Sea, the only one friend

meliahalim
Chapter #9

Gembok berkarat, kunci bengkok dan penyesalan besar

Harapan adalah lilin yang kau nyalakan dalam gelapnya malam tetapi ia akan padam saat kau membiarkannya menghabisi seluruh jiwa.


***


Mimpi itu tidak pernah sampai. Aku meletakkan terlalu banyak khayal dalam tumpukan tinggi, terlalu tak idealis hingga mereka terjatuh satu persatu. Akhirnya aku benci mimpi-mimpi ku sendiri. Bentuk dari khayal yang ku usahakan hanya sampai pada garis kegagalan, tak menyentuh atau saling bersentuhan dengan kemenangan. Ambisi yang lenyap, hasrat yang entah hinggap di bahu siapa serta diri yang diam-diam tak mengenali apa sebenarnya yang di ingini.


Kataku malam itu pada dua ekor anak kucing peliharaan tetangga, aku melakukan dialog konyol dengan kucing, marmut dan terkadang anak kepiting yang ku ambil di sungai dekat rumah setelah Sea tak bisa di temui dan tak mau berbicara juga berbagi tulisan, maka hal yang bisa ku lakukan hanyalah berbicara dengan hewan-hewan. Menganggap mereka seolah manusia yang akan mendengarkan dan memahami sebagai mana seharusnya.


Kendati mereka semua tak bisa menjawab, setidaknya kata-kata itu tidak mengendap di kepala. Aku masih punya teman bicara, hanya dengan hewan-hewan ini aku tidak akan mendapatkan penghakiman tanpa dasar. Mereka tak akan memaki ku kala aku menjadi manusia egois dan mementingkan perasaan sendiri. Atau saat aku terlalu sering mengeluh, mereka --hewan kecil ini hanya akan menjawab dengan suara mereka masing-masing tanpa memandang ku sebagai manusia gagal.


Malam sudah larut tapi pikiran untuk terlelap tak ku temukan sedikit pun. Aku malah semakin tenggelam dalam mengingat masa lalu, aku meluapkan ocehan-ocehan dengan menyebut lebih banyak rasa sakit pada anak kucing yang bahkan masih menyusu (mereka bahkan belum bisa berjalan dengan baik), aku juga menjelaskan seluruh perasaan terluka yang semakin membesar pada seekor kepiting kecil yang hanya tahu mencapit dan merayap, juga mengatakan betapa kegagalan dan ketakutan ini mengurung ku tanpa lelah pada seekor marmut betina sensitif (yang selalu menghindar saat ku sentuh), kemudian dengan berbicara omong kosong seperti yang selalu Sea katakan tentang peri, hantu dan alien.


Aku selalu ingin tahu bagaimana cara yang tepat untuk hidup dengan duka, sebuah luka yang bahkan ia sendiri tak yakin bisa di sembuhkan, aku penasaran seperti apa cara yang tepat berteman dengan luka-luka seandainya ia terus bertambah banyak, sebanyak usia yang bertambah.


Aku juga ingin tahu bagaimana rasanya mereka hidup dengan mimpi yang mereka raih, seperti apa perasaannya saat mereka hidup seperti apa yang mereka bayangkan. Apa mereka juga punya rasa sakit saat meraih itu semua? Tapi sepertinya iya.


Sebab tidak ada manusia yang benar-benar hidup tanpa luka, mereka hanya mahir menutupinya.


***


(Origami merah)


Lihat selengkapnya