Kantin rumah sakit tampak sepi. Suasana yang biasa dipenuhi tawa, obrolan ringan, dan suara sendok yang beradu dengan piring, kini terasa penuh sesak. Hanya beberapa orang yang duduk tersebar di meja-meja, seolah-olah setiap langkah yang mereka ambil berbobot, dan setiap napas mereka menahan sesuatu yang tak terucapkan. Begitu juga denganmu.
Di salah satu meja, kamu duduk berhadapan dengan Reiner, namun apa yang memisahkan kalian jauh lebih dari sekadar meja yang tak seberapa luas. Jarak di antara kalian terasa luas, seperti jurang yang semakin dalam. Kamu menatapnya, mencoba mencari sedikit kehangatan, sedikit perhatian yang dulu sering mengalir begitu mudah di antara kalian. Tetapi hari ini, udara terasa berat, seakan setiap kata yang ingin kamu ucapkan akan tenggelam dalam keheningan yang tidak bisa dijembatani.
Reiner memecah keheningan itu dengan suara yang dingin, jauh lebih dingin daripada yang pernah kamu dengar darinya. "Apa yang mau kamu bicarakan?" Suaranya tajam, menusuk. Matanya tetap terarah ke depan, menghindari tatapanmu yang mencoba merangkak mencari jawaban.
Kamu menggigit bibirmu, matamu mulai berkaca-kaca, berusaha menahan kepedihan yang mulai menyelimutimu. "Bukannya harusnya kamu yang ngasih aku banyak penjelasan?" Suaramu bergetar, lebih lembut dari yang ingin kamu tunjukkan, tapi penuh dengan kemarahan yang tidak bisa dibendung. "Kenapa, Rei? Kenapa?"
Dia menatapmu dengan mata yang mulai memerah, namun tidak ada ekspresi yang kamu harapkan. Wajahnya kaku, kosong, seperti sesuatu yang sudah lama mati di dalam dirinya. "Enggak ada yang mau aku bicarakan ke kamu," jawabnya, hampir tidak terdengar. Kata-katanya seolah dibebani oleh sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang membuatnya terdiam, membeku.
Kamu merasa seolah dunia berputar, membawamu jauh dari kenyataan yang begitu mengerikan ini. "Enggak ada?" kamu bertanya lagi, suaramu penuh dengan keputusasaan yang perlahan menguasai dirimu. "Rei… kamu aneh. Hari pernikahan kita udah di depan mata, tapi sekarang kita malah kayak orang asing." Rasanya, kata-kata itu hampir tidak bisa diucapkan, karena begitu dalamnya rasa sakit yang mengalir dari setiap suku kata.
Dia tetap diam, menatapmu dengan ekspresi kosong, seolah mencari jawabannya di tempat yang jauh dari jangkauanmu. Ketegangan itu semakin terasa berat, menghimpit dada, menekan napas. Ketika akhirnya dia berbicara, kata-katanya terdengar begitu pasti, namun juga begitu hampa. "Soal pernikahan kita… semua itu harus dibatalin."
Hatimu hancur mendengar itu. Matamu membelalak, wajahmu memucat, seolah semua harapan, semua impian yang telah kalian bangun bersama menguap begitu saja, hilang tanpa jejak. "Kamu bercanda?" tanyamu, suaramu pecah, hampir tidak terdengar di tengah keheningan yang mengiringinya. Tapi dia tidak menjawab, tidak memberikan sedikit pun penjelasan yang bisa kau terima.
Reiner berdiri, langkahnya penuh tekad yang keras, seolah dia telah membuat keputusan yang tidak bisa digoyahkan. Kamu meraihnya, menggenggam tangannya dengan lembut, namun penuh dengan tekad. Matamu, yang penuh air mata, menatapnya dengan harapan yang tidakk tergoyahkan. "Tunggu, Rei! Tolong, jangan pergi gitu aja," desakmu, tapi dia hanya menatap tanganmu sejenak, lalu dengan lembut namun tegas, menepisnya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, dia melangkah pergi. Langkahnya terasa berat, menyisakan kesunyian yang mengisi seluruh ruang di sekelilingmu. Hati yang hancur, dan dunia yang mulai berantakan. Kamu duduk kembali, tubuhmu bergetar, air mata mengalir tanpa henti di pipimu. Kamu merasa terjebak dalam lautan kesedihan yang tak berujung, tidak bisa mengerti bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat, begitu tragis.
Reiner, di luar kantin, melangkah menjauh dengan cepat, berusaha menghindar dari konfrontasi yang semakin mendalam. Namun, kamu, dengan segala kekuatan yang tersisa, mengejarnya. Melangkah cepat, hatimu penuh dengan ketidakpercayaan dan kepedihan, dan kamu menghadangnya di pintu keluar.
Dia berhenti sejenak, wajahnya kacau, dipenuhi keraguan dan kekacauan. Dari kejauhan, Reva dan Radit yang sebelumnya menunggu, kini berdiri, memperhatikan dengan penuh perhatian. Reva tampak bingung, sementara Radit, wajahnya tegang, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan suara yang penuh kemarahan dan kebingungannya, kamu bertanya. "Kamu enggak mau kasih penjelasan yang masuk akal, kenapa bisa-bisanya kamu batalin pernikahan kita seenaknya kayak gitu?" Suaramu bergetar, air mata mulai tumpah, namun tidak bisa kamu tahan, lagi. Matamu yang memerah menatap Reiner, penuh tekanan, menuntut jawaban yang seharusnya sudah lama diberikan.
Reiner menunduk, dan perlahan, pandangannya beralih ke Reva yang berdiri di sampingnya. Kamu mengikuti arah pandangnya, dan kemarahanmu semakin membesar, menyatu dengan kepedihan yang tidak terungkapkan. "Jawab aku, Rei!" teriakmu, nada suaramu semakin tinggi, air matamu mulai terpecah, seolah dunia yang dulu kamu kenal runtuh begitu saja.
Di tengah keheningan yang semakin mencekam, akhirnya Reiner membuka mulutnya, suaranya berat dan penuh dengan rasa bersalah yang mendalam. "Aku… udah menikah dengan wanita lain."
Kata-kata itu keluar dengan sangat pelan, seolah setiap suku kata adalah pukulan yang menghancurkan semua harapanmu. Tubuhmu terasa kaku, dunia seakan berhenti berputar. Matamu membelalak, enggan percaya dengan apa yang baru saja didengar. "Kamu… gimana mungkin?" bisikmu, suaramu hampir tidak terdengar di tengah guncangan yang melanda hatimu.
Reva dan Radit terkejut, wajah mereka penuh kebingungan. Reva menatap Reiner, matanya penuh tanya. Radit merasakan beratnya situasi ini, kebingungannya sama besar dengan rasa sakit yang ada di hatimu.