Kamu duduk berhadapan dengan Radit. Ada ketegangan yang hampir bisa kamu rasakan di udara, seperti kilat yang siap menyambar. Ruang di sekelilingmu terasa sempit, dan setiap detik yang berlalu seperti membawa beban yang lebih berat dari sebelumnya.
Tatapanmu tajam, tidak ingin menunjukkan kelemahan. Kamu bisa merasakan ketidaknyamanan merayap dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan suaramu, ketika akhirnya kamu berbicara, terdengar penuh ketegasan. “Apa yang mau Anda bicarakan? Saya enggak bisa lama-lama,” katamu, berusaha keras untuk menjaga kontrol atas emosimu yang mulai menggelegak.
Radit menghela napas panjang, seolah sedang mempersiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat penting. Kamu melihat bagaimana matanya mencari-cari kata-kata, memikirkan sesuatu dengan hati-hati sebelum akhirnya ia membuka mulut, “Oke, saya akan langsung ke intinya.” Suaranya lebih datar, lebih serius, dan saat ia memandangmu, kamu bisa merasakan setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah membebani hatimu. “Temui Raina.”
Kamu menyipitkan mata, terkejut sekaligus bingung dengan permintaan yang tiba-tiba itu. “Kemarin kami sudah bertemu dan bicara,” jawabmu, suara sedikit menegang, tidak mengerti kenapa pertemuan itu harus diulang.
Radit, yang tidak tampak terpengaruh oleh kebingunganmu, melanjutkan, lebih tegas, lebih mendesak. “Lagi. Secara baik-baik untuk membicarakan perpisahan kalian dengan benar.” Kalimat itu menusuk perasaanmu, seperti ada sesuatu yang terputus tanpa kamu sadari, sesuatu yang kini dipaksa untuk diselesaikan.
Ada hening sejenak. Kamu menatapnya, bibirmu menekan erat satu sama lain, menahan kata-kata yang ingin keluar. Ada amarah yang menggelora di dadamu, namun ada juga kebingungan yang menghimpit. Apa yang seharusnya kamu katakan? Apa yang harus kamu lakukan? Hatimu, yang semula tenang, kini bergolak hebat.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, kamu mengucapkan kata-kata itu dengan suara yang dipenuhi penekanan emosional, “Saya enggak bisa.” Perasaanmu, yang tadinya seperti gelombang tenang, kini menjadi badai yang tidak bisa lagi kamu bendung.
Radit menatapmu dengan mata yang semakin tajam, seolah mencoba memecahkan keteguhan yang ada dalam dirimu. Ia tidak melepaskan pandangannya dari matamu. “Kenapa? Apa karena kamu takut kalau kamu tidak bisa melepaskan Raina?” tanyanya, suaranya semakin memaksa, mencabik-cabik pertahananmu, memaksa kamu untuk menghadapi kenyataan yang begitu pahit, begitu sulit.
Kamu hanya menunduk, matamu mulai memanas, menahan air mata yang hampir saja jatuh. Tidak ada jawaban yang bisa kamu beri. Semua yang ada hanyalah rasa sakit yang begitu dalam. Tapi kata-kata itu, pertanyaan itu, semakin mengguncangmu. Mengapa? Kenapa? Mungkinkah karena kamu tidak bisa benar-benar melepaskan Raina?
Radit tidak berhenti, terus memaksa. “Saya sudah tahu alasan kamu meninggalkan Raina. Kamu hanya perlu memperkuat alasan itu agar Raina bisa melupakan kamu. Dengan begitu, saya bisa mulai masuk ke hatinya Raina.” Kalimat itu menghantammu seperti petir yang menyambar. Begitu keras, begitu nyata, begitu menghancurkan. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus ada orang lain yang mencoba mengisi tempat yang seharusnya hanya untukmu?
Diam-diam, kamu mengepalkan tangan di bawah meja, jari-jarimu menekuk hingga terasa sakit. Kamu bisa merasakan darah mengalir deras ke telapak tanganmu, namun tidak ada yang bisa menghilangkan rasa sakit ini. Frustrasi, marah, bingung—semua perasaan itu bercampur aduk dalam dirimu, membuatmu semakin sulit untuk tetap tenang.
Radit tidak membiarkanmu terlarut dalam kesendiriannya. Tatapannya semakin dalam, semakin menekan. “Jangan biarkan ini menjadi alasan untuk enggak menyelesaikan masalah yang ada. Kalau kamu memang peduli pada Raina, lakukan pakai cara yang benar.” Kalimat itu, meskipun terdengar penuh perintah, ada kekuatan tersendiri yang membuat kamu terdiam sejenak.
Perasaanmu bertabrakan, seolah ada dua dunia yang saling berbenturan dalam dirimu. Di satu sisi, kamu ingin melindungi Raina, ingin menjaga hati yang sudah sangat terluka. Di sisi lain, ada harapan yang tidak bisa kamu ingkari, harapan yang ingin kamu capai, harapan yang mungkin hanya bisa dipenuhi dengan cara yang salah. Kamu mengangguk perlahan, berusaha menenangkan dirimu, mencoba mengumpulkan sedikit sisa ketenangan yang tersisa dalam dirimu.
Dengan berat hati, kamu beranjak dari kursimu. Langkahmu terasa lebih lambat, lebih berat, setiap langkah seperti membawamu semakin jauh dari kedamaian. Kamu melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Radit di belakang, tetap duduk dengan tatapan yang tidak bisa kamu baca. Punggungmu yang menjauh seolah membawa beban yang lebih berat dari sebelumnya. Namun, di dalam hatimu, ada perasaan yang tidak bisa kamu jelaskan, sebuah campuran antara kepuasan dan kekhawatiran yang tak pernah kamu rasakan sebelumnya.
***
Suasana kafe di dalam mall itu selalu riuh, seperti kehidupan yang tidak pernah lelah berputar. Deretan meja dengan rapi tersusun, dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk menikmati waktu makan siang mereka, berbicara, tertawa, atau sekadar melamun. Namun di satu sudut, tempatmu duduk bersama Nana, ada sebuah keheningan yang tidak terucapkan, meskipun suara riuh di sekitar terus mengalir tanpa henti.