Seandainya Waktu Bisa Berputar

Rika Kurnia
Chapter #4

Berusaha Mencari

Di dalam mobil yang melaju cepat di bawah terik matahari siang, kamu duduk di kursi penumpang dengan tubuh bergetar oleh kegelisahan. Radit, di kursi pengemudi, menggenggam setir dengan erat, ekspresinya menunjukkan kemarahan yang tersimpan. Kamu terus meliriknya, mencoba menangkap sedikit rasa empati atau setidaknya pengertian di wajahnya yang tegang.

"Emang enggak bisa kamu bantuin saya kali ini aja?" tanyamu, nada suara yang penuh harapan dan sedikit putus asa. Setiap kata tampaknya berusaha melawan rasa cemas yang menggelayuti hatimu.

Radit, dengan ekspresi yang semakin mengerut, menjawab dengan nada yang tegas dan penuh frustrasi, "Barusan saya udah bantuin kamu."

Kamu menatapnya dengan bingung, "Bantuin apaan?"

"Bawa kamu keluar rumah dengan berbohong kalau kita mau lunch," Radit menjelaskan, suaranya penuh amarah yang tidak bisa ia sembunyikan. "Tapi tahunya? Kamu malah ngajak saya ke rumah calon suami kamu."

Wajahmu meringis kecil, rasa bersalah dan penyesalan tampak jelas. "Ya, maaf kalau soal itu. Tapi, coba deh bayangkan posisi saya. Sebentar lagi saya mau nikah, tapi calon suami saya tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Dan yang lebih menjengkelkan, saya tidak bisa mencarinya karena alasan yang konyol."

Radit terdiam sejenak, matanya melirik kamu dengan penuh rasa ingin tahu. Dia melihat ketidakberdayaan yang menghiasi wajahmu. Napasnya terdengar pelan, seperti angin yang menenangkan, menahan rasa iba yang perlahan muncul di hatinya.

Dalam keheningan mobil yang hanya dipecahkan oleh deru mesin, kamu merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Setiap detak mesin seperti menggambarkan ketidakpastian dan tekanan yang kamu rasakan. Kamu berharap perjalanan ini akan membawa jawaban atau setidaknya sedikit kelegaan dari rasa cemas yang menghantui. Namun, seiring dengan setiap kilometer yang berlalu, kamu tidak bisa menghindari perasaan bahwa situasi ini semakin menjauh dari harapanmu.

Radit, yang sebelumnya tampak marah, mulai mengumpulkan dirinya, mencoba memahami betapa besar stres dan frustrasi yang kamu rasakan. Suasana dalam mobil mulai sedikit berubah, meskipun masih dipenuhi dengan ketegangan, ada rasa empati yang perlahan muncul di antara kalian berdua. Kamu bisa merasakannya—sebuah pengertian yang, meskipun tidak diucapkan, memberikan sedikit dorongan untuk melanjutkan perjalanan ini dengan harapan yang semakin redup.

Dalam keheningan yang mengisi sisa perjalanan, kamu berharap untuk menemukan jawaban atau setidaknya sedikit pencerahan. Semoga, di ujung perjalanan ini, ada sebuah penjelasan yang bisa mengakhiri kegelisahan yang sudah terlalu lama menghantui hidupmu.

***

Pemandangan dari balkon villa, di mana kamu berdiri, menampilkan panorama yang menyapu jiwa. Pegunungan yang megah menjulang di kejauhan, diselimuti oleh taburan lampu kota yang berkelip seperti bintang yang terhampar di bawah langit malam. Pemandangan ini, yang biasanya menenangkan dan menyejukkan, kini terasa seperti kontras tajam dengan ketegangan yang menggelayuti hatimu.

Di pinggir balkon, kamu berdiri sendirian, tatapan kosongmu menyapu luasnya pemandangan yang membentang di bawah. Wajahmu, biasanya penuh percaya diri, kini tampak murung dan cemas. Perlahan, matamu mulai memerah, air mata menggenang di sudut-sudutnya, seolah siap untuk menetes, menandai beban emosional yang engkau bawa.

Lihat selengkapnya