Sebait Rindu untuk Ibu Guru

Kandil Sukma Ayu
Chapter #7

PERTIKAIAN

"Yulia! Keluar kamu,"

Maria meletakkan buku yang ia baca, di atas meja. Bersama ibu Sri, ia berdiri di ambang pintu perpustakaan, menatap ingin tahu. Seorang pria dengan setelan jas dan dasi bergaris, berkacak pinggang di tengah lapangan, wajahnya murka.

"Yang mana yang namanya Yulia?!" tanya pria itu garang, melangkah mendekati kerumunan bapak ibu guru yang berdiri di depan pintu kantor.

"Saya Yulia, Pak Rahman." Ibu Guru Yulia berjalan dari balik kerumunan. "Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya ibu guru Yulia tenang.

"Kamu mengerti cara mendidik anak-anak atau tidak, hah?!" tanya pria itu dengan lantang, menunjuk wajah Ibu Guru Yulia dengan murka.

Maria terkejut. Ia menatap heran pada pria bertampang keras dengan dandanan formal itu. Di tempat tinggalnya di Wamena, para pria di sana juga bertampang kasar. Keras, bengis, kejam. Bahkan lebih kasar dari pria yang sekarang berdiri di tepi lapangan itu. Tetapi sekalipun, mereka tidak pernah menunjuk seorang guru tepat di wajahnya, hanya karena guru dirasa kurang tegas dalam mendidik anak-anak meteka.

Selama ini Maria pikir orang-orang di Jawa lebih lembut dan menyenangkan, tidak kasar seperti orang-orang di daerahnya. Tetapi ternyata ia salah. Orang-orang di sini, justru lebih kasar dan galak, bahkan tidak memiliki sopan santun terhadap guru dan orang yang kebih tua.

"Saya adalah seorang pendidik, Pak Rahman. Jadi saya tahu betul bagaimana cara mendidik mereka dengan baik," jawab guru Yulia tegas. Wanita itu melangkah pelan, mendekati pria yang dipanggilnya dengan sebutan pak Rahman.

"Kalau kamu tahu cera mendidik dengan benar, lalu kenapa kamu berlaku bodoh seperti seorang preman? Kamu ini guru atau preman pasar?!" teriak pria itu, tubuh kekarnya bergetar menahan amarah. Maria beringsut mundur, tubuhnya mengerut.

"Maaf, Pak Rahman. Perkenalkan, saya Hurijah, kepala sekolah di sini."

Suara seseorang yang lain, membuat Maria kembali melongok, menatap ingin tahu pada sosok kepala sekolah yang berjalan mendekat dari pintu ruang kepala sekolah.

"Saya minta maaf jika salah satu staf guru kami telah membuat kesalahan. Tetapi mohon Bapak berkenan untuk masuk ke dalam ruang kepala sekolah, agar kita dapat mendiskusikan ini dengan kepala dingin." Kepala Sekolah berdiri di samping Ibu Guru Yulia dengan tenang. Rambut keritingnya yang sepanjang bahu mengembang lebar, bergoyang pelan tertiup angin. Sebentuk kacamata berbingkai bulan separuh bertengger di depan mata, membuat penampilannya tampak begitu berwibawa meski tidak meninggalkan kesan sopan dan lembut di wajahnya.

"Saya datang kesini tidak untuk duduk-duduk. Saya hanya akan menuntut pertanggungjawaban bu Yulia terhadap anak saya!" Pria itu menuding bocah kecil dengan balutan seragam almamater sekolah, yang berdiri angkuh di samping ayahnya. Melihat wajah tengil anak itu, Maria seketika tahu, anak itu yang siang tadi telah dihukum berdiri di tengah lapangan sambil menghormat pada Bendera Merah Putih, oleh Ibu Guru Yulia.

"Dia telah berkelakuan tidak baik, yang membuatnya mendapat hukuman, Pak Rahman. Armando mengacau di kelas. Dia meludah pada saya, saat saya mengingatkannya." Ibu Yulia lembali memberikan penjelasan. Tanpa merasa gentar sedikitpun, wanita itu berdiri tegap di depan wali murid yang berkali-kali menunjuk wajahnya dengan tidak sopan.

"Dia masih anak-anak! Mengacau adalah bentuk protes anak-anak terhadap rasa tidak nyaman di kelas. Seharusnya kamu bisa mengkoreksi diri, kenapa anak-anak mengacau. Bukan malah menamparnya!"

"Saya minta maaf atas kesalahan saya, Pak Rahman. Saya hanya meminta Armando untuk duduk di tempatnya dan berhenti mengganggu teman-temannya. Itu saja. Dan satu hal lagi, saya sama sekali tidak menampar putra Anda. Saya memang menyentil bibirnya karena ia meludahi saya, tetapi tidak ada tamparan seperti yang Anda ucapkan." Syara Ibu Guru Yulia mulai terdengar bergetar. Ada rasa kesal terhadap Armando karena melaporkan hal yang sama sekali tidak ia lakukan.

Lihat selengkapnya