Aku adalah seorang anak perempuan, kakak, adik, tante, teman, saudara dan kekasih untuk orang lain, tapi yang lebih rumit dari itu semua siapa aku untuk aku sebenarnya?
Seorang anak perempuan dengan luka trauma, seorang kakak menyebalkan untuk adik satu-satunya, seorang adik yang terkadang tak terlalu dipedulikan bagi yang lainnya, seorang Tante untuk dua keponakannya, teman paling konyol dan lucu untuk beberapa orang saja, saudara untuk seseorang yang mengganggap nya atau seorang kekasih dari pria yang memang tetap mencintai setelah membaca seluruh bab dalam dongeng ini yang keseluruhan ceritanya adalah nyata.
Aku adalah pribadi yang terkadang kesulitan membaca setiap perasaan diri, aku adalah anak perempuan yang menyimpan dendam untuk ayah kandungnya sendiri dan seorang anak perempuan yang mengumpulkan banyak penyesalan untuk mama. Aku menjadi pribadi yang rumit sebab kecemasan yang menari-nari. Aku bisa sangat mengenali diri, atau bahkan tidak tahu apapun tentang jiwa-jiwa yang ada di dalamnya.
Khawatirku tentang banyak hal terlalu memenuhi isi kepala. Aku adalah manusia yang sedang menjalani peran dengan mengenali diri sendiri dengan sebaik-baiknya penerima dan perdamaian. Aku mencoret-coret jiwa dalam lautan penyesalan tanpa tepi, menuang banyak rasa frustasi hingga mereka menjadi sesuatu yang lebih liar dan pemberontak. Mereka jiwa-jiwa ku yang lainnya yang ku temukan saat menjalani hari-hari penuh kesusahan tak berkesudahan.
Aku mencoba menjalani hari dengan memperbaiki, mengumpulkan dan memantaskan diri untuk kehidupan di masa depan. Aku ingin Tuhan memberikan keindahan hidup, itu sebabnya aku membuang hal-hal buruk dalam hati. Salah satu cara berterimakasih pada Tuhan adalah dengan menikmati hidup ini bagaimana pun bentuk dan warna nya.
Berdamai dan menerima adalah perjalanan panjang dalam menyembuhkan luka-luka, tapi aku tau bila hidup dengan selalu mengingat luka tidak akan pernah menjadi ide yang baik. Memutuskan hubungan dengan trauma dalam waktu yang lama adalah proses paling realistis yang seharusnya manusia lakukan. Sekalipun hubungan itu tak bisa terputus dengan baik, setidaknya kita mencoba menerima bagaimana wajah trauma yang mendiami diri. Berteman dengan rasa sakit sepertinya bukan ide yang buruk.
Aku mungkin adalah indentitas berbeda untuk setiap manusia, tergantung bagaimana mereka mau melihatnya.
Menjadi bahasa berbeda tergantung bagaimana mereka menterjemahkan nya.
***
Saat SMP, aku pernah bercita-cita menjadi seorang pengacara (berharap punya banyak cincin permata dan ruko-ruko di ibukota). Aku berencana masuk fakultas hukum universitas negeri dan mengambil konsentrasi hukum perdata atau tata negara, aku ingin membantu siapa saja yang di rugikan dari hubungan antar manusia entah itu perkawinan, perceraian dan pembagian warisan. Juga mungkin antar pemerintah dan rakyat, betapa niat itu ku ulangi setiap hari.
Tapi aku baru sadar beberapa bulan sesudahnya bahwa aku benci aroma pengadilan, aku muak pada atmosfer busuknya yang selalu mengingatkan pada harapan yang tumbang. Pada keadilan yang bisa di jual. Pada hukum yang bisa di utak-atik bagi siapa saja yang berduit.