sangat sedih sekali dengan nadanya yang terdengar lirih tapi berusaha dikuat-kuatkan.
“Suatu hari nanti kita pasti bisa bertemu lagi,” kataku menutup pembicaraanku dengannya karena aku sudah tak sanggup lagi untuk berbicara apapun, aku tak ingin pingsan di tempat ini. Jujur, sekalipun hatiku terasa kosong dan hampa tapi aku tahu ada satu titik bagian di dalam hatiku yang benar-benar rapuh menerima semua ini.
Kazuki mengangguk tanpa senyum. Lalu dipeluknya aku di dalam pelukannya yang terasa amat sangat pedih. Tak pernah aku merasakan pelukan sesedih ini. Ini adalah pelukan perpisahan tersedih yang pernah aku rasakan selama aku hidup di dunia ini.
Aku benar-benar tak peduli dengan sekian ratus pasang mata yang memandang kami berpelukan di sekitar pintu boarding room. Yang aku tahu saat ini adalah seseorang yang aku sayangi akan segera berpisah denganku, dan itu benar-benar menyiksa setiap rongga dada yang mulai sesak ini dan mulai meracuni air mataku untuk keluar dari tempatnya.