Seandainya Waktu Bisa Berputar

Rika Kurnia
Chapter #3

Hilang Kabar

Seminggu telah berlalu sejak kejadian di hotel, dan perasaan tidak nyaman yang menggelayuti kamu tidak pernah surut. Malam ini, di kamar yang biasanya terasa hangat dan akrab, udara mendadak terasa pengap. Jam dinding berdetak pelan, namun bagi kamu, setiap detak terasa seperti suara yang memekakkan telinga, seolah-olah mengingatkanmu pada waktu yang terus bergerak tanpa memberikan kabar dari Reiner.

Kamu terus mondar-mandir di depan ranjang, langkah-langkah kecilmu penuh kecemasan, membuat lantai kamar yang dingin seolah menyerap seluruh kegelisahanmu. Matamu melirik ke layar ponsel yang digenggam erat, berharap ada tanda-tanda kehidupan dari Reiner. Namun layar ponselmu tetap bisu, kosong, hanya menampilkan wallpaper kalian berdua—sebuah foto di pantai, saat kalian tertawa bahagia di bawah sinar matahari. Betapa jauh perasaan itu kini.

Berulang kali kamu mencoba menghubungi Reiner. Setiap panggilan yang kamu lakukan berakhir dengan suara monoton voicemail yang semakin memperdalam rasa putus asamu. Pikiranmu dipenuhi dengan skenario terburuk. Apakah sesuatu telah terjadi pada Reiner? Kecelakaan? Apakah dia terluka di suatu tempat, tak mampu menghubungi siapa pun? Namun, jika memang begitu, mengapa tidak ada kabar dari rumah sakit atau polisi? Atau mungkin—sebuah kemungkinan yang paling menyakitkan—Reiner sengaja menghilang?

Kamu menggigit bibirmu, cemas, rasa takut merayapi dirimu, melampaui logika yang selama ini kamu coba pegang erat. Kamu mengenal Reiner sebagai pria yang penuh perhatian, yang tidak pernah meninggalkanmu tanpa kabar. Namun sekarang, semuanya berbeda. Dalam dua minggu, kalian seharusnya berdiri di altar, mengucapkan janji suci di depan keluarga dan teman-teman. Semua persiapan pernikahan hampir selesai, tinggal beberapa hal kecil yang perlu dipastikan. Namun, sejak kejadian di hotel, Reiner seakan menghilang dari hidupmu.

Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipimu. Kamu akhirnya menghentikan langkahmu dan duduk di ujung ranjang. Kedua tanganmu yang menggenggam ponsel kini gemetar. Kamu melihat lagi layar ponselmu—foto kalian berdua di pantai itu. Sinar matahari memantulkan kebahagiaan di wajah kalian, seolah-olah masa depan yang cerah dan penuh harapan terbentang di depan kalian. Kini, masa depan itu terasa seperti bayangan yang jauh dan tak terjangkau.

"Kamu di mana, sih, Rei?" bisikmu, suaramu lemah dan serak, hampir tenggelam di tengah sunyi kamar yang seakan menuntut jawabannya.

Kamu membuka kembali pesan-pesan terakhir dari Reiner. Percakapan terakhir kalian, dua minggu lalu, hanya berisi obrolan ringan tentang menu tester untuk hari pernikahan. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Semuanya terasa begitu normal saat itu. Tapi kini, apa yang tampak normal itu berubah menjadi kekosongan yang menyelimuti hatimu.

Kamu menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berpikir lebih jernih. Mungkinkah Reiner hanya butuh waktu sendiri? Mungkin ada sesuatu yang terjadi di pekerjaannya yang membuatnya tidak bisa dihubungi? Namun, jika memang begitu, mengapa dia tidak memberi tahu? Mengapa membiarkanmu tenggelam dalam kecemasan seperti ini?

Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalamu, tidak ada satu pun jawaban yang muncul. Kamu merasa terjebak di dalam ruang hampa—ruang di mana hanya ada ketidakpastian dan kecemasan yang membayangi. Kamu ingin berteriak, mengeluarkan semua perasaanmu, tapi suara itu tertahan di tenggorokanmu, menyesakkan dadamu.

Di malam yang begitu sunyi ini, kamu menyadari bahwa hidupmu yang dulu terasa begitu teratur dan pasti kini telah berubah menjadi teka-teki yang menakutkan. Tepat dua minggu lagi, kamu seharusnya menikah dengan pria yang kamu cintai. Namun saat ini, yang ada hanyalah rasa hampa yang semakin dalam. Ketidakpastian yang menumpuk membuat malam-malammu terasa lebih panjang dan penuh dengan rasa khawatir.

Dalam hati kecilmu, kamu berdoa. Berdoa agar Reiner baik-baik saja. Berdoa agar semuanya kembali seperti semula. Tapi lebih dari itu, kamu berdoa agar semua kekhawatiranmu hanyalah mimpi buruk yang segera berlalu. Namun untuk saat ini, kamu hanya bisa menunggu—menunggu kabar, menunggu penjelasan, dan menunggu jawaban yang seolah tak pernah datang.

Dan malam itu terasa semakin panjang, seiring dengan hatimu yang kian dirundung keraguan dan kesedihan.

***

Pagi itu, ruang tamu rumahmu terasa sangat berbeda dari biasanya. Matahari pagi menembus jendela, menyapu ruangan dengan cahaya lembut yang mencoba mengusir bayang-bayang ketidakpastian yang menggelayutimu. Ayah dan ibumu, Rudi dan Rita, duduk di sofa dengan santai sambil berbincang dengan seorang pria yang tampaknya baru mereka kenal. Pria itu tampak asing, tapi ada sesuatu di wajahnya yang terasa familier.

Kamu menuruni anak tangga dengan langkah hati-hati, berusaha keras untuk mengingat di mana kamu pernah melihat pria itu. Setiap langkah terasa penuh ketegangan, seakan-akan lantai rumah yang dingin ini menyerap setiap butir kegelisahanmu. Ketika kamu mencapai ruang tamu, kamu menemukan Radit, pria yang duduk di sofa dengan ekspresi santai namun penuh karisma. Radit memandang ke arahmu dan tersenyum ramah—sebuah senyum yang seolah menembus tirai ketidakpastian yang menggelayutimu.

Senyum itu langsung menarik perhatianmu, membuatmu merasa ada yang tidak biasa dengan situasi tersebut. Rita, yang duduk di sebelah Radit, menyadari kedatanganmu dan menoleh dengan penuh perhatian. Ada keleluasaan dalam pandangannya, seolah ia sedang menunggu momen ini dengan penuh harapan.

Lihat selengkapnya