Seattle

Dini Islaha
Chapter #1

Elrangga

"Cepat kumpul di lapangan!"

Teriakan Dimas dari depan pintu mengejutkan seisi kelas, termasuk aku. Gayanya yang sangar dengan potongan rambut cepak, menyusahkanku untuk memulai hari dengan senyum lima jari. Bapak ketua kelas ini memang paling bisa menjatuhkan mood-ku, padahal masih terlalu pagi.

"Ayo, Tar. Bos besar sudah teriak itu." Nisa menarik lenganku, sedikit berlari, mungkin ingin menyamai langkah Dimas di depan sana? Padahal dari tiga puluh murid yang ada, hanya sebelas orang yang siap dengan kaus olahraga. Sisanya sedang bertapa di kamar mandi.

"Kalau mau bareng Dimas, duluan aja, Nis." Aku terlalu malas dengan pelajaran satu ini. Fokus otak dan mataku selalu curi-curi pandang pada laki-laki paling tinggi sekelas. Bintang Elrangga. Absen nomor dua.

"Yah, kok, gitu?" Aku tersenyum.

Nisa terlalu mudah dibaca. Cara dia menatap Dimas, caranya mengekspresikan kekecewaan barusan, menyulut senyum jailku. Aku peka, Nisa punya rasa lebih terhadap Dimas. Tapi gadis itu kerap menyangkal dengan alasan, "Kita sahabatan dari kecil, Tar."

Memang kenapa kalau sahabat?

"Enggak apa-apa, duluan aja." Nisa mengangguk meski tidak rela. Namun tetap berlari menuju lapangan, menyusul Dimas yang melangkah cepat.

Sekarang tinggal aku sendiri di lorong kelas yang sepi. Kelas sudah dimulai, tapi aku masih mau menunggu teman-teman lain. Biarlah kena hukum, toh perbandingannya lebih banyak yang terlambat. Malunya ditanggung rame-rame.

"Sudah berani bolos?"

"Huh?"

Seharusnya aku memberi kesempatan jantung untuk lebih tenang. Tidak grasah-grusuh berdebar dan mengumbar kegugupan di depan Bintang. Tapi tidak bisa, tidak mungkin dan aku tidak tahu caranya.

"Kamu tumben mau bolos? Saya speechless."

Dan aku lebih speechless!

"Mentari?"

"Enggak bolos, bareng lainnya aja." Aku menyesal tidak ikut Nisa. Tidak patuh juga dengan perintah Dimas. Mengikuti setan memang bahaya. Kalau begini, bertemu Bintang tanpa persiapan menjadi hukuman mendebarkan sekaligus mengacaukan sistem tubuh.

Aku menunduk. Ada gelisah menyusup dan irama menyenangkan dalam satu waktu. Bila kisah ini ku ceritakan pada Nisa, aku tidak sanggup menanggung pertanyaan beruntun selanjutnya. Biar saja diam-diam aku nikmati prosesnya.

"Aku duluan, deh."

Lihat selengkapnya