Di ruang IGD rumah sakit yang dingin dan steril, kamu terbaring lemah, tubuhmu terhubung dengan selang infus yang menetes perlahan—setiap tetesan itu seperti mengingatkanmu akan betapa rapuhnya keadaanmu saat ini. Suasana di sekitar begitu hening, meskipun udara malam terasa menekan dan seolah mendesak untuk menyampaikan sesuatu yang tidak bisa kamu dengar. Perlahan, dengan tubuh yang terasa berat, kamu membuka matamu, berusaha untuk mengusir kabut yang memburamkan dunia di sekitarmu. Pandanganmu kabur, seperti dunia ini ingin membingungkanmu lebih jauh lagi, tetapi perlahan, bayangan-bayangan itu mulai memudar, dan wajah Radit muncul di depanmu.
Radit, dengan tatapan penuh kecemasan, duduk di samping ranjangmu, seolah ingin memberi jaminan bahwa kamu tidak sendirian. Namun, di matanya, ada kekhawatiran yang dalam, seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa takut akan keadaanmu.
"Gimana keadaan kamu sekarang? Masih sakit perutnya?" Suaranya penuh dengan kehangatan, namun ada ketegangan yang tersembunyi di sana—sebuah pertanyaan yang lebih dari sekadar kata-kata biasa. Seperti ingin memastikan bahwa kamu, yang tampaknya begitu rapuh, bisa tetap bertahan.
Dengan tubuh yang berat, kamu mengalihkan pandanganmu ke tanganmu yang terhubung dengan selang infus, merasa semakin tidak nyaman dengan segala perangkat medis yang kini membelenggumu. Perasaan itu datang dengan tiba-tiba—sebuah keinginan untuk bebas dari keterikatan ini. "Kita udah di Jakarta?" Suara lemahmu terdengar penuh harapan, seperti ada keinginan untuk melarikan diri, mencari kenyamanan di tempat yang jauh dari semua ini.
Radit menggelengkan kepalanya dengan lembut, berusaha menenangkanmu dengan cara yang hampir tak terlihat. "Masih di Bandung. Mana mungkin saya bawa kamu pulang dalam keadaan pingsan. Tadi saya udah hubungin orang tua kamu kalo kita nginep dulu di sini sampai kamu pulih."
Kata-katanya berusaha meraihmu, tetapi entah mengapa, mereka hanya seperti angin yang lewat begitu saja. Perasaan cemas yang ada di dalam dirimu begitu mendalam, lebih dari sekadar rasa fisik yang menyiksa. Kamu merasa seakan-akan dunia yang sempit ini tidak memberi ruang untukmu. Reiner—hanya dia yang ada dalam pikiranmu, dan kamu tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Enggan mendengarkan penjelasan Radit, kamu memaksa diri untuk bangkit, meskipun tubuhmu begitu lemas dan rapuh. Tidak ada kekuatan yang cukup untuk mendukungmu, tapi tekad yang membara mendorongmu untuk bergerak, mencoba untuk berdiri. "Enggak mau. Saya harus pulang. Siapa tau Reiner ke rumah," gumammu, suara penuh desakan yang mengalir dari hatimu yang gelisah.
Radit melihatmu dengan campuran rasa prihatin dan frustrasi yang terpendam. Kamu mencopot selang infus dengan gerakan yang canggung, perasaan sakit langsung menyusup ke tubuhmu, namun itu tidak menghalangimu. Kamu memaksakan diri untuk duduk di pinggir ranjang, mencoba untuk berdiri meskipun tubuhmu terasa terhuyung-huyung.
"Tolong jangan memaksakan diri kayak gini. Kamu masih lemas," kata Radit mencoba membujukmu, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang hampir terurai menjadi cemas. Namun, kamu enggan menggubrisnya. Keinginanmu lebih kuat dari apapun yang coba dia katakan.
Dengan hati-hati, kamu berdiri—setiap gerakan terasa seperti perjuangan, sakit yang mengalir di seluruh tubuhmu, tetapi itu tidak menghentikan langkahmu. Kelelahan dan kebingungan menyatu dalam dirimu, namun kamu terus melangkah, berusaha menuju koridor rumah sakit yang dingin dan kosong. Setiap langkahmu terdengar seperti gema, terlepas dari keheningan yang mencekam.
Radit mengikuti di belakangmu, suaranya kini terdengar lebih mendesak, "Raina... jangan keras kepala. Kalau kamu enggak mau ikutin kata saya atau dokter, paling enggak kamu harus peduli sama diri kamu sendiri."
Kata-katanya kembali mengingatkanmu akan kenyataan yang tidak ingin kamu hadapi. Namun, meskipun suara itu penuh dengan perhatian, kamu memilih untuk tidak mendengarnya. Langkahmu semakin goyah, dan dengan tubuh yang hampir tak bisa menopang dirimu, kamu terus bergerak menuju koridor rumah sakit yang panjang dan dingin.
Setiap lorong yang kamu lewati terasa begitu sepi, dinding-dinding yang steril dan lampu-lampu fluorescent yang menciptakan cahaya putih yang tajam, menambah kesan suram dan menekan dalam hatimu. Kamu berpegangan pada dinding, merasakan kepalanya berputar, tubuhmu seperti kehilangan keseimbangan, namun tetap berusaha untuk maju.
Radit semakin khawatir, memanggil namamu dengan penuh rasa takut. "Raina..."
Namun tanpa peringatan, tubuhmu yang lemas akhirnya terjatuh, menghantam lantai dengan tubuh yang tak berdaya. Tubuhmu terkulai, tak mampu lagi menahan beban yang terlalu berat. Radit terkejut, mata penuh dengan kepanikan, wajahnya berubah drastis dalam sekejap. Dalam sekejap itu, dia berlari ke arahmu, tangan terulur, mencoba menangkap tubuhmu yang terjatuh.
Semua suara seolah lenyap, hanya ada langkah-langkah panik Radit yang semakin mendekat, dan di hatimu, rasa sakit yang tak terucapkan semakin mendalam.
***