Catatan:
1Yaksik (약식): Kue beras yang terbuat dari ketan yang dikukus dan dicampur dengan kacang berangan, jujube (kurma merah) dan kacang cemara, lalu diberi madu atau gula pasir merah, minyak wijen, kecap dan kadang-kadang kayu manis.
2Daeboreum (대보름): Atau kepanjangannya Jeongwol Daeboreum (정월대보름). Perayaan bulan purnama pertama setelah tahun baru kalender Korea, perayaan ini jatuh pada hari ke-15 bulan pertama. Perayaan ini sama dengan Festival Lampion milik China.
3Yuja cha (유자차): Minuman teh tradisional Korea yang terbuat dari campuran air panas dengan buah yuja. Atau disebut juga dengan teh limau atau yuzu. Masyarakat Korea menyajikan irisan tipis buah jeruk limau dalam madu atau gula.
4Gyobang (교방): Bangunan utama yang terkait dengan wanita penghibur gisaeng saat zaman dinasti Goryeo dan Joseon. Bangunan ini menyediakan pelajaran dalam musik termasuk hyangak (향악) (musik desa) dan tarian. Pada akhir dinasti Joseon, bangunan ini menjadi pusat administrasi pekerja gisaeng.
💮
Bab 9
Musim Dingin bulan ke-10 tahun 1961 di kota Seoul
Larian akan ketakutan tertangkap oleh polisi imigrasi itu terus-menerus terjadi. Hingga sudah hampir 3 bulan, Kim Mi Nah beserta Lee Shin Ae menghindar dari kejaran polisi imigrasi itu. Kini Kim Mi Nah adalah orang satu-satunya yang sudah percaya bahwa Lee Shin Ae memang benar berasal dari zaman Joseon. Entah kenapa apa yang menyebabkan ia percaya, mungkin karena sebuah pertemanan itu harus berlandaskan saling percaya.
“Lee Shin Ae! Tunggu saya!” teriak Kim Mi Nah yang kalah cepat dibandingkan dengan larinya Lee Shin Ae. Kim Mi Nah terus berusaha berlari menyamakan dengan larian nya Lee Shin Ae.
Teriakan Kim Mi Nah sama sekali tidak Lee Shin Ae dengarkan. Lee Shin Ae yang tergesa-gesa karena ketakutan tertangkap oleh polisi imigrasi itu segera berlari hingga berada di tengah jalan bermaksud untuk menyeberang jalan. Tak disangka olehnya, sebuah bus yang mengebut itu berada tak jauh dari posisi Lee Shin Ae. Melihat bus itu yang sedaritadi klakson, membuat Kim Mi Nah berlari sekuat tenaga nya untuk menolong Lee Shin Ae.
Lee Shin Ae pun terjatuh ke depan oleh dorongan kuat dari Kim Mi Nah. Tindakan ini membuat Kim Mi Nah, seketika itu juga, tertabrak dan terpelanting di jalanan. Tubuh Kim Mi Nah terguling-gulung di tanah akibat tabrakan dari bus yang mengebut itu. Tubuh Kim Mi Nah yang terguling-guling itu berhenti bersamaan dengan berhentinya bus itu. Seluruh penumpang bus segera berhamburan keluar untuk menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Termasuk orang-orang yang berada di sekitar jalanan tersebut.
Kedua telapak tangan Lee Shin Ae yang menyentuh tanah, begitu juga dengan kedua lutut nya itu, terengah-engah karena kecapaian sehabis lari. Dengan gaya merangkak, dia menoleh ke arah wajah Kim Mi Nah yang penuh dengan darah-darah mengalir dari mulut maupun hidungnya. “Bibi..,” ternganga mulut seketika begitu melihat wajah Kim Mi Nah itu dipenuhi oleh darah. “Bibi!!”
Orang-orang pun mulai mengelilingi Kim Mi Nah. Bahkan ada orang menutup mulutnya karena terkejut dan ada juga yang ternganga lebar. Kim Mi Nah yang masih tersadar itu hanya bisa mengatakan dari gerakan mulut saja tanpa bersuara. Melihat gerakan mulut dari Kim Mi Nah, Lee Shin Ae mencoba membacanya, Pergilah.. Shin Ae.. Kamu.. tidak boleh tertangkap karena ini adalah.. hari ulang tahunmu.. selamat ulang tahun, ucap Lee Shin Ae dalam hati sambil melihat wajah Kim Mi Nah dari sela-sela kaki yang berkumpul mengelilingi Kim Mi Nah.
Kepala Kim Mi Nah yang Kim Mi Nah angkat sedikit itu akhirnya berada di tanah seiring dengan detak jantung yang tak berdetak lagi dan tertutup matanya.
Melihat diri Kim Mi Nah seperti itu, Lee Shin Ae langsung syok. “Bibi!” teriaknya sambil menangis, ia seperti tidak merasakan sakit meski kedua lututnya itu terluka karena tergesek tanah.
Suara peluit itu terbunyi kembali setelah ditiupkan berkali-kali. Mendengar bunyi peluit itu, Lee Shin Ae mau tidak mau harus meninggalkan Kim Mi Nah –menuruti apa kemauan terakhir darinya. Secepatnya ia kerahkan tenaga yang masih ada untuk berlari menghindar dari kejaran polisi imigrasi seraya menahan sakit perih dari luka di kedua lututnya. Ia terus berlari. Sambil berlari, bayangan kejadian kecelakaan itu terbesit kembali. Air matanya pun sekarang telah menurun.
