Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #2

PENCARIAN

Kehilangan alamat ibu guru yang ia cari, bukan berarti kemudian Maria berpasrah pada keadaan dan berhenti berusaha. Tak patah semangat, hari-hari Maria disibukkan dengan pergi dari satu sekolah ke sekolah lain, untuk mencari kemungkinan keberadaan ibu guru Winar. Ia menemui satu per satu guru di tiap sekolah yang ada di wilayah tempat tinggal pamannya, hanya untuk melihat apakah ada wanita yang dicarinya di sana.

"Nak, ibu guru yang kamu cari itu tinggal di kota mana?" tanya seorang kepala sekolah berwajah sabar yang menemui Maria siang itu.

"Jawa Timur," jawab Maria lelah, juga setengah putus asa.

Wanita itu mengerutkan kening. "Jawa Timur itu luas. Ada 29 Kabupaten dan 9 Kota, dengan banyak sekolah di dalamnya."

"Berapa banyak sekolah yang ada di Jawa Timur, eh, Ibu Kepala Sekolah?" tanya Maria.

"Ooh ... Lebih dari 15 ribu untuk sekolah dasar saja. Kalau keseluruhan sekolah yang ada, mungkin mencapai 60 atau 70 ribu sekolah."

Maria terkejut. Matanya membulat, bibirnya terbuka lebar. Rasa putus asa yang sudah mengusiknya beberapa hari terakhir ini, kini seolah menelan habis seluruh sisa harapannya. Tatapannya perlahan meredup. Sisa-sisa asa yang sempat ia pertahankan tetap ada di dalam hatinya, kini benar-benar telah pudar. Maria menatap dinding kosong di balik kursi kepala sekolah, berusaha mencari jawaban atas keterkejutan yang sejenak membekukan pikirannya. "Enam puluh atau tujuh puluh ribu sekolah?" gumamnya. Maria tidak dapat membayangkan seberapa luas Jawa Timur, dengan ribuan sekolah di dalamnya. Sementara di Provinsi Jayawijaya tempatnya tinggal, dengan jumlah keseluruhan sekolahnya yang tak sampai 20 sekolah saja, ia tak sanggup mengelilingi seluruh provinsi hanya dengan berjalan kaki.

"Dunia su tak adil. Kenapa ko tutup seluruh pintu harapan untukku, tanpa ko beri satu kesempatan kecil saja untuk bertemu dengan ibu guru," bisik Maria kecewa. Rasa sesal sejenak bergelut di dalam hati Maria, mengingat keteledorannya yang telah meninggalkan alamat penting ibu guru di dalam kopernya yang hilang.

Tubuh Maria mulai lemas, jemarinya bergetar seiring angan yang berputar. Namun, dengan cepat Maria kembali mengusir perasaan itu jauh-jauh dari hati dan pikirannya. Ia berusaha keras untuk mengembalikan tekadnya, berusaha untuk percaya bahwa pilihan yang telah diambilnya untuk datang ke Pulau Jawa tidaklah salah. "Tidak. Sa tra boleh menyerah. Tuhan su kirim sa kemari, itu berarti Tuhan pasti akan kasih tolong saya," bisik hatinya lirih. Kedua jemarinya tertaut, saling meremas dengan gelisah.

"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya ibu Kepala Sekolah, menatap prihatin.

"Sa baik, Ibu Kepala Sekolah. Terima kasih su bantu saya. Sa su bertekad untuk bertemu dengan Ibu Guru Winar, maka sa akan terus cari, meski itu trada mungkin."

Kepala sekolah mengangguk kagum melihat ketegaran di dalam tatapan mata Maria. "Kamu di sini kuliah? Atau bekerja?" tanya kepala sekolah, berusaha mengalihkan kesedihan Maria.

"Sa trada sekolah atau bekerja, Ibu Kepala Sekolah. Sa tinggal saja di rumah Paman, bantu bibi jual bubur di depan rumah, setiap pagi."

"Tidak kuliah?"

Maria menggeleng.

"Jadi kamu datang kemari hanya untuk menemui ibu gurumu itu?" tanya kepala sekolah keheranan. Dalam hati ia bertanya-tanya, sehebat apa wanita yang dipanggil Ibu Guru Winar itu, sampai-sampai ia berhasil meninggalkan bekas cinta yang begitu dalam di hati muridnya, hingga membuat murid kecilnya itu rela bepergian jauh dari tanah kelahirannya hanya untuk mencari dan menemukan keberadaannya.

"Bagaimana kalau kamu tidak bertemu dengannya?" tanya Kepala Sekolah, pensaran.

"Sa akan terus cari, Ibu. Sampai dapat, kalau perlu."

"Kalau tidak? Apa yang akan kamu lakukan di sini?"

Lihat selengkapnya