Di dalam kamarmu yang sunyi, malam seperti memelukmu dalam keheningan yang hanya dipecahkan oleh detak jam di dinding. Langit gelap di luar jendela tersapu kabut tipis, dan lampu meja di sudut kamar memancarkan cahaya lembut, menerangi setiap sudut ruangan dengan kehangatan samar. Kamu berbaring menyamping di atas tempat tidur, selimut tebal menutupi tubuhmu hingga ke pinggang, seolah menjadi tameng dari dinginnya udara malam.
Di tanganmu, ponsel menyala, memancarkan cahaya biru yang memantul di wajahmu. Jemarimu bergerak perlahan, menggulir layar, menelusuri foto-foto yang penuh cerita—potongan momen dari masa lalu bersama Reiner. Wajahmu diam, tapi matamu berbicara, dipenuhi kecemasan yang berusaha kamu sembunyikan bahkan dari dirimu sendiri.
Sebuah foto berhenti di layar. Kamu dan Reiner berdiri berdekatan, bahu kalian bersentuhan, senyum cerah menghiasi wajah kalian berdua. Di foto itu, kalian tampak tak terpisahkan, dua jiwa yang saling melengkapi. Namun, malam ini, gambar itu justru menjadi pengingat dari sesuatu yang tak sepenuhnya utuh di hatimu.
Kamu mendesah pelan, membiarkan udara dingin menyusup masuk ke paru-parumu. "Kalau kayak gini, gimana aku enggak mau berpikiran negatif," gumammu, nyaris seperti bisikan yang ditelan oleh kesunyian kamar.
Matamu tertuju pada foto lain. Di sana, kamu dan Reiner sedang berpelukan. Tangannya melingkar erat di bahumu, sementara senyum di wajahmu tampak begitu lepas. Foto itu adalah cerita tentang kebahagiaan, atau setidaknya begitulah kesan yang diberikannya. Tapi bagimu, foto itu lebih dari sekadar gambaran masa lalu. Ia adalah pengingat dari semua rasa—rasa percaya, rasa takut, dan rasa ragu—yang kini bercampur menjadi satu di dadamu.
Kamu terdiam, membiarkan semua kenangan dan kekhawatiran memenuhi pikiranmu. Cahaya ponsel yang redup membingkai wajahmu, menyorotkan bayangan samar di dinding kamar. Kamu berpikir tentang Reiner—tentang semua momen bersamanya yang terasa begitu nyata, begitu hangat, tapi juga begitu rapuh.
Hati kecilmu berbicara, menyuruhmu untuk percaya, untuk melepaskan segala keraguan. Tapi, ada bagian dari dirimu yang tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk, seperti angin dingin yang terus mendesak masuk melalui celah jendela.
Kamu mematikan layar ponsel, menaruhnya di meja di samping tempat tidur. Kepalamu tenggelam lebih dalam ke bantal, menatap langit-langit yang kosong, seakan mencari jawaban di sana. Di luar, bulan masih sembunyi di balik awan, dan hanya suara angin yang menemani malam panjangmu.
Kamu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatimu yang penuh gejolak. "Aku harus percaya," katamu pelan, lebih kepada dirimu sendiri daripada siapa pun. Tapi, seperti doa yang menggantung di udara, kata-kata itu terasa jauh dari keyakinan.
***
Pagi itu, aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan, membawa kesan tenang yang biasa melingkupi rumah kecil ini. Di meja kayu yang sudah penuh goresan usia, Rita dan Rudi duduk berhadapan, menikmati sarapan mereka dalam keheningan yang damai. Sepasang suami istri itu saling memahami tanpa banyak kata, menikmati momen sederhana yang dipenuhi cinta, meskipun tak terucap.
Namun, kedamaian itu terkoyak ketika langkah-langkah terdengar menuruni tangga. Kamu muncul dengan penampilan yang rapi dan mencolok di tengah suasana santai pagi. Gaun kerja berwarna biru gelap membungkus tubuhmu, memberi kesan tegas dan formal, seolah kamu sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi medan perang. Saat duduk di ujung meja makan, tatapanmu langsung tertuju pada kedua orang tuamu, penuh ketegasan.
“Aku mau ke rumah orang tua Reiner di Bandung,” katamu tanpa basa-basi, suaramu memecah keheningan yang tadinya begitu nyaman.
Rita, ibumu, tertegun. Garis-garis kekhawatiran tampak jelas di wajahnya yang lembut. Sementara itu, Rudi, ayahmu, mengernyitkan dahi. Mereka saling bertukar pandang, mencoba memahami keputusan mendadak ini.
“Rain, kamu serius?” tanya ibumu pelan, nada suaranya mengandung harap agar kamu mengurungkan niat.
“Walaupun kalian melarang, aku tetap mau ke sana,” jawabmu tegas, seperti batu yang tak akan goyah meski diterpa ombak. Sorot matamu tidak memberi ruang untuk kompromi.
“Rain…” Suara ibumu terdengar lirih, sarat dengan kepedulian yang mengalir dari hati. Tapi kamu tidak ingin mundur. Bukan kali ini.
“Ma, pernikahanku tinggal seminggu lagi!” serumu, mencoba menyampaikan urgensimu. “Undangan sudah harus disebar. Aku cuma mau tahu keadaan Reiner. Enggak biasanya dia hilang kontak lebih dari tiga hari.”
Ayahmu, yang jarang berbicara panjang lebar, menghela napas sebelum membuka mulut. “Kalau soal undangan, kita bisa tunda dulu.”
Kamu menatapnya, matamu menyiratkan ketidakpercayaan. “Enggak bisa, Pa. Jadwal tetap jadwal. Aku cuma mau memastikan dia baik-baik saja. Siapa tahu dia sedang cari inspirasi buat tulisannya di Bandung.”
Suasana terasa makin berat, hingga langkah lembut terdengar dari arah pintu. Mbok Iyem muncul dengan hormat, membawa pesan yang tak diduga. “Permisi, Nyonya, Tuan. Di luar ada Mas Radit.”
Ibumu segera menoleh ke arahmu, tatapannya penuh arti yang langsung kamu pahami. “Kalau kamu tetap mau ke Bandung, kamu harus pergi sama Radit,” ujarnya tegas, seolah menawarkan solusi yang tak bisa ditawar.