Sinar matahari lembut menyelinap melalui celah-celah tirai di kamar kamu, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di atas tempat tidur, kamu terbaring dalam keheningan. Wajahmu tampak tenang, seolah tak terganggu oleh hiruk-pikuk dunia di luar. Namun, di balik kelopak matamu yang tertutup rapat, sesuatu yang mencekam sedang berlangsung. Alismu berkerut, napasmu berubah cepat, dan tubuhmu yang semula tenang mulai bergerak gelisah. Kepalamu bergoyang ke kiri dan kanan, seolah berusaha melarikan diri dari sesuatu yang menakutkan.
Keringat mulai menetes di pelipismu, meskipun udara dingin dari pendingin ruangan memenuhi kamarmu. Mimpi itu semakin menguasaimu, membuat jiwamu tak tenang, hingga akhirnya—
Drrtt... Drrtt...
Suara dering ponsel yang tiba-tiba memenuhi ruangan langsung menghentikan semua. Dengan tersentak, kamu terbangun, duduk tegak di tempat tidur. Dadamu naik turun dengan napas yang memburu, keningmu basah oleh keringat dingin. Matamu yang masih diliputi kantuk perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya yang memenuhi ruangan. Kamar itu sepi, hanya dering ponsel yang masih bergetar di nakas di samping tempat tidurmu.
Perlahan, kamu meraih ponselmu dengan tangan yang sedikit gemetar, jantungmu masih berdegup kencang akibat sisa-sisa mimpi buruk yang belum sepenuhnya hilang. Nama Reiner tertera di layar, membuat dadamu terasa semakin sesak. Kamu mengangkat telepon itu ke telinga dan berusaha menguasai diri.
“Halo, Reiner?” Suaramu bergetar, terdengar sedikit panik, tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang masih melingkupimu.
Di ujung sana, suara Reiner terdengar tenang namun penuh kekhawatiran. “Iya, Rain. Ini aku. Kamu kenapa? Suara kamu kok kayak orang ketakutan?”
Kamu menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Namun bayangan mimpi itu masih jelas tergambar di benakmu—sebuah mimpi yang begitu nyata, begitu menakutkan, dan yang paling buruk, berpusat pada Reiner. Matamu terpejam sejenak, berusaha menyingkirkan rasa cemas yang kembali menyergap.
“Aku... aku mimpi buruk, Rei,” ucapmu pelan, suaramu terdengar rapuh.
“Mimpi buruk? Tentang apa?” Reiner bertanya, nadanya lembut namun serius.
Kamu menggigit bibirmu, seolah mencari kekuatan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Tenggorokanmu terasa kering, hatimu berdebar lebih cepat dari biasanya. “Tentang kamu,” bisikmu, hampir tak terdengar.
Di seberang sana, ada jeda sejenak. Reiner terdiam, mungkin terkejut. Kamu menundukkan kepala, tangan kirimu menyeka keringat di dahimu, sementara pikiran-pikiran buruk dari mimpimu terus menghantuimu. Dalam mimpi itu, kamu melihat Reiner pergi, meninggalkanmu, hilang dalam kegelapan yang tak bisa kamu jangkau.
***
Beberapa hari kemudian...
Malam itu, taman tampak sunyi, diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Hanya bayangan pohon-pohon yang memanjang di sepanjang jalan setapak, menari-nari dalam cahaya redup. Dalam keheningan, suara air mancur mengalun lembut, mengisi kekosongan malam. Kamu melangkah perlahan menuju air mancur, langkahmu hampir tak terdengar di tengah desir angin yang berhembus pelan. Ketika sampai di dekat air mancur, kamu berhenti, berdiri di sana dengan rasa gelisah yang jelas terlihat di wajahmu.
Kamu menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok yang tak kunjung muncul. Raut wajahmu mulai menegang. Dengan gelisah, kamu merogoh tasmu, mengeluarkan ponsel, dan mencoba menelepon. Namun, tidak ada jawaban. Kekhawatiranmu semakin mendalam, tampak jelas di raut wajahmu yang kini mulai cemas.
“Reiner ke mana, sih?” gumammu dengan nada frustrasi, suara itu menyatu dengan kesunyian malam. “Katanya udah mau sampai.”