Searching True Love

Karen Agatha
Chapter #2

Merah di Ruang Dapur Istana

Catatan:

1Hanok (한옥): Rumah tradisional Korea yang pertama kali didesain pada abad ke-14 zaman dinasti Joseon.

2Chogajip (초가집): Rumah tradisional Korea yang beratap jerami, biasanya dihuni rakyat karena harga atapnya tidak mahal.

3Musuri (무수리): Budak perempuan yang bertanggung jawab atas pekerjaan seperti mengambil air dari sumur, membuat api di perapian, dan bersih-bersih.

4Haengrangchae (행랑채): Bangunan untuk tempat tinggal pelayan, berada di dekat pintu masuk rumah tradisional Korea.

5Giwajip (기와집): Tipe rumah tradisional Korea yang beratap genting, biasanya dihuni kalangan atas atau bangsawan.

6Usia Korea: Di Korea, ketika sudah lahir dan berusia 100 hari dirayakan dan sudah dianggap sebagai berusia 1 tahun.

7Sarangchae (사랑채): Bangunan khusus pria yang digunakan sebagai ruang belajar, termasuk untuk makan dan tidur, dan berada di bagian depan rumah tradisional Korea. Bangunan ini tidak boleh perempuan masuk.

8Cheonseokjeong (천석정): Atau lebih dikenal dengan sebutan Jewolgwangpunggwan (제월광풍관), sebuah paviliun yang digunakan untuk membaca buku dan belajar.

9Juhamru (주합루): Sebuah bangunan dua lantai yang menyediakan tempat Gyujanggak (규장각), perpustakaan keluarga kerajaan yang didirikan pada tahun 1776.

10Huwon (후원): Taman belakang Istana Changdeok, merupakan taman utama bergaya Joseon.

11Istana Changdeok (창덕궁): Sebutan lain adalah Istana Timur, istana ini adalah istana yang disukai dan ditempati lebih lama oleh para Raja Joseon, biasanya hanya digunakan sebagai kediaman sementara saat Raja ingin beristirahat dari kegiatan rutin. Adalah Istana megah kedua yang dibangun setelah Istana Gyeongbok (경복궁) pada tahun 1405.

12Dansim (단심): Tipe bunga dengan mahkota bunga berwarna merah.

13Mugunghwa (무궁화): Dari zaman dahulu, bunga ini dikenal bahkan disukai masyarakat Korea. Bunga ini banyak tumbuh di Korea. Namun pada zaman dinasti Joseon, bunga ini menjadi berkurang karena ada bunga keluarga kerajaan dinasti Joseon. Namun, setelah mengalami banyak penderitaan, akhirnya Korea kembali melirik bunga ini dan menjadikannya sebagai lambang negara Korea Selatan. Bunga ini tumbuh di wilayah dengan musim panas yang hangat.

14Ihwa (이화): Bunga pir, bunga keluarga kerajaan Joseon.

15Gukgung (국궁): Busur Korea yang secara umum dikenal sebagai Gakgung (각궁), busur refleks yang terbuat dari tanduk kerbau.

16Pyeonjeon (편전): Panah kecil yang juga disebut Aegisal (애기살), panahnya kecil dan ringan namun memiliki percepatan yang besar dan baik digunakan untuk pertempuran infanteri dan pertempuran kavaleri.

17Anchae (안채): Bangunan untuk wanita bersama anak-anak kecil termasuk untuk makan dan tidur, terletak di bagian dalam yang jauh dari pintu masuk rumah tradisional Korea.

18Gisaeng (기생): Penghibur, terbagi dalam berbagai status kelas, dan kebanyakan sangat mahir pada bidang seni. Akan tetapi, pekerjaan ini selalu direndahkan oleh orang lain.

