Karena kehidupan yang tidak pernah diterima, tidak akan benar-benar bahagia.
***
Ada berapa banyak malam yang ku habiskan hanya untuk bertanya-tanya, memaki, menyesal, malas, menangis dan berpikir hal-hal tak masuk akal lainnya. Kau tahu aku berpikir untuk melawan dunia dengan kehidupan berantakan (jadwal tidur yang acak-acakan, tak pernah olahraga, makanan tak sehat dan tak punya teman), riuhnya kepala dan perasaan tak nyaman lainnya, aku menemukan banyak rasa marah dalam diri sekaligus rasa tak percaya di sana. Melelahkan sekali rasanya melawan dirimu sendiri saat kau tak punya apapun untuk di pertaruhkan.
Kau melawan jiwamu yang lelah dan kebingungan. Kau berbicara saat ia tak mengenali perasaannya sendiri. Betapa ironi ini kau putar berulang-ulang.
Perjalanan rumit ini, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Seolah Tuhan memang menciptakan banyak keretakan dan patahan menyakitkan untuk ku coba. Sebab, segalanya seperti pengulangan yang sama, labirin luka itu berputar dalam kepala dan terinjak kembali oleh kaki-kaki yang penuh duri.
***
"hal paling menakutkan di dunia ini adalah kehilangan diri sendiri." Kata Sea malam itu sembari mengelus debu-debu. Wajahnya lumayan pucat, macam gadis baru mens yang akan di jodohkan dengan pria tua demi hutang. Keresahannya kental sekali.
"Kita sudah kehilangan diri sendiri saat memilih menjadi orang lain." Lanjutnya, matanya meredup sayu. Ketara sekali kesedihan memoles kelopak matanya.
"Dan kita malah sibuk bertanya-tanya, menjadi malas dan menyebalkan." Aku bersuara dengan susunan origami warna-warni di tangan. Kemudian menyoroti bangunan tua yang dindingnya mulai terkelupas, menarik pulpen sebelum menuliskan sesuatu di sana. Mengabaikan keributan di kepala yang meronta-ronta. Serta melupakan perut yang berbunyi sebab belum di isi sedari pagi.
Memangnya harus dengan apa ku isi perut ini bila yang ada di atas meja adalah semangkuk tangisan hangat dan segelas penuh amarah.
"Mi, kalau di dunia ini hanya ada dua pilihan, antara suka atau benci sama diri sendiri, kamu pilih yang mana?" Sea bertanya, matanya yang sayu memancar sedikit pilu, sedang sebagiannya terlihat samar. Lagi, gadis itu bertanya setelah hening cukup lama, setelah membiarkan sunyi menguasai kami berdua.
"Aku suka diriku, walau terkadang ia menjadi pecundang dan idiot. Tapi, pilihan yang paling mungkin kupilih adalah aku akan tetap menyukainya sekali pun ia berlaga bagai manusia pengecut dan pembual, meski terkadang ia terlihat menyedihkan." meraih selembar kertas berwarna ungu, ku lipat menjadi dua sebelum kemudian ku taruh kembali.
"Well, ini adalah paradoks paling absurd. Tapi percayalah aku punya hubungan benci-cinta dengan diri sendiri. Aku mencintainya saat ia menjadi pribadi yang menyenangkan, ia tertawa dan melucu tapi aku membencinya saat rasa malas dan kebodohan bermain dalam kepala yang berisi keributan. Aku bahkan akan sangat bodoh sekali saat jatuh cinta. Terlalu lama kesepian bisa membuat seseorang menjadi sangat antusias untuk hal-hal kecil yang diberikan pria padahal itu bukanlah apa-apa. Aku meletakan balon harapan terlalu besar dan banyak. Kemudian ketakutan dan merasa paling terluka saat harapan itu meletus dan hancur."
Memutar pensil dengan malas, aku menyoroti Sea di depan sana yang tengah tertawa mencemooh. Sial, aku membenci wajahnya, saat mata itu, mata penuh luka dan penghakiman.
"Cinta ya? Lucu sekali. Kata itu seperti sinonim untuk kata sampah. Menjijikkan sekali rasanya melihat mu berbicara tentang jatuh cinta lagi setelah episode-episode menyedihkan itu terjadi. Kau tak butuh siapapun, sebab mereka hanya tahu bagaimana menyakitimu yang lugu itu. Kau hanya punya dirimu sendiri untuk dijadikan apapun dalam hidup." Ujar Sea tegas, matanya yang jenaka berubah sedikit merah, bagai wanita gila yang mabuk arak tua murah.
"Mereka tak akan menerimamu yang rumit dan rusak." Lanjutnya.