Sikap orang lain terhadap mu, menggambarkan seberapa jauh mereka bertemu dirinya sendiri.
***
Malam itu Ody tak tidur, ia menolak beranjak dari beranda depan. Ia menunggu bapak untuk pulang, sudah lama sekali Ody tak bertemu dengan bapak, ia ingat bagaimana bapak akan membawa sepotong kue coklat pemberian tetangga, kemudian membaginya menjadi potongan kecil agar seluruh penghuni rumah mendapatkan bagian, bapak akan melahap habis cerutunya yang bau minyak urut dihalaman belakang tanpa siapapun. Wajahnya yang jenaka akan sedikit membias air mata. Kadang Ody melihat bapak akan berpura-pura tertawa padahal tak ada apapun di sana. Hanya suara angin, dedaunan dan ayam tetangga.
Lalu pada pertengahan subuh Ody kecil yang manis akan meminta untuk diajak pergi ke surau dekat dari rumah mereka. Ody yang tak mengerti tentang hafalan doa diam-diam membuka mulut kecilnya tanpa suara mengikuti bagaimana bapak saat membacakan doa sebagai imam.
Ia akan menunggu sedikit lebih lama untuk bapak yang berzikir, untuk membantu membereskan karpet usang penuh kecoak dan laba-laba, atau untuk merapikan kitab-kitab yang sebagian kertasnya menguning dan bercampur air hujan.
Kemudian mereka akan pulang sembari tangan yang bertautan, bercerita tentang sepeda bapak yang penyok, pada sendal gadis itu yang warnanya memudar dan mengecil, untuk makanan-makanan aneh yang mereka lihat di layar kaca milik kepala desa, menegur siapa saja yang mereka lewati, saat itu pipinya amat merah sebab membiarkan tetangganya mencubit dan mencolek wajahnya yang ketus.
Bapak akan tertawa saja saat Ody kecil mulai risih dan kesal, gadis tanpa kuncir itu akan bersiap menangis bila saja bu Rimah--tetangga sekaligus gebetan bapak (kata orang-orang) menciuminya macam ingin menelan hidup-hidup. Seolah Ody adalah mochi rasa stroberi. Bu Rimah yang kelewat ramah itu tak pernah membiarkan pipi gadis itu tanpa kecupan darinya.
Kemudian saat mereka pulang ada ibu yang sedang duduk di bale tanpa siapapun dan tanpa apapun. Ibu tak suka bicara, ibu juga tak suka anaknya, itulah mengapa Ody kecil akan menunggu bapak pulang bahkan membiarkan tubuhnya kedinginan, dipenuhi bekas gigitan nyamuk atau untuk perut mungilnya yang kosong tanpa memakan apapun. Ia akan tetap diam, tak peduli pada teriakan-teriakan kakaknya yang tiba-tiba, sumpah serapahnya yang terkadang terdengar nyaring hingga rumah tetangga dan bantingan barang-barang butut milik mereka.
Ody kecil sudah berkelahi dengan berbagai peristiwa ganjil di dekatnya.
Tapi kini, sudah berapa lama Ody berdiam, bapak tak pernah pulang lagi sama seperti kemarin, kemarinnya lagi atau bahkan bapak tak pernah pulang sekalipun kalender di rumah ini sudah berganti, bapak menghilang, tak memberikan jejak apapun untuk Ody terima, tak juga memberi pesan. Tapi kata orang-orang, bapak kabur karena tak sanggup menemani istrinya yang gila serta anak-anaknya yang bahkan kurang waras. Tapi siapa memangnya anak bapak yang kurang waras? Seingatnya ia mendapat juara umum setiap tahun. Atau mungkin kakak lelakinya yang selalu bapak kurung di dekat kandang domba milik tetangga, ada kain yang mengikat kaki dan tangannya, sedari dulu bapak selalu melarang Ody untuk datang, hanya saat terpaksa gadis itu akan meletakkan sepiring nasi dengan lauk seadanya di dekat tubuh kakaknya yang sama-sama tak suka bicara macam ibunya. Tapi seingat Ody kakaknya pernah marah sedangkan ibu tidak, kakaknya pernah akan memukul kepala Ody sebab ada di gendongan bapak. Saat itu ibu hanya diam, ia menjadi penonton paling setia dan sunyi dirumahnya sendiri.
Kebisuan milik ibu yang gagal Ody pahami, kemarahan kakaknya yang tak bisa Ody mengerti dan suara tawa bapak yang terkadang menyakiti hati. Mereka kompak sekali bermain peran rumit di hadapannya yang bahkan belum bisa menghitung dengan benar.
Ody terlalu kecil untuk mengetahui bila hidupnya penuh keganjilan, seakan apapun yang bergerak di sekitar gadis itu tak nyata, sesak dan penuh duri, nyanyian duka itu berputar berulang kali di rumah mereka yang sempit dan kotor. Bingkai-bingkai kesakitan tak kasat mata itu menghiasi setiap dinding yang sebagian terkelupas dan kusam. Susunan luka itu berjejer manis di depan rumah mereka, tak pernah ada obrolan menyenangkan di sana layaknya sebuah keluarga. Nyanyian pengantar tidur hanya kebohongan orang-orang belaka, sebab gadis itu hidup dengan kebisuan menyeramkan, makian tanpa henti disepanjang mimpi-mimpinya berkelana.