💮

Bab 2

Musim Dingin bulan ke-10 tahun 1854 di kota Hanseong, Gyeonggi

Empat tahun telah berlalu. Di sebuah hanok1 tipe chogajip2, terdapat seorang wanita paruh baya sedang membantu anak perempuannya melahirkan. Anak perempuannya sebentar lagi akan menjadi seorang ibu tunggal karena ia ditinggal pergi oleh suaminya yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan wanita paruh baya yang sudah hampir berusia 60 tahun ini sudah ditinggal pergi oleh suaminya karena meninggal.

Di luar hanok tipe chogajip ini, suasana sedang sangat kacau. Sangat kacau. Angin bertiup kencang menimbulkan butir-butiran salju –terbang kacau entah kapan akan berakhir di tanah yang penuh dengan salju putih ini. Saat ini sedang terjadi badai salju yang lumayan dashyat. Mampu membuat pintu kayu hanok ini terbuka-tutup tak terkendali. Pintu kayu pun dibiarkan begitu saja. Menurutnya, situasi anaknya lebih gawat dibandingkan badai salju. Dia sama sekali tak bisa memanggil seorang tabib pada saat situasi cuaca seperti ini. Sehingga, dia hanya mengandalkan dukungan, handuk, dan tangannya. Itu saja.

Jeritan kesakitan anaknya tak sekuat dengan suara badai salju yang sedang menerjang. Tangan anak perempuannya menggenggam erat telapak tangan ibunya. Sangat erat hingga wanita paruh baya ini turut kesakitan karena genggamannya yang kuat. Namun, dia tak memedulikan rasa sakitnya. Yang ia pedulikan adalah menyelamatkan anak perempuannya sekaligus calon cucu yang akan menjadi cucu nya sebentar lagi.

Wanita paruh baya ini menyuruh anaknya mendorong kuat dengan sekeras tenaganya setelah itu menghela nafas cepat. Air ketuban sudah pecah dan menempel lengket di selimut tempat tidurnya dicampur dengan darah yang terus keluar. Sesekali wanita paruh baya ini memeriksa apakah bayinya sudah keluar apa belum. Secara perlahan, bayi ini keluar dan dipegang oleh wanita paruh baya yang dahulu merupakan seorang mantan tabib.

Beberapa saat kemudian, akhirnya bayi telah keluar dari perut ibunya. Karena belum mengeluarkan bunyi suara, wanita paruh baya ini langsung membalikkan tubuh bayi dan memukul-mukul pantat dan punggung bayi ini –agar dapat keluar suara tangisan bayi yang pertanda jantung sang bayi telah berdetak dengan baik– dengan pelan. Sesaat kemudian, bayi perempuan ini yang merupakan cucunya sendiri akhirnya mengeluarkan suara tangisan. Hal ini membuat sang ibu dan wanita paruh baya tersenyum senang meski dalam keadaan nafas tersengal-sengal.

Seketika bayi ini langsung dibalutkan dengan handuk yang tebal dan digendong oleh neneknya.

Ibunya hanya tersenyum lemah melihat neneknya tersenyum memandang bayinya. Keadaan ibunya sangat lemah. Dia merasa lemas sekali bahkan matanya sayup-sayup menyuruhnya untuk menutup mata. Rasa pusing dan kunang-kunang mulai menghantui dirinya. Bahkan pandangannya lama-lama buram ketika memandang wanita paruh baya itu yang sedang menggendong bayinya.

“A..air putih, bu,” pintanya terbata-bata dan lemah. Mukanya pucat pasi. Dia telah mengeluarkan banyak darah untuk anaknya hingga membuatnya mengalami anemia.

Wanita paruh baya itu mendengar permintaan anak perempuannya. Dia langsung meletakkan cucunya di samping anak perempuannya. Setelah itu dia mengelus dahi anak satu-satunya itu, “Bertahanlah, anakku.”

Anak perempuannya masih sempat tersenyum, mengangguk pelan pada ibunya. Wanita paruh baya itu langsung menuangkan air putih dari teko keramik ke poci. Di luar, keadaan badai salju secara perlahan berhenti. Pada waktu bersamaan poci yang penuh terisi air putih dan badai salju yang sudah berhenti, anak perempuan dari wanita paruh baya ini memeluk anaknya dalam keadaan sudah tidak bernafas.

