Kamu berdiri di depan rumah itu, sebuah rumah sederhana yang terlupakan waktu. Di ujung jalan yang sunyi, seolah dunia sendiri yang melupakan keberadaannya, rumah itu berdiri dalam kesunyian yang mencekam. Semak-semak liar menjalar mengelilinginya, dan rumput yang tinggi tampak seperti penjaga tak terlihat, menutupinya dari mata dunia. Cat dindingnya sudah memudar, seolah lelah oleh usia, sementara atapnya—seperti tubuh yang telah renta—terlihat bocor di beberapa bagian. Ini rumah yang telah lama tidak dihuni, yang seolah meminta untuk dilupakan.
Radit berdiri di sampingmu, tatapannya penuh ketidakpastian. Matanya bergerak dari satu sudut ke sudut lain, mencoba memahami rumah yang sepertinya tidak bisa dimengerti oleh siapa pun. Ada keraguan di wajahnya, ketidakpastian yang tak bisa dia sembunyikan.
"Kamu yakin ini rumahnya?" Suaranya bergetar, penuh keraguan.
Kamu menatap rumah itu, setiap inci terasa seperti beban yang tak tertahankan. Rasa frustrasimu meledak, dan kata-kata keluar dengan tajam, meluncur begitu saja. "Kalo enggak yakin, ngapain saya jauh-jauh mau ke sini?" Suaramu terasa penuh dengan kemarahan dan keputusasaan, mencerminkan perjalanan panjang yang kini terasa sia-sia.
Radit, dengan nada yang sedikit sinis, berusaha mengubah suasana. "Mungkin karena kamu udah putus asa?" katanya, mencoba menyelipkan humor yang tak bisa kamu terima.
Kamu meliriknya dengan tatapan yang bisa mengiris. Mata kamu menyala dengan kemarahan yang mendalam, mencoba menembus dinding ketidakpedulian yang diciptakan Radit. "Enggak usah sok tau deh," ujarmu, suaramu begitu penuh dengan emosi yang sulit diatur.
Tanpa menunggu respon, kamu melangkah maju, mendekati gerbang yang terlihat sudah lama tak dibuka. Gerbang itu terjepit, berderit pelan seperti suara keluhan dari benda mati yang enggan untuk kembali hidup. Setiap langkahmu terasa berat, namun tekad yang mendorongmu begitu kuat, memaksa tubuhmu untuk terus maju.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, kamu membuka pintu depan rumah yang tampak lebih terabaikan lagi. Pintu itu tertutup rapat, diselimuti lumut yang tak terurus. Kamu mengetuk pintu itu dengan beberapa ketukan keras, berharap suaramu bisa merobek kesunyian yang menyesakkan ini. Setiap ketukanmu seolah menggema di seluruh rumah, namun tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang kian mendalam.
Kamu mengetuk lagi, lebih keras, berharap ada tanda-tanda kehidupan yang merespon. Tetapi suara itu tetap hilang di udara kosong, tak ada yang terdengar. Hanya kegelapan yang terus mengelilingi rumah itu, seolah dunia di dalam sana telah mati.
Radit, yang tak tahan dengan ketidakpastian ini, mulai bergerak. Dia memeriksa sisi-sisi rumah, bergerak di antara bayangan yang tak menentu, mencari sesuatu, apapun. Menggunakan senter dari dalam mobil, dia mencoba mengintip melalui kaca jendela yang kotor. Namun, di dalamnya hanya gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan, tak ada suara, hanya ruang yang mati.
"Kayaknya enggak ada orang deh," katanya, nada suaranya mulai terdengar putus asa, seolah sudah hilang harapan. "Di dalam gelap, barang-barangnya juga enggak ada. Mungkin kita salah alamat."
Kamu berdiri di depan pintu, tubuhmu lemas, dan tanganmu terkulai di sisi tubuh. Ekspresi wajahmu mengungkapkan betapa sulitnya menerima kenyataan ini. Kelelahan fisik dan mental mulai menumpuk, dan kamu merasa terjebak dalam sebuah labirin yang tak pernah kau pilih untuk masuk. Semua usaha, semua perjalanan, tampaknya hanya sia-sia. Kamu ingin berteriak, ingin meledak, tapi tak ada suara yang keluar.