Nyatanya, tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa melawan orang seperti Pak Rahman. Maria mungkin beruntung karena rekaman CCTV yang di bawa oleh Ibu Kepala Sekolah telah berhasil membuktikan bahwa Pak Rahman lebih dulu hampir menampar Kepala Sekolah, sebelum Maria melompat maju dan menendang lengannya. Tetapi sialnya, kelas tempat Ibu Guru Yulia mengajar, belum dilengkapi kamera pengawas yang bisa membuktikan bahwa Ibu Guru Yulia tidak bersalah. Sejumlah saksi yang dibawa oleh Kepala Sekolah pun diragukan keterangannya, karena masih di bawah umur.
"Ibu Guru Susanti, Ibu Guru Yulia tidak bisa dibebaskan kah?" tanya Maria sedih, pada suatu siang yang sunyi. Anak-anak sedang ujian di kelas mereka masing-masing.
"Susah, Maria. Tidak ada bukti yang bisa menguatkan bahwa tindakan Bu Yulia itu benar. Apalagi Pak Rahman membawa bukti dari hasil visum, bahwa terdapat memar di wajah Armando karena sebuah tamparan, entah dia dapat dari mana."
"Tetapi Ibu Yulia memukul karena benar, eh."
"Ibu guru Yulia tidak memukul bocah itu sama sekali, Maria."
"Pukul saja boleh, kah? Dia meludah di depan guru, tidak sopan sekali itu, toh."
"Mana boleh, Maria."
"Kalau tidak sopan boleh, toh, Ibu Guru," protes Maria keras kepala.
Ibu guru muda berambut lurus sepanjang punggung yang di depannya tertawa. "Jangan kamu samakan sama jaman kamu sekolah dulu, Maria. Kalau dulu, disuruh bantu Bapak sampai berani membantah, ya di pukul lah pakai kemoceng, kadang sandal, bisa jadi sabuk kulit di pinggangnya. Tetapi anak sekarang? Mana bisa. Ada Undang-undang perlindungan anak yang membentengi mereka."
"Undang-undang apa?"
"Undang-undang perlindungan anak."
"Untuk apa itu?"
"Tentu saja untuk melindungi anak-anak dari kekerasan, Maria."
"Tidak boleh mendidik anak-anak, begitu kah?"
"Boleh. Tetapi tidak dengan cara memukul, membentak, seperti cara orang tua kita dulu mengajarkan anak-anaknya. Mendidik anak-anak jaman sekarang harus dengan cara yang lembut, diberi tahu baik-baik, diberikan pengertian secara perlahan."
"Tapi kalau anak-anak yang nakal, ada undang-undang perlindungan orang dewasa, kah?"
Bu Susanti terbahak. "Kamu jangan ngelawak! Mana ada undang-undang seperti itu?"
"Tapi kalo anak kecil yang nakal? Jahat macam Armando itu? Bagaimana ibu guru akan berlindung, kalau tidak ada undang-undang yang bisa melindungi kitorang dewasa, sedangkan anak-anak dilindungi dengan undang-undang perlindungan anak?"
"Berkhayal saja kamu ini, Maria. Mana ada undang-undang yang bisa melindungi orang tua dari anak-anak."
"Harus, Ibu Guru. Biar kita bisa lepaskan Ibu Guru Yulia, toh."
"Kalau undang-undang perlindungan guru sebenarnya sudah ada, Maria. Tetapi yah, seperti pada kasus Ibu Guru Yulia, terkadang orang-orang dengan kekuasaan tinggi bisa melakukan kecurangan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan atau sekedar memuaskan ambisinya."
"Sa kasihan sama Ibu Guru Yulia, eh, Ibu Susanti."
"Semua juga kasihan, Maria. Tetapi kita tidak bisa melakukan apa-apa. Yah, tapi setidaknya Ibu Guru Yulia hanya dituntut 6 bulan penjara."
"Enam bulan itu lama, toh, Ibu Guru. Terus bagaimana dengan anak-anaknya kalau Ibu Guru Yulia haus tinggal di penjara selama itu?"
"Yah, Maria. Pasti tidak akan mudah bagi mereka menerimanya. Tetapi mau bagaimana lagi. Ya harus dijalani dengan ikhlas, berdoa sama Tuhan memohon agar didatangkan sebuah keadilan dari tangan-tangan manusia di sekelilingnya. Melawan pun percuma, Maria. Orang seperti Pak Rahman, hanya Tuhan yang bisa memberinya peringatan dan hukuman, bukan kita sesama manusia."
Maria tersenyum masam. Di dalam kepalanya berputar pemikiran, bagaimana cara menunjukkan kepada orang-orang, bahwa jasa seorang guru sangatlah besar bagi kehidupan.
"Ibu guru. Kalau sa boleh tulis kisah guru di sekolah kami di Wamena dulu, sa boleh cetak jadi buku dan jual ke orang-orang, kah? Sa ingin kasih tunjuk sama orang-orang bagaimana sulitnya sekolah di Luar Jawa, eh, supaya mereka tahu Bapak Ibu Guru di sekolah patut dihargai dan dihormati," tanya Maria, menatap penuh harap pada Ibu Guru Susanti.
"Kamu senang menulis?" tanya Bu Susanti tertarik.
"Sa suka tulis buku harian, Ibu Guru. Tetapi sa belum pernah tulis buku, eh."
"Kamu mau menulis novel?"
"Buku cerita, Ibu."
"Buku cerita seperti apa?" tanya Bu Susanti.
"Sa pernah baca keponakan sa pu buku cerita, tentang dokter di Kalimantan pedalaman, Ibu. Bagus sekali ceritanya. Sa ingin tulis seperti itu, kah?"
Bu Susanti menahan senyum sabar. "Itu namanya novel, Maria."
"Oh, ya, Ibu Guru. Itu yang saya maksud." Maria menyeringai malu.
"Agak susah sebenarnya, Maria. Membuat novel itu butuh keahlian khusus merangkai kata. Harus mengerti dasar-dasar kepenulisan dan tata bahasa yang benar, mempelajari struktur kata sesuai EYD, membuat narasi yang memikat pembaca, dan sebagainya. Belum lagi kamu harus mencari penerbit yang bersedia untuk mencetak buku yang kamu tulis. Kalau pakai penerbit indie, mahal biayanya, Maria."
"Penerbit itu apa?"
"Penerbit itu semacam percetakan yang memiliki ijin cetak buku, Maria. Mereka bertugas untuk mencetak sekaligus mendaftarkan bukumu agar mendapatkan ISBN. Kode unik book number."
"Kode unik?"