Seandainya Waktu Bisa Berputar

Rika Kurnia
Chapter #6

Keraguan

Malam itu, gerbang rumah keluarga kamu berderit pelan saat didorong terbuka. Angin malam yang dingin menyambut langkahmu yang tergesa, seperti menyentuh pipimu dengan bisikan gelap yang mengingatkan akan sesuatu. Sepatu ketsmu menginjak jalan setapak dengan irama yang tidak stabil, mencerminkan kegelisahan yang membara di dalam hatimu. Di belakangmu, kedua orang tuamu baru saja keluar dari mobil. Mereka berdiri di depan gerbang, diam dalam sorotan temaram lampu halaman.

Ibumu, Rita, memandangmu dengan sorot mata yang penuh kecemasan, seolah mencoba membaca isi hatimu yang tertutup rapat. Di sisi lain, ayahmu, Rudi, berdiri dengan sikap yang lebih tenang, meski matanya tidak pernah lepas darimu. Ia seperti pengamat sunyi, menyimpan kekhawatirannya dalam-dalam, namun tetap berjaga.

“Kamu mau ke mana malam-malam begini?” Suara ibumu terdengar, lembut namun dipenuhi getar kekhawatiran yang tidak mampu ia sembunyikan.

Kamu menghentikan langkah, berbalik sedikit, cukup untuk melihat wajah ibumu. Di bawah sinar lampu yang remang, kamu menatapnya dengan tatapan yang dipenuhi tekad, kuat, dan tidak bisa digoyahkan. “Ke rumah Nana, Ma,” jawabmu. Suaramu terdengar rendah namun jelas, memotong udara malam seperti pedang yang tajam.

Ibumu mengerutkan alis, ragu-ragu. “Kan bisa lewat telepon. Ada perlu apa sih yang sampai harus keluar malam begini?” tanyanya lagi. Kalimat itu terdengar seperti permohonan, seolah ia berharap kamu berubah pikiran.

Namun kamu menggeleng pelan. “Rain cuma mau nanya sesuatu sama Nana, Ma. Takut enggak jelas kalau lewat telepon,” katamu. Ada nada lembut dalam suara itu, tetapi tetap tegas, menyiratkan bahwa keputusanmu sudah final. “Udah ya, Ma. Nanti Nana keburu tidur.”

Kamu tidak memberi ruang untuk diskusi lebih jauh. Dengan langkah cepat, kamu meninggalkan mereka di belakang, melewati jalan setapak yang berujung pada gelapnya malam. Angin kembali berembus, membawa harum samar bunga melati dari taman kecil di halaman.

Rita menatapmu yang semakin menjauh, tubuhnya tegang seolah ingin mengejarmu, menahanmu, namun langkahnya tertahan oleh tangan Rudi yang terangkat perlahan. “Udah, biarin, Ma,” kata Rudi dengan nada menenangkan. “Paling mereka cuma ngobrol biasa. Enggak mungkin kan kita terus-terusan mengurung Raina di rumah aja.”

Namun Rita masih ragu. Ia menatap suaminya dengan ekspresi penuh keresahan, matanya berkaca-kaca, menahan beban yang tidak pernah ia katakan. “Tapi, Pa... kalau nanti Nana tahu sesuatu tentang Reiner dan—”

“Enggak akan.” Rudi memotong kalimatnya dengan lembut, namun tegas. Ia menatap Rita dalam-dalam, mencoba meyakinkan istrinya. “Cuma kita yang tahu. Nana enggak tahu apa-apa. Yuk, masuk.”

Ibumu terdiam sejenak, hatinya masih dipenuhi keraguan yang berteriak-teriak di dalam dadanya. Namun akhirnya, ia mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap tidak bisa melepaskan punggungmu yang semakin mengecil di kejauhan. Dengan berat hati, ia mengikuti Rudi masuk ke dalam rumah, langkahnya terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat.

Ketika pintu rumah tertutup di belakang mereka, keheningan malam kembali menyelimuti. Hanya suara gemerisik daun yang bergesekan dengan angin dan langkah kakimu yang menggema di sepanjang jalan. Di bawah langit yang gelap, kamu melangkah dengan tekad yang begitu kuat, melawan segala keraguan yang mungkin bersembunyi di dalam hatimu. Jalan menuju rumah Nana terasa panjang, namun setiap langkah membawamu semakin dekat dengan jawaban yang kamu cari, meski mungkin jawaban itu tidak akan mudah kamu terima.

***

Di malam yang sunyi, di kamar Nana yang sederhana namun hangat, hanya ada cahaya lembut dari lampu meja yang memantul di dinding krem. Aroma samar teh melati menguap dari cangkir yang dibiarkan dingin di atas meja kecil. Kamu duduk bersila di ujung kasur yang sedikit berantakan, punggungmu tegang seperti tali yang ditarik terlalu kencang. Wajahmu memancarkan kecemasan, sorot matamu gelisah, dan jemarimu sesekali meremas sudut bantal yang kamu pegang erat.

Di sudut lain ruangan, Nana duduk di kursi kerja di depan laptopnya. Perempuan 26 tahun itu, yang selalu menjadi tempatmu berlabuh di tengah badai, sedang mengetik sesuatu dengan fokus. Jemarinya menari di atas keyboard dengan irama cepat, seakan-akan dunia di luar tidak pernah ada. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang serius, namun tetap teduh. Kamu menatapnya sesaat, berharap ia segera beralih padamu, meski kamu tahu dia hanya berusaha menyelesaikan pekerjaannya sebelum bisa memberikan perhatian penuh padamu.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Nana menutup laptopnya dengan gerakan pelan. Dia memutar kursinya, menghadapmu dengan alis sedikit terangkat, wajahnya penuh perhatian. “Kamu udah coba hubungin nomor keluarganya?” tanyanya. Suaranya lembut, namun tegas, seperti seorang teman yang tahu kapan harus mendengarkan dan kapan harus bertanya.

Kamu mengangguk pelan, namun rasa gelisah di dadamu tidak juga surut. “Udah, Na. Tapi nomornya enggak ada yang aktif. Aku juga...” Kamu menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum melanjutkan, “...emang jarang nelpon-nelpon nyokap atau adeknya.”

Nana mendengarkan dengan tenang, matanya tak lepas dari wajahmu yang terlihat lelah dan putus asa. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba memproses informasi yang kamu berikan. “Terus, kamu mau ke Bandung?” tanyanya, mencoba mengukur sejauh mana kamu siap melangkah untuk menyelesaikan masalah ini.

Lihat selengkapnya