Ibu tak pernah mengantarkan Ody kecil pergi sekolah atau mengaji, apalagi mengajarinya hitung dan membuat puisi, tak pernah pula berbicara selayaknya ibu-anak tetangga. Ody tak pernah melihat ibunya berbicara bahkan dengan bapak. Seingatnya bapak hanya akan berbagi tawa dan cerita dengan bu Rimah. Keganjilan yang ia abaikan, ia melupakan bagaimana kerlingan rindu milik bapak untuk bu Rimah, atau untuk pembicaraan mereka dalam suara pelan.
Pada tatapan ibu yang meredup, hentakan kakinya yang gusar dan lirihan tangis tertahan miliknya pada tengah malam, atau amukan-amukan sang kakak yang semakin hari semakin menggila. Ody kecil bergelut dengan manusia-manusia dewasa dan perasaannya yang kala itu gagal ia ketahui. Untuk cemoohan tetangga atau lemparan kalimat menyakitkan kala Ody kecil meminta bantuan mereka.
Lalu kini apa bapak tahu bila keduanya bahkan meninggalkan Ody tanpa pesan, Ody ditinggalkan sendirian tanpa memiliki sandaran. Tak memberikan kesempatan untuk sekedar berpamitan. Mereka kompak sekali menghukumnya karena selalu bertanya kemana bapak pergi. Ah, bukankah bapak pun tak berbeda, bapak berjanji akan pulang tapi saat Ody sudah remaja dan mendapatkan mens pertama pun bapak tak pernah ada, tak pernah kembali.
Mereka tak suka Ody, itu sebabnya mereka tak bertahan di sampingnya.
Bapak pergi bersamaan dengan bu Rimah yang tak ia lihat juga di kampung ini. Rasa kesat di lidah nya bercampur air mata saat pertanyaannya menghasilkan luka.
Waktu membawanya pada kehilangan-kehilangan besar, pada sisa tawa, cerita-cerita duka yang berkeliaran di atas kepala atau untuk mimpi-mimpi kecilnya yang berhamburan, terjatuh dan pecah.
Kehidupan ini seolah hukuman tanpa henti, formulasi cobaan tanpa tepi dan kesakitan yang berdenyut hingga nadi. Ody, hanya gadis biasa dengan cerita kelabu yang tercampur dalam warna penuh patahan menyesakkan.
Ia melukiskan hidup dengan tinta yang di ambil dari detak jantungnya, penuh rasa sakit, air mata dan seringkali Ody membuat banyak ilusi, perandaian bodoh tentang rumah yang hangat, dapur dengan aroma rempah sebab ibu memasak, tawa bapak di ruang tengah atau ocehan tak penting mereka. Menghabiskan malam panjang untuk banyak dongeng-dongeng tak masuk akal, elusan di kepala atau dekapan penuh cinta.
Pada realita memuakan ini yang Ody mengerti hanya, sebaris kalimat ; keluarga miliknya berantakan dan rusak. Keluarga miliknya tak sama, mereka aneh, rumit dan mengerikan.
Satu-satunya hal yang Ody miliki hanya hatinya yang coba ia lapangkan untuk menampung setiap duka. Pada kenangan pahit yang ia bawa, setumpuk penuh luka-luka. Semangkuk penuh potongan trauma dan sedikit sisa tawa. Itu pun terdengar menyedihkan di telinga.
Rumah ada di mana hati kita berada.
Katanya, sesaat gadis itu menemukan seorang wanita tua tengah membaca di sudut toko buku loak dekat tempat tinggalnya. Wanita tua aneh yang terkadang di jauhi orang-orang.
Wanita itu akan menghabiskan waktu sepanjang hari untuk buku-buku filsafat atau bahkan resep-resep kuno dalam bahasa Belanda yang tak banyak orang ketahui. Sesekali wanita itu akan mengajak nya berbicara, sayang Ody yang lugu memilih membisu.
Mereka menjadi terlalu sering bertemu, entah saat gadis itu akan pergi bekerja atau saat akan membuang sampah. Wanita tua itu ramah sekali, tersenyum hingga gigi-giginya yang raib terlihat. Terkadang gerakannya konyol sekali, seringkali wanita itu berbicara dalam lima bahasa : Indonesia, Belanda, Jerman, Jepang, dan mungkin dalam bahasa nenek-nenek sebab Ody tak pernah mengerti, tak juga bertanya.
Wanita yang bahkan tak Ody ketahui namanya, tak juga nomor unitnya. Tapi senang sekali memberinya catatan kecil dengan tulisan memenuhi kertas. Ody kesulitan membaca setiap huruf sebab wanita tua itu sedang sekali mencampurkan bahasa seolah aksara adalah resep-resep yang sering ia baca.