If you could see me cryin' in my room.
***
Seandainya kau mau membaca aku sekali lagi. Aku tidak akan keberatan melakukan pertukaran peran dengan yang lainnya.
***
Sea menghabiskan hari dengan berdiam diri, mendengar lagu-lagu keras, mengumpat dan sesekali mengerjap lelah. Ia tak ingin bertemu siapapun, tak juga ingin melakukan apapun. Hari-hari penuh kecemasan itu mengurungnya dalam balon udara besar menyesakan, sekali lagi dirinya di paksa menelan pil-pil raksasa berisikan ketakutan-ketakutan.
Ia mengunci mulutnya rapat-rapat, tidak dengan suaranya yang nyaring, tak juga dengan mengisikan perutnya. Ia menempelkan kemarahan, rasa cemas, putus asa, penyesalan dalam dinding kamarnya yang sempit dan berantakan. Ia menolak semua panggilan telepon, tak ingin membalas pesan siapapun selama hampir sepekan ini. Tubuh lelahnya dipaksa menerima banyak realita menyakitkan, kepalanya yang penuh perandaian pun kini pecah, hancur, selesai, tamat.
Ayah yang selama ini ia benci memilih melenyapkan diri, setelah menjalani hari-hari dengan Kegilaan, ayahnya malah memilih meninggalkannya dengan luka besar untuk putrinya sendiri. Betapa Sea merasa Tuhan senang mengujinya dengan sebenar-benarnya ujian. Betapa Sea kini dipaksakan melakukan peran besar mengahadapi badai yang berlalu-lalang.
Sea tak suka perasaan melankolis ini, rasa sesak dan penyesalan itu memburunya dengan cepat. Membuatnya bahkan tak bisa merasakan apapun, seharusnya ia meraung-raung dan menangis hingga air matanya habis, tapi yang gadis itu lakukan hanya berdiam diri dengan pandangan paling hampa sepanjang hari. Ia menutup mulutnya rapat-rapat saat orang-orang mulai bertanya dan terlihat peduli (bohongan : biasanya mereka hanya ingin tahu tanpa empati kemudian menyebarkannya dengan bumbu tambahan).
Nyatanya terlalu sering terluka membuat jiwa mu sulit mengenali perasaan yang sesungguhnya. Sama seperti Sea yang hanya mematung dan membisu tanpa di temani siapapun. Ia menolak orang-orang yang ingin merangkul dan bahkan memeluknya. Sea tak mau di sentuh siapapun, sebab gadis itu terlalu membenci orang-orang.
Tak ada lagi impian menyenangkan untuk jiwanya yang memakan kecemasan dengan lahap, tak ada binar mata saat menuliskan berbagai hal kesukaannya, tidak ada lagi suara tawa yang dilenyapkan lara. Sea bertarung dengan tubuh yang dipenuhi luka dan duka. Lidahnya terasa pekat sebab kesedihan membanjiri tenggorokannya.
Ia melewati badai-badai tanpa tepi seorang diri. Tanpa ingin ditemani. Perempuan itu berdiri paling tegak di saat orang-orang menunduk dengan air mata memenuhi pipi.
Dengan cincin imitasi pemberian sang ayah di tangan kiri, ia menekan habis seluruh kebencian yang tiba-tiba saja meluap-luap dan memenuhi rongga dada. Ini bukan waktu yang tepat. Bisiknya setengah memohon.