Kabut tebal menggulung dari dasar hutan, membungkus dunia jin dengan selimut suram yang belum pernah terlihat sebelumnya. Angin berbisik aneh, membawa aroma tanah basah bercampur bara dan darah lama. Dunia jin tidak sedang dalam keadaan biasa—dan setiap makhluk yang menghirup udara pagi itu tahu… sesuatu telah berubah.
Sudah ribuan tahun segel itu terpasang. Namun, tak ada yang tahu bentuknya, tak ada yang tahu letaknya. Bahkan generasi jin sekarang pun banyak yang menganggapnya sekadar mitos yang diceritakan para leluhur untuk menakut-nakuti anak keturunannya, atau sebagai dongeng pengantar tidur saja.
Namun hari itu… semuanya berbeda.
Langit yang biasanya redup—berwarna biru tua—kini menghitam. Awan-awan berat menggantung rendah, nyaris menyentuh puncak-puncak pohon hutan raksasa. Dan dari dasar bumi, aliran energi tua—yang pernah terkubur dalam—mulai bangkit, mengalir seperti arus magma yang tak terlihat.
Di antara semak dan akar pepohonan tua, makhluk kelas rendah — jin kecil—berlari ketakutan. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Tapi mereka merasakannya: semacam dorongan liar dalam tubuh mereka, amarah yang mendidih tanpa sebab, keinginan untuk berkuasa… untuk menghancurkan.
Dan di tengah pusaran energi baru yang muncul itu—dua sosok berdiri, saling menatap dengan mata membara.
Wowo.
Besar, mengerikan, tubuhnya seolah terbuat dari batu yang terbakar, berlapis bulu-bulu hitam lebat, pekat, dengan aura api merah kehitaman menyelimuti tiap jengkal tubuhnya. Matanya merah menyala—bukan karena marah, tapi karena adanya luapan energi dari dalam tubuhnya sendiri. Palu besarnya tergenggam erat di tangan kanan, berdenyut seperti jantung yang lapar.
Tak jauh dari sana, berdiri sosok lain yang kontras.
Poci.
Lebih ramping, lebih tenang, mengenakan baju putih pudar, dengan ikat kepala yang melayang pelan dalam angin. Menggenggam dua pedang pendek: yang satu, biru terang seperti cahaya rembulan di langit malam—yang lainnya, jingga menyala seperti mentari siang yang menyengat panas. Matanya kuningnya berkilau tajam namun tak meledak. Ia tak marah. Tapi ia bersiaga. Aura petir biru menyelimuti tubuhnya, dalam gelombang halus namun penuh tegangan.
Keduanya berdiri dalam keheningan. Tak satu pun dari mereka berbicara.
Namun di dalam hati masing-masing… bergemuruh.
“Aku yang paling layak memimpin dunia Jin?”
Pikiran-pikiran itu bukan bisikan asing. Tapi hari itu, dorongannya… terlalu kuat. Seolah suara dari dalam diri mereka sendiri berteriak—mendesak untuk dituruti.
Wowo mengangkat palunya perlahan. Tanah di bawahnya retak, membentuk jalur api kecil yang menyebar ke segala arah.
“Aku nggak mau banyak omong,” geramnya, suaranya berat dan serak seperti batu digerus api.
“Aku yang akan berkuasa...!”
Poci masih diam. Ia tahu ini bukan sekadar pertarungan kekuatan. Ini… semacam panggilan. Ujian. Dan ia tidak bisa menolak.
“Kalau itu yang kau yakini…” jawabnya tenang, tangan memegang kedua pedangnya lebih erat.
“Maka buktikan saja!”
Ledakan aura terjadi tanpa aba-aba. Wowo menghentakkan palunya ke tanah—semburan magma keluar dari celah, membakar pohon-pohon raksasa di sekitarnya. Poci melompat cepat, tubuhnya menghilang sekejap dan muncul di belakang Wowo—tebasan pedang birunya menyalak, hampir mengenai bahu sang raksasa.
Namun Wowo membalik, palunya menyapu udara dan menghantam pedang jingga Poci. Dentuman keras terdengar, disertai kilatan api dan petir yang bertabrakan.
Dunia jin bergetar.
Mereka bukan hanya dua makhluk yang bertarung—mereka adalah simbol. Dua pemimpin dari dua klan besar yang selama ini menjaga batas damai dalam dunia yang liar dan tidak pasti.
Tapi damai itu tidak dibangun atas kesadaran…
Kedamaian yang hanya diwariskan...
Melalui segel—yang bahkan tidak lagi dipercaya oleh bangsa jin generasi ini.
Segel yang kini tak lagi menahan.
Pertarungan semakin sengit.