Wanita paruh baya ini masih dalam keadaan nafas tersengal-sengal dan berkeringatan karena membantu anaknya melahirkan. Digenggamlah poci yang penuh dengan air putih itu untuk anaknya sambil berjalan menghampiri anaknya. Matanya langsung terbelalak begitu melihat anak semata wayangnya sudah tak bernyawa. Poci yang berisi air putih pun sekilas terlepas dari genggaman tangannya yang menyebabkan air putih membasahi lantai kayunya.

Air matanya langsung turun. Bibirnya bergemetar dan kelu untuk mengeluh. Suara tangisan dari bayi anak perempuannya semakin mengeras seiring berjalannya waktu. Wanita paruh baya itu berusaha tegar dengan cara mendesah.

“Selamat tinggal, anakku," ucapnya lirih sambil mengelus pelan kepala anak semata wayangnya yang baru saja meninggalkan dia. “Semoga kamu bertemu dengan ayahmu, diberkati dan berbahagialah di atas sana, nak.”

Badai telah berlalu namun kebahagiaan turut berlalu. Keheningan malam hari tiba namun kabutan kesedihan penuh dengan luka. Poci keramik yang paling berharga bagi wanita paruh baya itu pecah. Pecahan pocinya dibiarkan begitu saja di lantai berkayu. Baginya, melihat anaknya untuk terakhir kali jauh lebih berharga dibandingkan poci miliknya.

Bertambah satu anggota keluarga, namun berkurang pula satu anggota keluarga. Kemarin, hanya tersisa wanita paruh baya dan anak perempuannya. Kini, hanya tersisa wanita paruh baya dengan cucu perempuannya. Poci itu menandakan awalnya saling menyatu, namun pecahnya itu bermaknakan perpisahan satu dengan yang lain.

***

Api yang tersulut oleh minyak mengobar-ngobar pada tubuh anak perempuannya wanita paruh baya itu yang tertutup dengan kayu-kayu. Wanita paruh baya itu hanya menatapnya penuh kesedihan sambil menggendong cucunya yang sedang tidak menangis. Maafkan ibu karena hanya inilah kayu-kayu yang tersisa. Maafkan ibu sekali lagi karena kayu-kayu ini membuatmu sakit lebih lama atas kobaran api ini, kata wanita paruh baya itu dalam hati.

Wajah wanita paruh baya itu ditatap oleh cucunya tanpa berkedip mata. Tatapan wanita paruh baya itu berpindah. Ia menatap balik cucunya yang ia gendong. Seulas senyuman diberikan oleh wanita paruh baya itu kepada cucunya. “Kamu berasal dari keluarga Lee. Namamu Lee Shin Ae. Nama yang direncanakan oleh ibumu. Shin bermakna ‘Abadi’ dan Ae bermakna ‘Cinta’,” ujarnya.

Satu jam kemudian, akhirnya api telah membuat kayu-kayu hangus terbakar habis. Dalam sekejap, melenyapkan anak perempuannya wanita paruh baya itu yang menyatu dengan tanah dan kayu-kayu. Perlahan api sudah tak seperti pada saat api dinyalakan. Api perlahan mengecil seiring waktu berjalan.

Wanita paruh baya itu masih menetap di tempat pembakaran anaknya, tepatnya di sebuah hutan, di bagian yang sudah habis ditebang. Masih dalam keadaan menggendong Lee Shin Ae yang tengah tertidur pulas. Tubuh kecil Lee Shin Ae terbalut oleh selimut ibunya, walau sudah dibersihkan namun masih bernodakan darah. Pandangan matanya masih terus menyaksikan api yang menghabiskan anaknya menyatu dengan tanah. Dan api itu seperti terkena karma. Api itu habis dengan sendirinya karena terpaan angin yang selalu bermondar-mandir mengelilingi semua tempat.

Lihat selengkapnya