Seandainya Waktu Bisa Berputar

Rika Kurnia
Chapter #12

Jejak Masa Lalu

Kamu memasuki kamar dengan langkah terburu-buru, seolah waktu adalah musuh yang harus dihindari. Setiap detik terasa begitu berat, seolah-olah perasaan yang menggerogoti hatimu menuntutmu untuk segera menghadapinya, meski tidak ada kata yang cukup untuk mewakili kekacauan ini. Tanpa banyak pikir, tasmu terlempar begitu saja ke atas kasur, menyisakan ruang kosong yang semakin menyesakkan. Kamu duduk di tepi kasur, menggigit bibir untuk menahan segala yang ingin keluar. Wajahmu dipenuhi dengan kemarahan yang begitu besar, sekaligus kesedihan yang mendalam—dua perasaan yang bersatu dalam sebuah pertempuran yang tidak kasatmata.

Ucapan Reiner terus berputar di telingamu, seperti lagu sedih yang diputar berulang-ulang tanpa henti, menggema di setiap sudut pikiranmu.

"Aku... udah menikah dengan wanita lain."

Kata-kata itu seperti belati yang menancap dalam-dalam, menorehkan luka yang tidak bisa segera sembuh. Kamu merebahkan tubuh di kasur, tubuhmu terasa begitu lelah, seolah-olah ingin melarikan diri dari kenyataan ini. Kakimu tergantung di tepi kasur, tidak berdaya, seperti terikat oleh sesuatu yang tidak bisa kamu lepas. Pandanganmu kosong, menatap langit-langit kamar yang gelap, menunggu air mata yang pertama menetes. Namun, ketika akhirnya air matamu jatuh, kamu buru-buru menghapusnya dengan ujung jarimu. Bukan karena malu, tapi karena tidak ingin terlihat lemah, meskipun kamu tahu itu tidak bisa dicegah. Kesedihan itu begitu mendalam, begitu nyata, sehingga ia mendorongmu untuk duduk kembali. Wajahmu penuh dengan ketidakberdayaan—terlalu banyak yang ingin disampaikan, tapi kata-kata itu tidak bisa keluar.

Tanganmu gemetar saat meraih ponsel dari dalam tas. Kamu menekan nomor Reiner dengan harapan, seolah sebuah panggilan bisa membawamu kembali ke kenyataan yang lebih baik, menghapus segala yang terasa kelam. Tapi suara dering yang terus berlanjut hanya memperburuk keheningan. Kamu menatap layar ponselmu, seolah ada bagian dari dirimu yang berharap mungkin, hanya mungkin, ada jawaban, ada suara yang bisa mengakhiri keraguan ini, atau setidaknya mengalihkan rasa sakitmu. Namun, setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, suara berdering itu menjadi hampa. Tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya hening yang semakin menekanmu.

Kamu menundukkan kepalamu, menarik napas dalam-dalam, dan meletakkan ponselmu di samping, seakan berharap semua ini bisa hilang begitu saja. Namun kenyataan tidak sesederhana itu. Rasa hampa dan putus asa mulai memenuhi ruang kamar yang gelap ini. Kamu menatap jendela, ke luar sana, ke dunia yang tampaknya tetap berjalan meski dunia dalam dirimu runtuh. Malam yang sunyi tampak begitu tak bersalah, namun begitu jauh dari perasaanmu yang hancur. Hujan mulai turun, lembut namun tidak terelakkan, seperti air mata langit yang sepertinya mengerti betapa besar luka dalam hatimu. Setiap tetesnya yang membasahi jendela seolah mencerminkan setiap tetes kesedihan yang tidak bisa kamu ungkapkan. Perih sekali rasanya.

Kamu membiarkan dirimu tenggelam dalam kesedihan itu, membiarkan dirimu terbenam dalam kehampaan malam yang mengelilingimu. Hujan di luar menjadi teman setiamu malam ini—teman yang diam, yang tidak akan bertanya mengapa kamu menangis, atau mengapa hatimu hancur. Kamu tahu, ini bukan akhir. Tapi perasaanmu yang terperangkap dalam kegelapan malam ini memaksamu untuk menunggu—menunggu waktu yang tepat, atau mungkin hanya berharap waktu itu datang dengan sendirinya, untuk melanjutkan hidupmu meski rasa sakit ini terus mengganggu setiap helai pikiranmu.

***

Sementara itu di waktu yang bersamaan, namun di tempat berbeda.

Di tempat yang jauh dari hingar-bingar kota, di dalam villa yang tenggelam dalam keheningan malam, kamu duduk di kursi belajar. Lampu meja yang temaram memantulkan bayang samar di wajahmu, membingkai gurat-gurat kelelahan yang tidak hanya datang dari tubuh, tapi dari jiwa yang rapuh. Di depanmu, layar laptop bersinar terang, berisi deretan dokumen dan pekerjaan yang kamu paksa untuk menyita perhatianmu, seolah-olah huruf-huruf dan angka-angka di sana bisa menjadi pelarian dari badai batin yang terus menghantam.

Namun, pelarian itu tidak sempurna. Ponsel yang tergeletak di samping laptop tiba-tiba bergetar, memecah hening. Nama ‘R’ muncul di layarnya, begitu sederhana, namun menyimpan beban yang tidak bisa kamu abaikan. Deringannya terus berlanjut, setiap bunyinya seakan mengetuk-ngetuk dinding hatimu yang telah kamu bentengi dengan segala daya. Tapi kamu bergeming. Kamu hanya menatap layar itu dengan ekspresi kosong, seperti seorang tahanan yang tidak punya pilihan selain menerima hukuman yang telah dijatuhkan.

Dering itu tidak kunjung berhenti. Setiap nada seolah mengingatkanmu pada suara yang tidak lagi berani kamu dengar, pada wajah yang kamu hindari meskipun ada di setiap sudut ingatanmu. Waktu terasa melambat, tapi rasa sesak di dadamu semakin cepat memenuhi ruang. Dan akhirnya, dengan jemari yang gemetar, kamu menekan tombol untuk menolak panggilan itu. Deringan itu berhenti, tapi hening yang kembali justru lebih menusuk. Kamu menekan tombol lainnya, mematikan ponsel itu sepenuhnya, memutuskan semua kemungkinan untuk mendengar suara yang kamu tahu akan membuat segalanya lebih sulit.

Kamu menundukkan kepala, punggungmu terasa semakin berat oleh beban yang tak terlihat. Sebuah napas panjang lolos dari bibirmu, mencoba mengusir rasa sesak yang tidak juga berkurang. Kamu memaksakan dirimu untuk kembali fokus pada layar laptop, menatap kosong pada pekerjaan yang kini hanya menjadi alasan untuk mengabaikan kenyataan. Tapi pikiranmu tetap melayang, kembali padanya.

"Maafin aku, Rain."

Kalimat itu berbisik di sudut hatimu, begitu lemah namun begitu nyaring, bergema dalam ruang kosong di dalam dirimu. Kamu ingin melupakannya, ingin membenamkan diri dalam kesibukan yang tiada akhir. Tapi semakin kamu mencoba, semakin jelas bayangan wajahnya, semakin nyata suara tawa dan tangisnya yang dulu begitu akrab. Penyesalan itu seperti racun yang perlahan menyebar, menguasai setiap sudut pikiranmu.

Dan di malam itu, di antara dokumen yang tidak lagi berarti dan cahaya lampu yang mulai redup, kamu hanya bisa duduk di sana, menunggu pagi yang tidak menawarkan jawaban, hanya membawa satu hari lagi yang harus kamu lalui tanpa dia. Raina.

***

Lihat selengkapnya