Langit belum berubah.
Masih gelap. Masih berat. Tapi tidak sehitam sebelumnya. Cahaya kemerahan dari semburan lava di bawah membuat awan tampak bergoyang, seolah dunia jin bernapas dengan kepanikan yang tertahan.
Tanah penuh retakan dan lubang api. Pohon-pohon raksasa yang dulu berdiri angkuh kini jadi arang hitam. Angin membawa serpihan dedaunan gosong yang melayang seperti abu perang.
Dan di tengah medan yang hancur itu—dua sosok masih berdiri.
Wowo dan Poci.
Dada terangkat turun, napas berat, tubuh penuh luka dan debu. Tapi tidak ada yang mundur.
Aura mereka justru semakin menggila.
Wowo, dengan tubuh besar dan bara yang menyelimuti kulit berbulu kasarnya, kini memancarkan api dari punggung dan bahunya. Setiap gerakan kecilnya membakar udara, membuat medan di sekelilingnya kering kerontang.
Sementara Poci… tidak sekadar bergerak cepat. Tubuhnya seperti bayangan petir. Setiap langkah teleportasinya menciptakan celah dimensi kecil di udara—jejak petir biru yang meletup sesaat sebelum hilang.
Keduanya saling pandang lagi.
Tapi kali ini… tidak ada dialog.
Yang berbicara… adalah ambisi.
Sesuatu di dalam tubuh mereka terus mendorong, memaksa, memanas. Seolah pertarungan ini bukan sekadar keinginan… tapi kebutuhan. Dorongan yang muncul begitu saja, liar dan tak terbendung.
Wowo menggeram. Suara rendah seperti gemuruh.
Tanah di bawahnya retak lagi.
DUAAR!
Palu besarnya menghantam tanah. Pilar magma menyembur ke atas seperti naga api, menelan langit. Poci menghindar, teleportasi mendadak ke sisi kanan—tebasan cepat dengan pedang birunya.
Wowo berbalik, menyambut dengan pukulan horizontal. Palu dan pedang bertabrakan lagi—percikan energi menyebar ke segala arah.
CLANGGG!
Suara dentuman mereka menggetarkan lembah.
Dan getaran itu… merambat jauh.
-----
Di tempat lain…
Beberapa jin dari klan lain mulai menyadari. Dari balik celah-celah bebatuan, di balik sungai dan akar pohon tua—mereka menengadah.
“Energi ini…” bisik seorang jin tua dari barisan Bayangrawa.
“Ini… bukan kekuatan biasa.”
Salah satu pengawal muda dari Baranaraka menggenggam tombaknya, keringat dingin menetes.
“Apakah… dunia ini akan berakhir?”
Tapi tak ada yang menjawab.
Karena semua tahu, mereka sedang menyaksikan kelahiran kembali sifat asli bangsa jin.
-----
Kembali ke medan pertarungan.
Wowo melompat—BOOM!—tanah di bawahnya meledak, tubuh besar itu melayang beberapa meter di udara, palu diangkat tinggi-tinggi dan menghujam ke arah tanah.
Poci sudah lenyap dari tempatnya.
Teleportasi…
Muncul di udara…
Dua pedang bersilangan—membentuk salib cahaya biru-jingga—dan langsung menebas ke arah tubuh Wowo.
Darah menyembur.
Wowo berteriak marah, bukan kesakitan. Justru… ia tertawa.
“HAAAH!! GITU DONG, PO-CIL!!”
“Buat lebih PANAS!!”
Tubuhnya diselimuti semburan api lagi, luka di dada kiri langsung ditutup bara panas yang menyatu seperti logam cair.
Poci mendarat ringan, tetap diam.
Tapi matanya… membara. Aura biru makin kuat, dan suara petir terus mendengung di udara.
Tubuhnya melesat lagi.
Wowo menyambut.
Clash! Clash! Clash!
Serangan demi serangan bertabrakan. Pedang dan palu. Petir dan api.
Tidak ada yang mau berhenti. Tidak ada yang mau kalah.
Bukan karena benci.
Tapi karena mereka sama-sama percaya…
MEREKA LAH YANG PALING LAYAK MEMIMPIN DUNIA JIN.
Kabut tak lagi menutupi medan.
Pertarungan antara dua penguasa klan besar telah mengoyak hutan rimba, membakar udara, dan mengubah tanah menjadi medan tandus penuh retakan. Wowo berdiri dengan dada membusung, napas berat, tubuhnya masih menyala seperti bara. Di sisi lain, Poci bersandar sejenak di batu besar, pelipisnya berdarah, namun tatapannya tetap tenang, terfokus.
Mereka belum berhenti.
Karena di dada masing-masing, bara itu masih menyala.
Bara yang menyulut… ambisi.
Dan dunia jin… masih jadi taruhannya.
BOOM!
Wowo berlari maju, tanah bergetar tiap langkahnya. Palu api raksasa di tangannya diseret membentuk jejak bara panjang, lalu dihentakkan ke arah Poci. Udara mendesis, magma muncrat dari tanah!
Poci berputar, teleportasi ke belakang Wowo—pedangnya menyalak, menebas cepat ke arah sisi kiri tubuh sang raksasa.