“Jika kamu tertangkap oleh polisi imigrasi, maka tertangkap juga lah kebebasanmu. Teruslah berlari tanpa henti selama kamu masih menginginkan suatu kebebasan,” ingat Lee Shin Ae yang dinasihati oleh Kim Mi Nah. “Kamu tidak boleh begitu saja menyerah terhadap hidupmu. Kamu harus membawa dirimu. Kamu harus terus menjalani hidup untuk menghargai pengorbanan besar dari orang tuamu yang telah merawatmu dari bayi hingga sekarang.”
***
Pelariannya itu akhirnya berhenti dengan sengal-sengal napasnya yang tak beraturan itu –sambil membungkuk dan memegang kedua lutut nya yang terluka. Melihat ke arah belakang, sudah tidak terlihat polisi imigrasi yang mengejarnya. Sedikit rasa lega di benaknya. Setidaknya, dia masih bisa mendapatkan kebebasan sebentar.
Bayangan kecelakaan itu kembali lagi terbesit di otaknya. Maafkan aku, bibi. Karena aku, engkau jadi meninggal, isak tangisnya mengingat kecelakaan itu sambil berlutut karena kelelahan. Sepertinya, Lee Shin Ae takkan pernah bisa melupakan kecelakaan itu. Takkan pernah. Dan selamanya takkan pernah. Masalahnya, orang satu-satu nya yang baik terhadapnya di tahun 1961 itu menolongnya. Tanpa mementingkan bahaya akan kehilangan nyawanya sendiri. Itu benar-benar tindakan pahlawan.
Ternyata dugaan Lee Shin Ae benar. Kim Mi Nah akan menjadi pahlawan. Namun ia tidak menyangka, bahwa Kim Mi Nah akan menjadi pahlawan bagi kehidupannya sendiri.
Situasi di sana cukup dingin karena memiliki sekitaran 10-15 derajat Celsius. Lee Shin Ae baru sadar dengan keadaan sekitar, dan tangannya yang terasa membeku meski sudah menggunakan sarung tangan pemberian dari Kim Mi Nah. Dia cukup menggigil padahal kain hanbok yang dimilikinya mampu menahan musim dingin, mungkin karena dia sudah berada di luar sedari pagi mencari makan dan berpindah ke sana kemari.
Tak jauh di sana, Lee Shin Ae melihat seorang ibu dengan pakaian kemeja putih tengah menangis sambil menggenggam tangan anak balita sekitar 3 tahun. Lee Shin Ae tidak tahu apa yang dialami ibu itu. Dia ingin menghampirinya namun para tentara mondar-mandir. Akhirnya Lee Shin Ae berjalan kembali ke arah lain, melewati sungai Han dengan tampilan banyak rumah kumuh di pinggir sungai nya. Ternyata dahulu dengan sekarang tidak jauh berbeda mirisnya, apakah di masa depan akan berbeda? komentar Lee Shin Ae melihat itu.
Meskipun badan Lee Shin Ae sudah menggigil kedinginan, dia terus melangkahkan kakinya. Entah ke arah mana tanpa tujuan. Lee Shin Ae hanya ingin mencari tempat peristirahatan dan terbebas dari polisi imigrasi dan tentara yang saat itu sering berlalu-lalang. Karena kedinginan cukup lama dan terlalu kelelahan berjalan tanpa berhenti, Lee Shin Ae jatuh pingsan seketika.
Bayangan neneknya Lee Shin Ae muncul di dalam mimpi. Lee Shin Ae sedang diberi kue yaksik1 oleh sang nenek saat hari Daeboreum2. "Ini untukmu, Shin Ae. Maaf jika nenek tidak sempat merayakan festival Daeboreum bersamamu karena pekerjaan nenek. Semoga kue ini menyembuhkan kesedihanmu," kata neneknya Lee Shin Ae dalam mimpi.
Melihat wajah neneknya, Lee Shin Ae langsung memeluk dan menangis. "Nenek! Aku rindu padamu!"
Air matanya yang jatuh membuat Lee Shin Ae terbangun dari mimpinya. Tahu-menahu dia sudah berada di kasur entah berlokasikan di mana. Perasaan sedihnya ketika di dunia mimpi itu masih terasa hingga di dunia nyata. "Nenek..," gumam Lee Shin Ae mengingat wajah neneknya yang sudah lama tidak ia lihat kembali.
Pintu kamar terbuka, dan ada seorang wanita muda –berusia sekitar 20 tahun-an– membawakan secangkir teh yuja yang kemudian ia taruh di meja kecil samping kasur. "Kamu sudah sadar? Minum ini," lirih lembut wanita itu mengamati keadaan Lee Shin Ae yang terlihat pucat.
Lee Shin Ae melihat wanita itu dan sedikit takut karena penampilan wanita itu mirip seperti wanita prostitusi karena pakaiannya yang terlalu mencolok. "Anda siapa?" tanya Lee Shin Ae cepat sambil menutup wajahnya dengan selimut kasur.
"Saya yang menolong kamu, nona," jawab wanita itu duduk di sebelah kasur yang ditempati Lee Shin Ae, "Saya Jang Ja, Kim Jang Ja."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka kembali, dan ada seorang wanita –berusia sekitar 40 tahun-an– memakai hanbok warna merah mencolok itu berbicara pada wanita muda yang bernama Kim Jang Ja itu. "Dia sudah bangun? Baguslah, suruh dia kerja langsung."