Seandainya Waktu Bisa Berputar

Rika Kurnia
Chapter #13

Langkah Berat

Di balkon villa yang tenang, kamu duduk di kursi sambil mengetik sesuatu di layar laptopnya. Wajahmu menunjukkan konsentrasi yang mendalam, namun di balik ekspresi tenangnya, ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.

Di sisi lain, Re juga merasakan hal yang lebih menyakitkan. Dia harus meninggalkan Ra dengan alasan terpedih yang dibuatnya.

Kamu berhenti mengetik, jari-jarimu melayang di atas keyboard, seolah kehilangan arah. Matamu terpaku pada layar laptop di depanmu, tetapi huruf-huruf yang biasanya menjadi jembatan bagi imajinasimu kini hanyalah barisan kosong tanpa makna. Dengan helaan napas berat, kamu menutup laptop itu perlahan, bunyi "klik" dari engselnya terdengar seperti tanda akhir yang enggan kamu terima. Kepala ditundukkan, keningmu bertumpu pada genggaman tangan yang terasa dingin dan gemetar. Di dalam dadamu, ada beban yang tidak bisa kamu lepaskan, campuran rasa bersalah yang menggantung dan penyesalan yang terus menggerogoti.

Tiba-tiba, langkah-langkah ringan terdengar mendekat dari belakangmu. Kamu tahu siapa itu bahkan sebelum suara langkah itu berhenti. Reva. Dia datang dengan kecepatan yang khas, membawa kehangatan yang anehnya justru membuat hatimu semakin sesak. Tanpa banyak bicara, dia meletakkan jaket tebal di belakang punggungmu. Sentuhan kain itu membawa sedikit kehangatan pada tubuhmu, tetapi tidak cukup untuk mencairkan dingin yang bersarang di hatimu.

Reva menarik kursi di depanmu dan duduk dengan santai, tubuhnya condong sedikit ke depan, matanya memperhatikanmu. Sorot matanya selalu penuh perhatian, seolah dia bisa membaca semua pikiran gelap yang bersembunyi di benakmu tanpa perlu kamu ucapkan.

"Udah sampai mana novelnya?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar santai, tetapi kamu tahu ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik nada itu.

Kamu menggelengkan kepala, mencoba memberikan jawaban yang paling singkat. "Pertengahan." Hanya itu. Hanya satu kata yang bisa keluar dari bibirmu, meskipun kamu tahu ada banyak yang ingin kamu katakan. Tapi bagaimana kamu bisa mengungkapkan semuanya, ketika kata-kata itu sendiri terasa seperti pengkhianatan?

Reva bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di depan dada. "Udah boleh aku baca?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sedikit menggoda, mencoba mencairkan suasana.

Kamu tersenyum, tetapi senyum itu tidak pernah sampai ke matamu. Hanya sebuah tarikan bibir yang kosong, seperti pelangi yang muncul di tengah badai. "Jangan dulu," katamu pelan. "Nanti aja kalau udah selesai."

Dia menatapmu dengan ekspresi penasaran, seperti sedang mencoba mencari tahu rahasia yang kamu sembunyikan. "Kali ini tentang apa?" tanyanya, suaranya lembut tetapi tetap menyelidik. "Cinta anak SMA? Anak kuliahan? Atau pernikahan?"

Kamu mengangkat pandanganmu, menatap wajahnya untuk pertama kalinya sejak dia duduk di sana. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan dalam tatapan itu, sesuatu yang berat, yang tidak ingin kamu bagi tetapi juga terlalu menyiksa untuk kamu simpan sendiri. Kamu terdiam. Kata-kata itu terjebak di tenggorokanmu, seolah-olah ada sesuatu yang mengikatnya, menahan mereka untuk keluar. Kamu ingin menjelaskan, ingin menceritakan semuanya. Tentang rasa bersalah yang kamu bawa. Tentang luka yang tidak kunjung sembuh. Tentang bagaimana setiap huruf yang kamu ketik di layar itu terasa seperti darah yang menetes dari hatimu.

Tetapi pada akhirnya, kamu lagi-lagi hanya diam. Hening. Karena bagaimana mungkin kamu bisa menjelaskan semuanya, ketika kamu sendiri belum mampu memahaminya?

***

Beberapa waktu silam.

Kamu melangkah memasuki ruang tengah dengan ringan, membawa senyum yang belum sempat memudar sejak tadi siang. Udara malam menyelip masuk melalui celah jendela, membawa aroma khas angin lembab yang bercampur dengan harum teh hijau yang kamu bawa di tangan. Lampu-lampu rumah menyala lembut, menerangi ruang yang kini terasa seperti pelukan hangat. Di sana, di atas karpet biru tua yang sudah agak kusam, Reiner duduk bersila, matanya terpaku pada layar laptop, jari-jarinya menari di atas keyboard dengan ritme yang teratur.

Saat kamu mendekat, dia mendongak. Ada senyum di wajahnya—senyum yang selalu membuatmu merasa pulang. “Hai,” sapanya singkat, suaranya hangat meski sederhana. Kamu meletakkan cangkir teh di meja kecil di depannya, kemudian tanpa ragu duduk di sampingnya, membiarkan tubuhmu bersandar pada bahunya. Kehangatan tubuhnya terasa menenangkan, seperti api unggun di malam yang dingin.

"Kali ini ceritanya tentang apa?" tanyamu, nada suaramu dipenuhi rasa ingin tahu yang tidak bisa kamu sembunyikan. Kamu tahu, setiap karya Reiner adalah potongan dari hatinya, dan kamu selalu ingin menjadi orang pertama yang menyentuhnya, bahkan sebelum dunia mengetahuinya.

Reiner berhenti mengetik, jari-jarinya menggantung di atas keyboard sebelum perlahan-lahan dia memutar tubuhnya menghadapmu. "Nanti ya," katanya dengan nada menggoda, “kalau udah terbit dan ada di toko buku.”

Kamu mendengus pelan, merajuk seperti anak kecil yang ditolak permintaannya. “Yah, kok gitu? Masa enggak ada pengecualian buat pacarnya penulis? Harusnya aku bisa baca duluan sebelum bukunya beredar buat umum,” protesmu sambil melipat tangan di dada. Kamu tahu kamu hanya bercanda, tapi dalam hati, kamu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dia tulis.

Reiner tertawa kecil. Senyumnya melunak, seperti bulan sabit yang bersinar di malam gelap. Dia menatapmu dengan tatapan yang penuh kelembutan, seolah-olah kamu adalah satu-satunya hal yang berarti baginya. “Ceritanya tentang pasangan suami istri,” katanya akhirnya, “yang melakukan perjalanan ke seluruh Indonesia.”

Lihat selengkapnya