Kamu melompat keluar dari mobil dengan gesit, seolah waktu melawan ritme langkahmu yang tergesa-gesa. Dalam setiap langkahmu menuju gerbang rumah Reiner, ketegangan terasa menempel pada setiap gerakanmu. Jari-jari tanganmu bergetar saat kamu menekan bel berkali-kali, bunyi bel yang keras membahana di udara, namun tidak direspons. Setiap denting bel menjadi semakin menjerat hatimu dengan ketidakpastian, dan matamu terus menatap gerbang dengan penuh harapan, seolah berharap pintu akan segera terbuka.
Frustrasi mulai merayap ke dalam dirimu ketika kamu menyadari tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang di balik pintu. Dalam keadaan hampir putus asa, kamu merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel yang terasa berat di tanganmu. Kamu mencoba menghubungi nomor Reiner, tetapi setiap panggilan hanya menghasilkan nada dering kosong, seolah suara hatimu yang tertekan hilang dalam hampa. Nomor tersebut tampaknya tidak aktif, atau mungkin tidak ada sinyal yang menjangkau.
Tiba-tiba, dari arah belakang, seorang wanita bernama Bik Cici muncul. Ia tampak kelelahan dengan daster sederhana yang membungkus tubuhnya, membawa kantung plastik berisi belanjaan. Wajahnya menunjukkan keletihan, namun senyum ramah yang terukir di bibirnya membuatnya tampak seperti oase di tengah kekacauan hatimu.
"Non Raina?" tanyanya dengan nada penuh keheranan, tatapannya melayang antara rasa lelah dan kekhawatiran.
Kamu berbalik dengan rasa lega ketika melihat Bik Cici. "Bik Cici? Syukur deh, ada Bik Cici. Reiner ada di dalam, kan? Kok udah beberapa hari ini, dia enggak bisa saya hubungin ya?"
Wajah Bik Cici berubah bingung, matanya menunduk sejenak seolah mencari kata-kata yang tepat. Keringat kecil mulai membasahi dahinya, menambah kesan ketidaknyamanan di wajahnya.
"Anu, Non. Soal Mas Reiner ...." Bik Cici mulai dengan suara yang penuh keraguan, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya menjadi beban berat.
Kamu semakin cemas, setiap detik terasa seperti beban yang menekan. "Reiner kenapa? Dia baik-baik aja, kan?"
Bik Cici tampak semakin bingung, kesulitan untuk memberikan jawaban yang memadai. "Maaf, Non. Bibik enggak tahu di mana Mas Reiner."
Kemarahanku memuncak, bersama dengan rasa kecewa yang membakar hatimu. "Lho, kok bisa enggak tahu? Kan selama ini cuma Bik Cici yang tinggal sama Reiner. Bik Cici gimana, sih?"
Rasa ketidakpastian meliputi Bik Cici, membuatnya terlihat semakin takut. Kamu berdiri di sana dengan frustasi yang memuncak, napasmu berat dan tak teratur. Dengan segala upaya untuk tetap tenang meski jiwamu terguncang, kamu mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri.
"Kira-kira Reiner ke Bandung enggak? Ke tempat mamanya?" tanyamu dengan nada putus asa, seolah berharap pada jawaban yang mungkin tidak ada.
Bik Cici menggelengkan kepalanya perlahan, ekspresi di wajahnya menunjukkan ketidaktahuan yang sama. "Emmm ... Bibik juga kurang tahu, Non."
Dengan tatapan kosong yang menatap jauh ke depan, kamu berdiri di depan gerbang, hatimu terbelah antara kebingungan dan kekhawatiran. Pikiran dan perasaanmu bercampur aduk, terjebak dalam ketidakpastian yang semakin membebani dirimu. Sementara Bik Cici melanjutkan langkahnya dengan perlahan menuju rumah, meninggalkanmu dengan rasa frustasi yang mendalam dan ketidakpastian yang semakin menyelimuti jiwamu.
***
Kamu duduk di kursi penumpang mobil, tatapanmu kosong, mata terpaku pada jalanan yang berlalu cepat di luar jendela. Seolah dunia di sekelilingmu menjadi blur, pikirannya melayang jauh melewati kabut kebingungan dan kekhawatiran yang membelenggu hatimu. Setiap detik yang berlalu tampaknya semakin menambah beban yang menghimpitmu, dan wajahmu memancarkan kesedihan yang mendalam.
Di sebelahmu, Pak Dodi, pria berusia 45 tahun yang telah lama bekerja di rumahmu, menyetir dengan penuh konsentrasi. Wajahnya tampak tenang, namun ada ketegangan yang tersirat dalam gerakan tangannya saat memegang kemudi. Sesekali, dia melirik ke arahmu melalui kaca spion, memperhatikan ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahmu.
Mobil melaju melewati jalanan yang sepi, suara mesin kendaraan mengisi keheningan di dalam kabin. Pak Dodi tetap fokus pada jalan, sesekali menyesuaikan arah dengan lembut. Keduanya terdiam, terjebak dalam dunia pikiran dan perasaan masing-masing.
Kamu menghela napas berat, mencoba menenangkan diri. Namun, setiap kali kamu menoleh ke luar jendela, gambaran jalanan yang terus berubah hanya menambah rasa cemas yang menggerogoti hatimu. Pikiran tentang Reiner, ketidaktahuan tentang keberadaannya, dan rasa frustrasi yang belum juga mereda terus menghantui.
Tujuh tahun yang lalu, koridor sekolah tampak hidup dengan aktivitas para siswa yang berlarian dan berbicara dengan riang. Suara mereka berbaur dalam keramaian, menciptakan suasana yang penuh semangat. Di tengah-tengah kerumunan itu, kamu berjalan sendirian, langkahmu tenang di tengah hiruk-pikuk.
Tiba-tiba, jalanmu terhalang ketika Reiner muncul di depannya, merentangkan kedua tangannya dengan lelucon yang penuh percaya diri. Reiner tersenyum lebar, ekspresinya menunjukkan kegembiraan yang menular.